Ketika Dilanda Musibah, Begini Sebaiknya Sikap Seorang Muslim

Ketika Dilanda Musibah, Begini Sebaiknya Sikap Seorang Muslim

Ketika Dilanda Musibah, Begini Sebaiknya Sikap Seorang Muslim

Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari cobaan, musibah dan bencana. Silih berganti roda kehidupan manusia terus berputar, terkadang senang, susah, ditimpa bencana dan musibah. Kesemuanya itu merupakan ketentuan yang sudah digariskan Allah SWT.

Musibah yang terjadi sering dikaitkan karena adanya sebab akibat dari ulah manusia sendiri, dari pernyataan tersebut masyarakat mengira bahwa bencana yang sering terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh azab yang diturunkan oleh Allah SWT untuk menegur manusia. Bencana atau musibah terjadi bukan hanya karena ulah tangan manusia, melainkan ada faktor alam dan takdir yang menyebabkan adanya bencana yang menimpa manusia di muka bumi. Tetapi meskipun begitu manusia harus tetap menjaga lingkungan agar dapat meminimalisir bencana yang sewaktu-waktu terjadi tanpa bisa diprediksi oleh teknologi.

Dalam bahasa Arab istilah musibah sebenarnya yaitu berasal dari kata aṣᾱba, yuṣiba, musibatan, jika mengutip Kamus Al Muanwwir berarti sesuatu yang menimpa manusia berupa kebaikan atau keburukan. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musibah diartikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa, malapetaka atau bencana. Kata musibah tersebut bersinonim dengan kata bencana, kecelakaan, kedukaan, kemalangan, kesedihan, kesengsaraan, kesusahan, malapetaka, musakat, musibat, penderitaan, perasaian, sial.

Dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak istilah untuk kategori bencana salah satunya adalah fitnah, sebenarnya fitnah tidak identik dengan bencana, namun jika dicermati secara teliti dalam perspektif Islam fitnah merupakan bagian dari bencana seperti kekafiran, kesusahan, harta dan keturunan adalah bagian dari fitnah. Fitnah ini merupakan bencana non alam. Sebagai mana yang terdapat dalam Al-Qur’an bahwa:

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At Taghābun [64]: 15)

Fitnah adalah kondisi saat seorang harus menghadapi situasi yang samar, penuh kebingungan. Bagaimana fitnah bisa lebih berbahaya dari pembunuhan? Pembunuhan hanya memisahkan ruh seseorang dari jasadnya setelah itu selesai. Sedangkan fitnah dapat merenggut keyakinan seseorang akibat samarnya kebenaran dan kebatilan. Jika pembunuhan hanya merugikan korbannya di dunia, maka fitnah bisa merugikan seseorang di dunia dan akhirat.

Bencana adalah satu fenomena yang bersifat perennial (abadi) karena sampai kapanpun peristiwa ini akan terus terjadi. ada bencana yang dapat dicegah (diupayakan untuk tidak terjadi), namun ada pula bencana yang tidak dapat dihindari, sehingga manusia hanya dapat berusaha mengantisipasi supaya tidak terjadi korban harta dan jiwa. Banjir dan tanah longsor adalah bencana yang dapat dicegah selama manusia mampu memahami alam. Banjir bukanlah kesalahan air namun terjadi karena manusia tidak memberikan hak air untuk mengalir menuju laut dan meresap ke dalam tanah. Sungai sebagai tempat mengalirnya air dipenuhi oleh sampah, sedangkan tempat untuk meresap dibuat perumahan atau bangunan dari beton.

Dalam Pandangan Islam, musibah merupakan hal yang harus dijalani dalam kehidupan manusia. Menurut M Quraish Ṣihab pakar tafsir kenamaan Indonesia dalam karyanya yang berjudul Fatwa-Fatwa: Seputar Al-Qur’an dan Hadis, beliau mengatakan kata muṣibah diambil dari akar kata yang berarti mengenai atau menimpa pada mulanya, akar kata ini berkaitan dengan lemparan yang mengenai sasaran. Menurut Quraish Ṣihab muṣibah terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 10 kali. Semuanya digunakan untuk sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun demikian, harus diingat bahwa apa yang tidak menyenangkan bila direnungkan pasti tepat dan benar.

Dalam Al-Qur’an bahwa orang yang beriman untuk selalu dalam keadaan siaga sebelum akan teradinya suatu yang membahayakan, hal ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an bahwa:

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 200)

Al-Qur’an menganjurkan untuk memiliki perencanaan siaga yang mengarah kepada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan, mengurangi dampak, menangani secara efektif serta melakukan pemulihan diri dari dampak, dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri. Seorang muslim harus mampu manaj dan bersiapsiaga dalam menghadapi bencana. kesiapsiagaan membutuhkan perencanaan, perencanaan. Perencana menjadi hal yang sangat penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan.

Musibah sering kali dianggap buruk oleh yang tertimpanya, padahal menurut Allah SWT itu yang terbaik untuknya. Bisa jadi, jika Allah SWT tidak memberikan musibah demikian, musibah yang lebih buruk dari pada itu akan menimpanya. Artinya, Allah SWT memberikan musibah yang lebih ringan dan menyelamatkannya dari musibah yang lebih besar  Allah SWT tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan hambanya-Nya. Jika hari ini manusia sedang diuji, berarti umat tersebut mampu untuk melewatinya. Setiap ujian yang datang silih berganti, telah membantu manusia menjadi sosok yang lebih sabar juga kuat. Meskipun terkadang ujian itu sangat berat. Begitulah cara Allah SWT mengasihi setiap makhluk-Nya.

Sikap Muslim dalam menghadapi musibah

Sikap umat Islam dalam menghadapi bencana dan musibah harus dikembalikan kepada pangkal pokok ajaran agama. Secara akidah, umat Islam harus meyakini bahwa bencana yang melanda  datangnya dari Allah sebagaimana Surat An-Nisa ayat 78.

  “Katakanlah, ‘Semuanya (berasal) dari sisi Allah,” (Surat An-Nisa ayat [4]: 78).

Umat Islam harus menyadari bahwa segala sesuatu termasuk bencana dan musibah datangnya dari Allah. dan hal tersebut merupakan bagian dari keimanan. Sebagaimana Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseorang tidak beriman sampai ia mengimani takdir yang baik dan yang buruk,” (HR Ahmad).

Meski segala sesuatu datangnya dari Allah, manusia dituntut untuk berakhlak atau menyikapi bencana secara bijak. Manusia juga wajib berikhtiar sebagai bagian dari pengakuan lemah manusia. Di antara sikap atau ikhtiar manusia dalam menghadapi musibah dan bencana adalah Pertama, menyakini bahwa musibah atau bencana tersebut adalah takdir dari Allah. Kedua, dalam kaitannya dengan bencana alam, manusia harus menyadari tugas khilafah di muka bumi ini diantaranya adalah menjaga dan melestarikan alam. Ketiga, berbaik sangka (ḥusn al-zann), meniadakan prasangka buruk. Baik kepada Allah maupun kepada manusia. Keempat bersikap sabar, syukur dan tawakal. Sikap tersebut harus manusia lakukan dalam menghadapi bencana yang terjadi. Dan yang terakhir adalah besikap tawakal kepada Allah sebagai bentuk kepatuhan dan keimanan kepada Allah.