Suatu hari Imam Syafi’i yang saat itu berada di Mesir memanggil seorang muridnya yang bernama Rabi’ bin Sulaiman. Rabi’ ini terkenal sebagai periwayat karya-karya Imam Syafi’i. Hampir semua karya Imam Syafi’i yang sampai pada zaman ini melalui Rabi’ bin Sulaiman. Kepadanya Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’, Ini suratku. Pergilah dan sampaikan surat ini kepada Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal). Sesampai di sana kamu tunggu jawabannya dan sampaikan padaku.”
Setelah menerima perintah itu Rabi’ segera bergegas menuju Baghdad. Di sana ia berjumpa dengan Imam Ahmad bin Hanbal saat shalat Shubuh. Setelah Imam Ahmad keluar dari mihrab, Rabi’ menyampaikan surat tadi sambil berkata, “Ini surat saudara Anda, As-Syafii dari Mesir.” Imam Ahmad bertanya, “Engkau telah tahu isinya ?” Rabi’ menjawab, “belum.” Kemudian Imam Ahmad membuka surat tersebut dan membacanya sambil berlinangan air mata. Rabi’ yang penasaran kemudian bertanya, “Apa isinya, Wahai Abu Abdillah ?” Imam Ahmad menjelaskan bahwa As-Syafii dalam surat tersebut bercerita telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Dalam mimpi tersebut Rasulullah bersabda, “Kirimkan surat kepada Abu Abdillah dan bacakan salamku kepadanya. Kemudian katakan padanya, ‘Sesungguhnya Engkau akan mendapat cobaan besar. Ketika itu jangan Engkau turuti mereka maka Allah akan mengangkat namamu hingga hari kiamat.” Setelah mendengar itu, Rabi’ pun berkata, “Ini kabar gembira, Wahai Abu Abdillah.” Kemudian Imam Ahmad mencopot salah satu baju gamis yang menempel di tubuhnya dan memberikannya kepada Rabi’. Salah satu kebiasaan orang Arab adalah memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih ketika ada orang yang membuatnya gembira. Rabi’ menerima pemberian itu sambil menunggu jawaban Imam Ahmad terkait surat As-Syafii.
Setelah urusan selesai Rabi’ kembali ke Mesir. Di sana ia segera menemui Imam Syafii dan memberikan surat balasan dari Imam Ahmad. Setelah itu Imam Syafii bertanya,”Apa yang diberikannya padamu ?” Rabi’ menjawab, “Ia memberikan baju gamisnya.” Imam Syafii melihat kegembiraan yang terpancar dari Rabi’ karena menerima baju tersebut. Kemudian Imam Syafii berkata, “Aku bukan hendak menyusahkanmu dengan memintamu memberikan baju itu padaku. Namun basuhlah baju itu kemudian berikan air basuhannya padaku agar aku bisa bertabarruk dengannya.”
Kisah ini disampaikan oleh banyak ulama diantaranya Imam as-Subki dalam Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubra, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan ‘Nihayah, Ibnul ‘Jauzi dalam Manaqibu Ahmad dan As-Safarini dalam Ghidza`ul ‘Albab. Dalam keterangan Imam Ibnu Muflih yang termaktub di kitab Al-Adabus ‘Syar’iyyah, Imam Rabi’ menjelaskan bila air tersebut disimpan oleh Imam Syafi’i dan digunakan untuk cuci muka setiap hari. Sebenarnya Imam Ahmad adalah murid dari Imam Syafii namun saat itu Imam Ahmad telah terkenal sebagai ulama besar di Baghdad. Hubungan guru dan murid ini tak menghalangi Imam Syafii untuk bertabarruk kepada Imam Ahmad sebagai bentuk pengakuan beliau akan kesalehan dan keilmuan Imam Ahmad. Ini bentuk tawadlu Imam Syafii. Selain itu dalam kisah ini Imam Syafii mengajarkan kepada muridnya yang bernama Rabi’ anjuran untuk bertabarruk dengan orang saleh dan ulama sekaligus menandaskan bahwa tabarruk tidak melulu khusus kepada Rasulullah Saw.
Tabarruk secara bahasa bermakna mengharap barakah. Sedang barakah sendiri bermakna bertambah atau berkembang. Dalam kaitan dengan tabarruk, barakah berarti anugerah dan limpahan ilahi sehingga amal kebaikan terus bertambah. Dengan demikian bertabarruk dengan orang shalih mengharap kepada Allah Taala atas limpahan dan bertambahnya amal kebaikan dengan wasilah kedudukan derajat orang shalih tersebut di sisi Allah Taala.
Bertabarruk hakikatnya bertawassul kepada Allah dengan orang shalih atau hal-hal yang terkait dengannya. Tabarruk dapat dilakukan dengan mengunjungi orang shalih, menziarahi kubur mereka, pakaian bekas dan tempat yang pernah dikunjungi mereka, dan lain-lain. Bertabarruk sangat dianjurkan dalam agama menurut mayoritas ulama madzhab empat selama tetap meyakini bahwa segala limpahan adalah pemberian Allah dan kita bertabarruk semata-mata mengikuti perintah Allah dan mengikuti anjuran Nabi-Nya. Hanya segelintir ulama yang melarang tabarruk dengan orang shalih seperti Imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Jauziyah, dan Imam Syathibi. Bahkan menurut penelitian Syekh Abdul ‘Fattah Qudais al-Yafi’i, tidak ada ulama sebelum Ibnu Taimiyah yang melarang bertabarruk dengan orang shalih. Dalam hadits riwayat Imam Thabrani, Abu Nuaim dan Imam Baihaqi dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw. juga meminum air dari tempat wudlu karena mengharap barakah dari tangan kaum muslimin. Para perowi hadits ini dinilai tsiqah oleh Al-Haitsami dan hadits tersebut dinilai hasan oleh Al-Albani.
Sumber : At-Tabarruk bis ‘Shalihin bainal ‘Mujizina wal ‘Mani’in karya Syekh Abdul Fattah Qudais Al-Yafi’i dan Al-Mausu’atul Yusufiyah karya Syekh Yusuf Khathar Muhammad, dan lain-lain.
*) Penulis adalah pegiat komunitas literasi pesantren, tinggal di Magelang.