Suatu hari, Hasan al-Bashri ikut mengantarkan seorang jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Ketika jenazah sudah dibaringkan ke liang lahat, ia kemudian duduk di samp ing kuburan itu. Hasan al-Bashri menangis sampai debu-debu berubah menjadi tanah (karena begitu banyaknya air mata).
Beberapa saat kemudian, ia lantas berkata kepada orang-orang yang hadir saat itu. “Lihatlah kuburan ini! Ini adalah akhir dari tempat di dunia dan awal tempat di akhirat.”
“Oleh karenanya, janganlah kalian tertipu dengan tempat yang akhirnya saja seperti ini (yakni berupa tanah)! Juga, bagaimana mungkin kalian tidak takut terhadap tempat yang awalnya juga seperti ini (akhirat),” Hasan al-Basri menambahkan.
Tidak hanya sampai situ, ia masih melanjutkan dawuh-nya, “Maka, perbaikilah awal (akhirat) dan akhir (dunia) kalian!”
Kisah yang terdapat dalam kitab Tadzkirah al-Awliya’, karya Fariduddin al-Attar di atas mengajarkan kepada kita banyak hal. Salah satunya adalah bahwa manusia hendaknya selalu berpikir dan memahami apa saja untuk dijadikan bahan renungan dan pelajaran.
Allah Swt. berfirman:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al-’Alaq [96]: 1)
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, kata qara’a, awalnya berarti menghimpun. Jika seseorang merangkai kata atau huruf dan menguncapkan rangkaian itu, maka sejatinya ia telah menghimpunnya (membacanya).
Oleh karenanya, perintah membaca ini tidak ada hubungannya dengan suatu yang tertulis atau harus diucapkan. Maka wajar, jika selain memiliki arti membaca, kata qara’a juga memiliki arti-arti yang lain, di antaranya menyampaikan, menelaah, mendalami, dan mengetahui. Tidak adanya obyek pada ayat di atas juga berarti bahwa obyek membaca itu bisa apa saja (bacaan yang tertulis, alam raya, atau diri sendiri).
Dari kisah di atas kita juga bisa memahami bahwa semewah dan sehebat apapun kondisi seseorang ketika di dunia, tak akan ada yang ia bawa mati melainkan hanya beberapa helai kain kafan saja dan tak ada yang yang tempati melainkan hanya beberapa jengkal tanah saja.
Sehingga, seyogianya yang menjadi perhatian bagi setiap muslim adalah bagaimana kehidupannya setelah mati. Adapun kehidupan saat ini (sebelum mati) hanyalah sebagai sarana untuk mencari bekal untuk kehidupan setelah mati itu. Dengan kata lain, dunia adalah tempat menanam dan akhiratlah tempat memanen.
Karena dunia tempat menanam, maka wajar jika keberadaan manusia di dunia penuh dengan tuntutan untuk beribadah kepada Allah Swt, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa seorang mukmin itu terpenjara dan terlarang untuk menikmati kenikmatan yang haram dan makruh. Ia juga terbebani untuk melaksanakan berbagai macam ibadah—itulah mengapa setiap Muslim yang telah aqil baligh disebut sebagai mukalaf (yang terbebani).
Larangan dan kewajiban ini hanya akan berhenti ketika ia telah meninggal dunia. Dan ketika itu (telah meninggal), ia akan mendapatkan nikmat-nikmat yang abadi yang telah dijanjikan Allah Swt.
Hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan orang kafir. Berapapun kemewahan dunia yang miliki, baik banyak atau sedikit, maka ketika ia meninggal dunia, yang ia dapatkan adalah siksa yang abadi.
Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (QS. Al-Dhuha [93]: 4)
Dalam tafsir al-Muntakhab dijelaskan, maksud dari ayat di atas adalah akhir dari suatu hal itu lebih baik daripada awalnya. Atau gampangnya, yang terpenting dari suatu hal itu adalah happy ending. Wallahu a’lam.