Beribadah kepada Allah merupakan kewajiban setiap manusia beriman. Ini sebagaimana yang difirmankan Allah, “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku” (QS. Az-Zariyat [51]: 56)
Ayat di atas, dalam tafsir al-Muntakhab dijelaskan bahwa meskipun ibadah adalah tujuan manusia (dan jin) diciptakan, namun ibadah itu sendiri bermanfaat untuk manusia. Dengan kata lain, ibadah yang dipersembahkan olehnya sama sekali bukan untuk Allah.
Dengan demikian, setiap apa yang dikerjakan manusia akan kembali kepada dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak mengambil keuntungan jika disembah dan tidak akan merugi meski tak ada yang menyembah sama sekali. Allah tetaplah Allah, Tuhan semesta alam.
Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, sebagaimana ia tulis dalam kitab tafsirnya, ibadah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ibadah dalam arti “mengagungkan Allah dan berbelas kasih kepada setiap makhlukNya”.
Pasalnya, jika arti ibadah dalam ayat di atas adalah ibadah dalam arti khusus (ibadah secara zahir), maka ini agaknya akan menjadi bermasalah. Mengapa? Karena ibadah itu sangat luas dan pasti menyesuaikan situasi dan kondisi yang menyertainya.
Dari sini, penulis mengambil contoh (karena dalam tasfirnya, al-Razi tidak menyebutkan contoh), misalnya, jika ibadah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah zakat, maka bagaimana dengan orang yang tidak memiliki harta? Atau, jika yang dimaksud dari ibadah itu adalah puasa, lalu bagaimana dengan orang yang tidak mampu fisiknya?
Berangkat dari tasfiran al-Razi di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud “ibadah” dalam ayat ini adalah ibadah rasa (hati), bukan ibadah nyata (fisik). Dengan demikian, karena hati yang menjadi patokan, maka semua orang berhak dan bisa mengerjakan dan mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada Allah.
Juga, karena hati yang menjadi inti dalam ibadah, maka fisik bukan lagi menjadi acuan. Hal ini juga bukan berarti merestui bahwa ibadah fisik tidak penting. Bukan! Sekali lagi, bukan demikian.
Orang sehat yang bisa mengerjakan shalat sunnah dengan kuantitas belasan atau bahkan puluhan rakaat belum tentu lebih baik daripada orang sakit yang mengerjakan shalat meski hanya beberapa rakaat saja.
Contoh lain, si kaya yang menyedahkan satu miliyar rupiah belum tentu bagi Allah lebih mulia daripada si miskin yang menyedahkan hartaya meski sedikit jumlahnya.
Initnya, semua orang diwajibkan dan dituntut untuk mengerjakan ibadah terbaik kepada Allah, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Dalam hal ini, kita bisa mencontoh dan meniru bagaimana semangat Uwais al-Qarni dalam mengerjakan ibadah kepada Allah, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, karya Fariduddin al-Attar.
Suatu hari, Rabi’ bin Khutsaim ingin bertemu dengan Uwais al-Qarni. Ia menemuinya saat shalat shubuh. Rencananya, setelah shalat itulah, Rabi’ ingin ngobrol dengan Uwais. Namun, tenyata justru Uwais sibuk membaca wirid sampai masuk waktu dhuha.
Ia pun, selepas dhuha, sama sekai tidak beranjak dari tempatnya. Ia terus beribadah kepada Allah sampai masuk waktu dhuhur. Begitu seterusnya ia melakukan ibadah sampai ashar, dan bahkan sampai maghrib.
Hal itu ia lakukan selama tiga hari berturut-turut sampai ia lupa makan dan tidur Dan pada hari keempatnya, ia merasa agak mengantuk. Lantas ia pun tersadar dan kemudian berdoa kepada Allah, “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari mata yang banyak tidur dan perut yang banyak makan”.
Melihat hal itu, Rabi’ membatin, “Sudah, cukup. Aku tak akan mengganggunya. Aku harus pergi meninggalkannya”.
Yang harus kita lihat dari kisah di atas tentu saja adalah semangat Uwais al-Qarni. Hal ini karena, saat ini, agkanya sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—meniru apa yang dilakuakn Uwais. Maka mari kita tiru semangatnya dalam beribadah untuk kemudian kita terapkan ke dalam ibadah (sunnah) yang sesuai dengan kecenderungan dan kapasitas kita!