Sebagai seorang perempuan tentu kita tidak bisa terlepas dari menstruasi atau haid. Namun, dari kebiasaan itu, bukan tidak mungkin terkadang perempuan juga mengalami dilema karena haid yang tidak stabil, alias darah haidnya terputus-putus.
Namun, di luar hal itu seorang perempuan biasanya akan tahu berapa lama kebiasan haidnya jika sudah mengalami tiga kali haid secara teratur.
Dalam ilmu fikih, sebenarnya yang dijadikan parameter bukanlah tanggal haidnya, tapi jumlah hari haidnya atau berapa lama haidnya dalam rentang waktu sebulan itu. Misal 6 hari, 7 hari, 8 hari, atau 15 hari (masa maksimal haid).
Jika lebih dari 15 hari, maka darah tersebut sudah dianggap sebagai istihadoh dan seorang perempuan wajib untuk menunaikan sholat.
Lalu, bagaimana dengan perempuan yang darahnya terputus putus atau haidnya tidak teratur? Misalnya, si A biasanya haid 8 hari, tetapi di hari ke 4, 5, dan 6 darah haidnya berhenti, kemudian ia bersuci.
Namun di hari 7 setelah ia bersuci ternyata darahnya masih keluar lagi, bahkan melebihi jumlah hari kebiasaan haidnya, yaitu 10 hari. Bagaimanakah hukumnya?
Dalam hal ini jumhur ulama memiliki pandangan pendapat yang berbeda-beda:
Menurut madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam kitab Risalatul Mahid, jika darah terputus-putus, maksudnya darah berhenti lalu keluar lagi, itu masih termasuk dalam haid.
Jadi, dalam madzab ini walaupun darahnya terputus atau berhenti lalu ia suci kemudian ternyata darahnya keluar lagi, semua masa itu dianggap haid. Asalkan masih dalam rentang waktu 15 hari.
Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak ditemukan lendir putih. Jika masa tersebut dijadikan sebagai keadaan suci, berarti darah yang keluar sebelum dan sesudah suci tersebut termasuk kategori haid.
Sedangkan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian, pasti masa iddah dengan perhitungan quru’ (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Selain itu, akan merepotkan dan menyulitkan perempuan, karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari, padahal syariat tidaklah menyulitkan.
Menurut Madzhab Hanafi, perempuan yang mengalami darah haid terputus, lalu beberapa hari kemudian ternyata darahnya keluar lagi, maka darah kedua ini masih dianggap darah haid juga. Dengan syarat darah keduanya keluar dalam rentang waktu 10 hari (maksimal haid menurut imam hanafi).
Yang membedakan antara Madzhab Syafii dan Hanafi adalah pada masa terputusnya darah itu, perempuan tersebut wajib melaksanakan shalat, karena dianggap suci. Jika darah haidnya keluar lagi dalam rentang waktu 15 hari, maka ia dianggap haid dan tidak boleh menunaikan shalat. Pendapat Madzhab Hanafi ini juga sesuai dengan Madzhab Maliki.
Adapun menurut Madzhab Hambali, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah Istihadhah.
Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan, “Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang disebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi perempuan pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu itu akan menyulitkan, padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan …” (QS. Al Hajj : 78).
Wallahu A’lam