Dawud merupakan ujung tombak perlawanan Thalut atas Jalut. Kemenangan Dawud atas Jalut menambah kepercayaan diri Thalut untuk mengangkatnya menjadi pejabat kerajaan. Dawud bahkan dinikahkan dengan putri Thalut yang bernama Mikyal.
Dalam pandangan rakyat, Dawud adalah seorang pahlawan. Dia begitu agung dan diagung-agungkan. Dia begitu hebat dan sangat dielu-elukan.
Namun, apalah kata hati. Hati selalu berubah-ubah. Hati tidak pernah konsisten dengan satu sikap. Sebagaimana namanya, qalb sering berbolak-balik dan tidak ada seorangpun yang bisa menebaknya.
Begitu juga dengan sikap Thalut kepada Dawud. Entah kenapa saat bertemu, muka Thalut sangat masam sekali. Ia sepertinya menyimpan suatu hal. Sepertinya ada suatu hal yang perbuat Dawud sehingga menjadikannya murka.
Dalam kondisi yang tidak mengenakkan tersebut, Dawud mulai memberanikan diri untuk bertanya kepad sang istri, Mikyal. Istri Dawud yang merupakan putri Thalut jelas mengerti keadaan apa yang sedang menimpa Thalut hingga ia bersikap seperti itu kepada Dawud.
“Wahai Istriku, menurutmu apa yang telah aku perbuat sehingga ayahmu memasang muka masam kepadaku. Sepertinya ia sedang marah denganku.”
Mikyal menjawab dengan lirih dan terbata-bata.
“Wahai suamiku, ayahku memang orang beriman. Dia sangat baik dengan seluruh rakyatnya. Tapi ingatlah! Dia seorang raja. Sikap rakyat selama ini yang mengelu-elukanmu membuat dia menjadi khawatir. Dia juga resah jika nanti rakyat akan lebih menghormatimu daripada menghormatinya. Itu hanya perkiraanku. Tapi semoga saja itu tidak benar.”
Dawud merasa gelisah dengan kabar yang disampaikan oleh sang istri. Selama ini sama sekali ia tidak meminta apapun. Ia hanya seorang tentara yang selalu menjadi garda terdepan melawan musuh atas titah rajanya.
Suatu hari Thalut memanggil Dawud. Ia memberi titah agar Dawud berangkat menuju medan pertempuran. Thalut memerintahkan agar Dawud membasmi kaum Kan’an yang sedang memobilisasi pasukannya untuk melawan. Dawud hanya bisa tunduk atas titah raja. Ia berangkat dengan pasukan-pasukan terbaiknya.
Namun Thalut berharap lain. Ia berharap agar Dawud meninggal di medan pertempuran agar tidak ada lagi yang bisa mengancam kekuasaannya.
Sayangnya, harapan Thalut meleset. Dawud justru mendapatkan kemenangan yang nyata. Ia semakin dipuja-puja oleh para kaumnya. Tak ayal, hal ini membuat Thalut semakin murka dan gelisah dengan eksistensi kekuasaanya.
Thalut ternyata telah merencanakan sesuatu. Ia berniat ingin membunuh Dawud. Rencana itu diendus oleh Mikyal, istri Dawud. Mikyal segera memberitahukan hal itu kepada suaminya. Ia ingin suaminya segera lari agar rencana sang ayah gagal. Ia juga tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai.
Kepergian Dawud mendapat simpati dari para rakyat Thalut. Banyak orang yang lebih memilih meninggalkan kerajaan untuk bergabung bersama Dawud dari pada menetap di kerajaan.
Melihat hal itu, Thalut semakin murka. Ia bertindak brutal. Mendakwa simpatisan Dawud dan membunuhnya.
Peristiwa kesewenang-wenangan Thalut didengar oleh Dawud dan orang-orang yang telah bergabung dengannya. Ia harus melakukan perlawanan kepada kesewenang-wenangan Thalut. Dan peperangan pun tak dapat dihindari.
Suatu malam saat Thalut tertidur diperkemahannya. Dawud datang mengambil tombak yang ia miliki. Ketika pagi, Thalut tidak dapat menemukannya. Seluruh pasukan diperintahkan untuk mencari keberadaan tombaknya. Tiba-tiba, datanglah utusan Dawud membawa tombaknya.
“Ini tombakmu wahai Thalut. Jika Dawud berkenan, ia pasti sudah memenggal kepalamu pada malam itu.”
Kesabaran dan kebijaksanaan Dawud ternyata mulai menyadarkan Thalut. Ia memerintahkan agar mengakhiri peperangan. Ia juga meminta agar Dawud kembali ke kerajaanya. Ia bertobat kepada Allah atas kejahatan yang ia lakukan. Ia meninggalkan kerajaannya tanpa diketahui keberadaanya. Kerajaanya kemudian dipimpin oleh Dawud. Bani Israil kemudian menyatakan kesetiaanya kepada Dawud.
Disarikan dari buku “Great Stories of The Quran” karya Syekh M.A. Jadul Maula