“Bagaimana mungkin Anda meminta saya membuat kebijakan wajib hijab bagi 10 juta perempuan, kalau Anda sendiri tidak bisa membuat putri Anda mengenakan tharhah (kerudung)?” kata Gamal Abdel Nasser kepada pimpinan Ikhwanul Muslimin medio 1950-an.
Ada dua poin dari ceng-cengan Presiden Mesir ke-2 itu. Pertama, anak dari pimpinan Ikhwanul Muslimin tidak berjilbab. Kedua, tahun segitu jilbab belumlah segebyar hari ini. Di sini, saya tidak bermaksud untuk mendelegitimasi dalil yang seringkali digunakan untuk bandulan wajib hijab. Karenanya, kamu tidak perlu tegang. Rileks saja, fren…
Nah, yang ingin saya diskusikan di sini adalah bagaimana diskursus tentang jilbab bisa menjadi wacana dominan, bahkan pada derajat tertentu mengakibatkan penghakiman kepada perempuan lain di luar rezim pengetahuan tentang jilbab tersebut (space-off).
Baik. Awalnya, saya mencari petunjuk tentang kata kunci “jilbab” di depan altar Google. Yang keluar adalah macam-macam jilbab. Ada bergo; instan; pashmina; bergo maryam; saudia; arrafi; syar’i; dan masih bejibun lagi.
Dari sini, saya lalu mengerti bahwa jilbab tidak saja memiliki fungsi sebagai konstruksi identitas seorang Muslimah, tetapi ia juga telah menjadi komoditas yang memiliki nilai jual. Ini tidak selalu buruk. Faktanya, jilbab memang telah menjadi “kebutuhan” buat Muslimah yang meyakini bahwa menutup kepala dengan selembar kain adalah wajib.
Lalu, “kebutuhan” itu pun terendus oleh industri pakaian sebagai potensi pasar yang prospek dan menguntungkan. Tahun 2020 lalu, misalnya, Indonesia sempat diprediksi menjadi pusat pakaian muslim dunia dengan perempuan dan jilbab sebagai kapital utamanya.
Kontras dengan itu, jika kamu pernah melihat poster RA Kartini atau Cut Nyak Dien, kenapa dua pahlawan itu tidak mengenakan jilbab? Rasanya terlalu berlebihan jika menganggap keduanya sebagai awam agama. RA Kartini adalah murid KH Sholeh Darat dan merupakan sosok penting di balik lahirnya Tafsir Faidlur Rahman.
Sementara itu, Cut Nyak Dien yang berdomisi di serambi Mekah mestinya juga mendapat akses pendidikan agama yang baik. Plus, sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang professor di bidang sejarah dari Universitas New South Wales, Australia, Jean Gelman Taylor, nyatanya menyebutkan bahwa tidak ada gambar hijab di foto-foto perempuan Aceh pada tahun 1880-an and 1890-an.
Dugaan saya, ini menunjukkan bahwa perkara jilbab tidak bisa dipandang sebagai praktik kepatuhan beragama saja, melainkan juga erat kaitannya dengan laku kebudayaan masyarakat.
Pertanyaannya, momentum apa yang menandai jilbab bisa sedemikian meriah?
Jumhur pengamat sepertinya bersepakat jika fenomena jilbab ini memiliki elan-vital dengan masa-masa sekarat Orde Baru, kendati Soeharto sebelumnya sempat melarang pemakaian hijab di institusi formal, dan ruang publik lainnya. Pemerintah beranggapan bahwa hijab adalah simbol politis yang berasal dari Mesir dan Iran di mana situasi politik kedua negara itu tidak sama dengan situasi Indonesia.
