Mendekati tahun politik, suasana timeline media sosial saya makin panas saja. Tidak hanya dibanjiri status endorse kandidat gratis dari para pendukungnya, tetapi juga meme-meme saling sindir kedua pasangan, termasuk drama terakhir yang melibatkan aktivis sosial Ratna Sarumpaet.
Sebelum akhirnya mengakui bahwa bengkak-bengkak pada wajahnya bukanlah bekas dianiaya, Ratna sempat menyatakan jika ia dipukul oleh sekelompok orang tak dikenal di Kawasan Bandara Husein Sastranegara Bandung. Pengakuan Ratna sontak menimbulkan reaksi banyak pihak, termasuk para supporter capres cawapres Prabowo dan Sandiaga Uno.
Menariknya, protes keras juga dilancarkan oleh para emak. Yang selama ini terkenal adem ayem kalau sudah berurusan dengan politik. Di beberapa grup WhatsApp bahkan tak jarang mereka saling melontarkan simpati bahwa kasus Ratna adalah tindakan semena-mena, dan hal tersebut mencerminkan bahwa politik Indonesia sangatlah tidak ramah perempuan. Eh, tidak ramah perempuan? Tunggu dulu, politik Indonesia tidak ramah perempuan indikatornya apa ya? Apa hanya karena satu orang jubir capres mengaku dipukuli, hal itu sudah menjadi patokan?
Mari lihat faktanya. Indonesia adalah salah satu negara yang pernah memiliki pimpinan negara seorang wanita. Bahkan negara sekaliber Amerika Serikat pun tidak pernah mengalaminya. Tidak hanya itu, peraturan kita membuka lebar kesempatan perempuan untuk aktif di ranah politik (nyata ya, bukan hanya grup WA dan FB) melalui UU Nomor 31 Tahun 2002 dan UU Nomor 2 Tahun 2008. Meski, belum semuanya terealisasi dengan baik, namun proporsi keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia masih di atas rata-rata proporsi perempuan di negara-negara Asia maupun Asia Tenggara.
Tidak berhenti sampai disitu saja, geger Ratna dianiaya juga menimbulkan gossip lainnya: kalangan petahana memang mengincar Ratna sebagai target utama karena mereka tahu Ratna terlalu banyak mengkritisi pemerintah. Hal ini selanjutnya dikembangkan dengan banyaknya kasus pencekalan beberapa ustadz dan ulama, yang mereka yakini sebagai konspirasi politik menjelang 2019. Tarik menarik satu isu dengan isu lainnya pun kian menarik. Dan ranahnya pun, bukan lagi sekedar pergosipan artis kawin cerai, tetapi sudah merambah Kawasan baru yang dulu jarang dilirik emak-emak: politik!
Sebenarnya gairah perempuan terhadap isu-isu politik terkini dapat dikatakan sebagai angin segar bagi demokrasi kita. Sayangnya, militansi kaum hawa di situasi sekarang nampaknya kurang tepat. Selain tidak memverifikasi berita secara mendalam terlebih dahulu, mamak-mamak yang dibakar esmosi ini pun ikut-ikutan menyerang para petinggi negeri ini. Salah satu tweetnya bahkan menyebut politisi yang meragukan pernyataan Ratna sebagai orang yang tidak punya hati dan rasa kemanusiaan.
Bahkan meski Ratna sudah menggelar konferensi pers dan mengakui kebohongannya, banyak perempuan yang merasa bahwa mertua Rio Dewanto ini pasti dijebak, atau bahkan diancam sehingga ia berani melakukan tindakan pembohongan publik tersebut. Beberapa orang bahkan mati-matian membela Ratna dengan dalih bahwa ia adalah korban politik yang keji karena mereka meyakini bahwa Ratna adalah seorang aktivis perempuan cerdas, bahkan sempat disanding-sandingkan dengan Cut Nyak Dien masa kini.
Ehmm.. kalau saya sih malah kasihan pada emak-emak semua, meski sudah mulai melek politik, sayangnya para politisi di atas sana meski sudah didukung habis-habisan oleh akar rumput, ujung-ujungnya ketika menjabat, tetaplah lupa.
Jadi, sebenarnya siapa sih korban politik ini sesungguhnya?!