Suatu kali Ibrahim bin Adham seorang sufi besar melakukan sebuah perjalanan. Saat itu hawa dingin sedang menerpa hingga marasuk ke tulang. Ibrahim ini kemudian mampir di sebuah masjid. Selepas sholat Isya, para jamaah keluar pulang ke rumah masing masing. Sebagai musafir, Ibrahim hendak menginap di masjid tersebut. Namun sebelum minta izin tiba-tiba dirinya dihampiri seorang imam dan memintanya keluar.
“Saya seorang musafir. Saya berencana menginap malam ini di masjid,” kata Ibrahim bin Adham.
“Tidak ada alasan!” jawab imam ketus.
Setelah itu Ibrahim terlibat berbincang panjang dengan si imam. Hingga akhirnya kaki Ibrahim diseret dan tubuhnya dilemparkan ke tempat sampah. Gubrak !!! Pintu masjid ditutup.
Sambil menahan rasa sakit ,Ibrahim bangkit dalam kondisi bingung. Ia berfikir kesalahan apa yang diperbuat sehingga tidak boleh menginap di masjid itu. Disaat yang sama tampak sebuah dapur dengan api yang sedang menyala. Ibrahim lantas mendekati tempat itu. Tampak dihadapannya seorang sederhana namun terasa amat spesial.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ibrahim bin Adham memulai pembicaraan.
Namun salam itu tidak berbalas. Karena penasaraan Ibrahim kemudian kian dekat dengan orang tersebut yang asyik dengan aktifitasnya. Tampak pria tersebut menoleh ke kiri dan ke kanan. Baru setelah selesei dengan aktivitasnya, orang tersebut membalas salam Ibrahim.
“Mengapa kau tidak segera menjawab salamku?” tanya Ibrahim.
Mendengar pertanyaan Ibrahim lelaki itu menjawab,“Aku ini hanya seorang pegawai, saya khawatir sibuk dengan urusan di luar pekerjaanku, sehingga berdosalah aku.”
Rasa penasaraan Ibrahim semakin bertambah. Ia kemudian bertanya lagi, “mengapa engkau tadi menengok ke kanan dan ke kiri.”
“Aku tidak tahu dari arah mana malaikat maut bakal mendatangiku,” jawab pria tersebut.Sesaat kemudian perbincangan berlanjut dengan hangatnya. Ibrahim lantas mulai menyinggung hal yang sifatnya sangat pribadi.
“Berapa engkau digaji?” tanya Ibrahim.
Orang tersebut kemudian menjawab, “Saya digaji satu plus seperenam dirham. Seperenam dirham untuk kebutuhanku sendiri, satu dirham untuk kebutuhan keponakanku. Anakku sendiri sudah meninggal. Sudah 20 tahun aku menghidupi anak-anak saudaraku itu.”
“Saudara kandung?” tanya Syekh Ibrahim penuh selidik.
“Bukan. Saudara-saudara saya di jalan Allah,” jawabnya
Jawaban tersebut membuat Ibrahim menjadi trenyuh. Ia berfikir bahwa saat itu dirinya berhadapan dengan seseorang yang sangat istimewa. Ibrahim menganggap pria tersebut sangat bertanggung jawab dan amanah terhadap pekerjaannya. Ia juga seorang yang selalu ingat akan datangnya kematian sekaligus dermawan kepada orang lain atas dasar persaudaraan universal.
“Apakah kau ada permohonan kepada Allah?” tanya Ibrahim kemudian .
“Ada. Ya, selama dua puluh tahun aku memiliki permintaan kepada Allah namun sampai kini belum terkabul,” jawabnya
Ibrahimpun bertanya lagi, “Apa itu?”
“Aku memohon dapat berjumpa Ibrahim bin Adham, lalu aku meningal dunia.”
Mendengar hal itu Ibrahim menjadi terhenyak. Ibrahim lantas mengungkap bahwa dirinya adalah orang yang dicarinya selama puluhan tahun itu. Mendengar pengakuan tersebut, sontak pria itu melompat dan memeluk Ibrahim bin Adham dengan penuh keharuan yang mendalam.
Kemudian atas permintaan orang tersebut, Ibrahim dengan lembut meletakkan kepala si pria dermawan itu di atas sebuah batu. Dengan lirih tersebut berkata, “Tuhanku, Engkau telah kabulkan doaku, maka genggamlah sekarang aku menuju ke haribaan-Mu.” Sesaat kemudian, pria saleh itu wafat dengan penuh kedamaian dan ketenangan.