Ada kisah menarik dalam kitab Tadzkirah al-Awliya karangan Fariduddin al-Attar. Yakni kisah tentang Imam Ahmad bin Hanbal. Ceritanya, Imam Ahmad bin Hanbal pernah sering sowan (silaturrahmi) kepada Biysr al-Hafi, seorang ulama sufi kenamaan di masanya.
Karena begitu seringnya sowan, sampai para santri Imam Ahmad pun bertanya-tanya. Salah satu dari mereka akhirnya ada yang memberanikan diri untuk bertanya apa yang menyebabkan Imam Ahmad bin Hanbal sowan kepada sufi yang wafat pada tahun 227 H tersebut.
“Wahai guru, kami menganggap di zaman ini, tak ada orang yang sepadan denganmu dalam hal fikih dan hadis. Engkau memiliki kemampuan untuk berijtihad, baik dalam urusan agama maupun urusan yang lain. Tapi engkau masih sering sowan kepada Bisyr al-Hafi. Hal ini tentu kurang layak engkau lakukan jika diukur dengan kemuliaanmu,” tanya murid tadi.
Imam Ahmad menjawab, “adalah benar yang engkau katakan. Aku memang mengetahui banyak hal tentang apa saja yang engkau sebutkan tadi. Namun Bisyr al-Hafi lebih paham dariku tentang Allah Swt”.
Belakang diketahui bahwa ketika Imam Ahmad bin Hambal, ia mendapat riwayat atau ilmu yang berasal langsung dari Allah Swt. Bisyr al-Hafi berkata, “Hadatsani ‘an rabbi…” (Berkata kepadaku, dari Tuhaku….).
Kebiasaan menyebut asal muasal suatu riwayat ilmu biasanya lebih terkenal dalam dunia hadis, yakni bernama sanad atau trasmisi keilmuan. Misalnya, hadis ini dari si A, si B, si C, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Saw.
Kejelasan sanad merupakan hal yang penting sekali karena sebagai bukti bahwa hadis/ilmu/riwayat/informasi yang didapatkan benar-benar valid adanya karena berasal dari sumber yang jelas. Nah, dalam kisah Imam Ahmad di atas, Bisyr al-Hafi mendapat ilmu langsung dari Tuhan. Mungkinkah hal demikian? Bagi orang-orang yang sudah dekat dengan Allah, mungkin saja.
Dari apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad dengan tetap belajar kepada Bisyr al-Hafi di atas, kita menjadi paham bahwa tak ada orang yang benar-benar mengetahui tentang banyak atau semua hal. Bisa jadi seseorang memiliki penguasaan yang maksimal dalam satu bidang ilmu/keterampilan (sehingga ia layak disebut ahli), namun di saat yang bersamaan, ia pasti juga memiliki di bidang yang lain. Oleh karenanya, maka seseorang hendaknya tidak berhenti belajar tentang bidang yang ia tidak/belum kuasai, terutama tentang hal yang memang lebih penting untuk dipelajari.
Belajar atau menuntut ilmu menjadi prioritas utama dalam agama Islam. Turunnya perintah membaca sebagai wahyu pertama mengisyaratkan hal ini. Ditambah lagi, perintah itu tidak memiliki obyek khusus, yang oleh para ulama dipahami bahwa obyeknya bisa apa saja (umum).
Allah Swt juga berfirman:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Dalam tafsir Mahasin al-Takwil karya al-Qasimi dijelaskan bahwa ayat ini menjadi penegasan dari Allah Swt bahwa Dia akan memberikan derajat di dunia dan akhirat kepada siapa saja yang (1) beriman dengan mengerjakan perintahNya dan perintah rasulNya, (2) ‘alim (mengetahui) perintah-perintah itu, dan (3) mengerjakan kewajiban-kewajiban itu dengan ilmu yang dimiliki.
Apakah ketiga kriteria di atas harus dipenuhi oleh satu orang atau tiga orang berbeda? Penulis memahami dan meyakininya sebagai satu orang. Sehingga, iman saja tidak cukup, harus berilmu. Hal ini juga yang disebutkan dalam salah satu pendapat (qila) dalam kitab Marah Labid, karya Syaikh Nawawi Banten.
Sehingga, dari uraian di atas dapat dipahami bahwa menjadi orang beriman harus juga ‘alim(berilmu). Atau berilmu saja tidak cukup, harus juga dibarengi dengan keimanan. Untuk mengerjakan perintah Tuhan, bukankah terlebih dahulu kita harus mengetahui syarat dan rukunnya?. Wallahu a’lam.