Ketika Kehidupan Keberagaman Kita “Ditampar” oleh Sekelompok Kera Cerdas

Ketika Kehidupan Keberagaman Kita “Ditampar” oleh Sekelompok Kera Cerdas

Apes Together Strong!!

Ketika Kehidupan Keberagaman Kita “Ditampar” oleh Sekelompok Kera Cerdas

Saya sempat khawatir saat mengetahui saga Planet of the Apes berlanjut dengan Kingdom of the Planet of the Apes (2024). Waralaba itu telah melahirkan trilogi yang solid sekaligus revolusioner untuk sebuah reboot film sci-fi era modern. Kingdom of the Planet of the Apes juga mengusung era baru dengan wajah berbeda di depan dan balik layar.

Saya membayangkan akan bertemu sosok Caesar sebagai jantung cerita di trilogi sebelumnya, Andy Serkis sang pemeran simpanse legendaris itu, begitu pula dengan Matt Reeves yang meninggalkan kursi sutradara.

Namun bayangan saya ambyar ketika mengetahui fakta bahwa setting waktu film ini adalah 300 tahun pasca era peradaban Caesar. Film Kingdom of the Planet of the Apes (2024) berkisah tentang petualangan tiga primata, yang mampu berkomunikasi verbal, dari sebuah koloni kecil. Koloni itu eksis sekitar tiga abad setelah kelahiran moyang mereka, Caesar. Sebagaimana dalam Rise of the Planet of the Apes (2011), Caesar adalah seekor simpanse cerdas, yang lahir dari betina obyek eksperimen industri obat untuk penyakit Alzheimer.

Ketiga sekawan tersebut adalah Noa (Owen Teague), Anaya (Travis Jeffery), dan Soona (Lydia Peckham). Saya langsung terpesona dengan visualisasi dunia yang dihadirkan dalam film. Terakhir saya melihat open world seindah ini adalah ketika menonton film Avatar: the Way of Water. Saya kemudian mengangguk wajar ketika mengetahui bahwa perancang dunia Avatar juga turut andil dalam menciptakan dunia hijau pasca-manusia ala planet of the apes ini.

Barangkali pesan yang tersurat dalam film adalah survival of the fittest atau ‘yang cerdas, yang bertahan’. Tetapi film ini juga merekam satu isu penting yang saat ini mungkin hadir di sekitar kita, yaitu penyalahgunaan otoritas ketokohan.

Pada masa Noa, nama Caesar hanya sebatas legenda dan ingatan sekelompok kecil primata cerdas, yang masih keturunan dan memiliki warisan pengetahuan leluhur. Koloni ini melarang anggotanya pergi menjelajah ke kawasan luar lembah. Dalam film ini, Caesar tetap hadir tetapi lebih dalam konteks spiritual dan gagasan. Ide Caesar tentang moralitas, kepantasan, serta hubungannya dengan manusia menjadi bagian utama yang dihadirkan untuk mengawal premis cerita.

Tetapi, nilai luhur Caesar itu tak tersampaikan pada tokoh-tokoh baru primata muda naif tak berpengalaman seperti Noa, Anaya, dan Soona yang sama sekali buta dunia luar. Literasi yang terbatas ini menjadi titik lemah. Alhasil koloni mereka diserang koloni lain yang lebih cerdas pimpinan Proximus Caesar (Kevin Durand).

Proximus memiliki obsesi politik untuk menguasi teritori seluas-luasnya dengan menaklukkan seluruh koloni yang ada, termasuk koloni simpanse lain dan koloni manusia yang masih tersisa. Dalam perjalanannya, ia memanfaatkan nama besar Caesar untuk melegitimasi ambisinya, sampai-sampai melekatkan nama Caesar pada dirinya. Proximus kala itu tengah memburu seorang manusia, Mae atau Nova (Freya Allan). Mae adalah seorang manusia penyintas, yang masih memiliki kecerdasan.

Drama ini sekaligus menggambarkan perebutan nilai-nilai Caesar, termasuk slogan legendarisnya “apes together strong!!”. Dalam konteks kehidupan Caesar, slogan ini digunakan untuk menyatukan kera-kera yang tidak percaya diri dengan kekuatan mereka. Di fase dominasi manusia tiga abad lalu, kera-kera tidak memiliki kepercayaan diri untuk hidup sehingga rentan mendapat kekerasan. Slogan tersebut digunakan Caesar untuk membangun harga diri kera-kera itu.

Di era Proximus, slogan itu disalahgunakan. Slogan itu lantang disuarakan tetapi dalam rangka untuk mengakomodasi obsesi politis Proximus. Slogan “apes together strong!!”, dimanipulasi untuk menggerakan klan Proximus menaklukkan klan lain. Dalam arti lain, “apes” dalam slogan Proximus bersifat eksklusif, yaitu hanya merujuk pada koloninya saja. Berbeda dengan Caesar, di mana “apes” bersifat inklusif dan merujuk pada semua “apes” di era itu. Slogan itu digunakan untuk mengeksklusi kelompok lain, sekaligus menegaskan eksistensi kelompoknya sendiri.

Gejala ini tampak familiar di era sekarang. Dalam konteks kehidupan plural, banyak orang-orang kita sekarang secara sadar atau tidak “menyalahgunakan” otoritas keagamaan, kebanyakan, untuk menegaskan kelompoknya dan menyingkirkan kelompok lain. Ayat-ayat kitab suci diterjemahkan secara serampangan demi menyingkirkan kelompok yang ia anggap salah. Nyaris sama dengan apa yang dilakukan Proximus.

Saat ini, orang-orang seperti itu menggadaikan persatuan demi kepentingan kelompoknya sendiri. Perlu adanya kelompok-kelompok moderat yang menjaga nilai-nilai luhur keagamaan yang inklusif dan damai.

Premis utama saga Planet of the Apes adalah kehidupan harmonis antara satu dengan yang lain. Kera dengan manusia, satu koloni kera dengan koloni kera lain, dan sebagainya. Satu pihak tidak mendominasi yang lain. Caesar adalah simbol egalitarianisme. Namun Proximus merusak semuanya. Apakah tipu daya Proximus ini berhasil? Silakan ditonton saja filmnya.

Ah, saya rindu Caesar.