Suatu ketika keponakan saya yang masih kecil bertanya tentang arti kata radikal kepada saya. Keponakan saya itu bertanya setelah melihat sebuah tayangan berita bom bunuh diri di Medan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Saya bingung akan menjawab seperti apa. Bukankah, kata radikal saat ini sudah berubah dari makna awalnya?
Pada mulanya istilah ‘radikal’ merujuk pada karakter berpikir filsafat yang mendalam hingga menyentuh akar (radix) suatu masalah. Jika dilihat secara filsafat bisa diartikan sebagai berpikir secara radikal yang bermakna positif. Apabila menghubungkan makna dasar radikalisme dengan agama, maka dapat diartikan sebagai sifat beragama seseorang yang memahami agamanya secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Dari makna dasar ini dapat kita ketahui bahwa sifat radikal tidak selalu berarti kekerasan.
Namun, lambat laun makna positif tersebut bergeser menjadi negatif, yaitu sikap extrem suatu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Dalam konteks beragama, maka radikalisme agama bermakna sikap ekstrem dalam beragama. Sikap ekstrem ini wujud dari cara berpikir eksklusif yang mengedepankan truth claim sehingga berujung pada sikap intoleran, dan bisa dipastikan hampir di setiap agama ada kelompok-kelompok radikal tersebut.
Dalam Religion and Conflict, Reychler menjelaskan bahwa banyak sekali konflik dan radikalisme yang terjadi antar agama, misalnya di Myanmar terjadi perang antara agama Budha dan Kristen (1948), di Irlandia terjadi perang antara agama Katolik dan Protestan (1969), di India terjadi perang antara Hindu dan Muslim (1992) dan masih banyak lagi konflik dan radikalisme antar agama yang dapat kita temukan hingga saat ini.
Namun dalam sejarah global, klaim negatif ini seakan hanya diklaim untuk agama Islam saja. Jika menengok pada sejarah terdahulu, stigma ini muncul pertama kali ketika terjadi peristiwa WTC 11 September 2001 di Amerika Serikat, diikuti dengan peristiwa pengeboman di Bali (2002), Madrid (2004), London (2005), dan di Paris (2015) yang diduga dilakukan oleh gerakan Islam radikal, al-Qaeda.
Dari sinilah masyarakat dunia dihantui dengan wacana islamophobia dan melekatkan berbagai stigma negatif pada Islam seperti Islam radikal, Islam fundamental, Islam ekstrem, Islam militan, Islam teroris dan lain sebagainya. Padahal Islam hakikatnya merupakan agama yang memiliki konsep perdamaian.
Namun dalam konteks sejarah Islam, fungsi agama yang memberikan perdamaian seakan tidak terwujud pada para pemeluknya. Banyak ditemukan berbagai ekstremisme dalam sejarah Islam baik berbentuk perang maupun pembunuhan.
Dalam hal ini, saya berargumen bahwa kekerasan yang terjadi dalam Islam tidak ada hubungannya dengan agama. Para muslim terdahulu hanya menggunakan kekerasan (ekstremisme) sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan politik. Hal ini sangat wajar terjadi karena menurut saya setiap manusia maupun kelompok/sekte memiliki hasrat untuk berkuasa. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Porter dalam “Nietzsche’s Theory of The Will to Power” bahwa setiap manusia memiliki kehendak untuk berkuasa.
Dalam perspektif lain dikatakan bahwa, agama dan politik memproduksi dua hal yang sama. Keduanya sama-sama menghasilkan fanatisme dan radikalisme. Saya setuju dalam hal ini, karena pada kenyataannya meskipun ruang agama dan politik (negara) dipisah, selalu timbul radikalisme dan fanatisme di dalamnya. Namun menurut saya agama dan politik memiliki konsep yang berbeda. Konsep politik sarat akan kekuasaan sehingga cenderung menjadikan kekerasan sebagai alat untuk berkuasa. Sedangkan konsep agama tentu jauh dari nilai-nilai radikal itu sendiri.
Secara bahasa pun kita dapat lihat bahwa agama berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama yang berarti kacau/rusak. Sehingga agama hadir untuk menghindari suatu kerusakan dan kekacauan di dunia. Dari sini saya dapat disimpulkan bahwa konsep agama tidaklah radikal, yang radikal ialah para pemeluknya yang haus akan kekuasaan sehingga agama dan politik terlihat sama.
Seiring berkembangnya zaman, ternyata radikalisme agama tidak dimaknai dengan kekerasan fisik saja. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya keunggulan-keunggulan secara ilmu pengetahuan, ekonomi, pendidikan maupun budaya yang dimiliki oleh non-muslim. Artinya, ada perang ideologi yang dilakukan oleh para pemeluk agama yang mencoba berkuasa melalui bidang-bidang tersebut.
Hal tersebut merupakan tantangan besar umat muslim sekarang. Bahwa kemapanan muslim untuk berfikir maju dan mengembangkan ilmu-ilmu yang ada merupakan penentu eksistensi Islam di masa yang akan datang. Pemeluk Islam harus berfikir radikal (berfikir totalitas sampai ke akar-akarnya) untuk kemajuan agamanya.
Wallahu a’lam.