Lalu era reformasi dimulai. Kran kebebasan berekspresi dan berpendapat terbuka semakin lebar ketimbang masa sebelumnya. Demikian halnya dengan jilbab sebagai salah satu simbol politik identitas. (Desclaimer: “poltik identitas” di sini dimengerti sebagai maknanya yang positif, alih-alih politik identitas ala-ala Pilkada atau Pilpres yang masyaAllah itu)
Ya, jika jilbab di masa Orba mengalami opresi atau marjinalisasi, maka secara konsisten ia hari ini telah mendapat rekognisi, atau penerimaan masyarakat. Bahkan, menurut taksiran Global Business Guide Indonesia, sejak awal tahun 2000 sektor fesyen muslim telah berkembang pesat. Ini ditandai dengan banyaknya perempuan perkotaan yang masih muda menggunakan hijab.
Meski begitu, perkembangan jilbab ini ternyata tidak selamanya selamat dari mata-rantai kapitalisasi tubuh perempuan. Maksudnya, hijab tidak saja menuntut pakaian Muslim yang hanya menutupi kepala dan tubuh, tetapi juga meniscayakan gaya dan desain yang menarik untuk meningkatkan budaya konsumen.
Di lain pihak, merangseklah para selebriti Ibu Kota ke dalam profesi sebagai pendengung agama. Di masa ini, faktor media sosial juga tidak kalah krusial. Perkawinan antara keduanya kemudian melahirkan yang namanya “seleb hijrah”.
Fenomena jilbab pun menjadi semakin massif, dan pada titik tertentu menjadi arena permainan citra.
Dalam sebuah deskripsi yang cukup ciamik, seorang ukhti, Esty Dyah Imaniar, menulis kegusarannya, begini:
“Boleh jadi dulu jilbab telah membebaskan banyak muslimah dari jerat standar kecantikan fisikal. Tetapi hari ini fesyen jilbab justru kembali memenjarakan muslimah pada kontestasi kecantikan berbasis ‘tren industri syariat’ musiman.”
Akibatnya, jilbab hari ini telah kehilangan fungsi dasarnya sebagai penutup aurat (bagi yang meyakini) menjadi aparatus kapitalisme.
Lebih jauh, rezim kecantikan yang sedianya telah mapan dengan institusi male gaze-nya secara perlahan mulai digoyang. Apa yang pernah dikicaukan oleh Felix Siauw soal “berhijab hanya untuk yang cantik”, misalnya, adalah salah satu contoh betapa definisi cantik kini mengalami proses dialektisnya. Lebih dari itu, kamu bisa melihat komentar senada di feed media sosial milik artis-artis perempuan yang hijrah dan mengenakan jilbab.
Sebaliknya, perkara jilbab ini bisa juga menjadi pemicu persoalan serius. Kasus pemaksaan penggunaan jilbab kepada salah satu siswi non-Muslim di Padang, umpamanya, adalah kelewat cukup untuk menunjukkan bahwa jilbab hari ini telah menjadi sebuah narasi besar yang memungkinkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang tidak berjilbab. Belakangan Mendikbud meresponnya dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri.
Atau, kasus lain. Belum lama ini seorang selebgram, Rachel Vennya, menyita perhatian warganet. Dalam pengakuannya di channel Youtube Boy Wiliyam, dia menuturkan sesuatu yang bagi saya cukup mengejutkan.
“Pas aku mencoba untuk ngerubah penampilan aku, maksudnya dengan gak pake jilbab, itu aku sebenernya kayak gemeteran gitu lhoh. Kaya orang ketakutan gitu kan. Mungkin banyak orang yang (bilang) ‘kenapa’ terus kaya ‘ini tu salah’. Aku tu tau ini salah, tapi boleh gak, aku tuh tetep aku kok.”
Di sini, kita bisa mengajukan pertanyaan, kenapa dia musti gemeteran, mesti ketakutan? Apa/siapa yang dia takutkan? Kalau pun tindakannya itu diklaim sebagai “salah”, itu menurut apa/siapa?
Butuh diskusi lain untuk menjawabnya, kapan-kapan saya tulis, insyaAllah…
*Artikel ini hasil kerja sama Islami.co dan RumahKitaB*