Saat ini kita sedang dihadapkan kepada sebuah fakta bahwa wajah agama di ruang publik yang sangat ambivalen dan paradoks. Pada sisi pertama kita melihat wajah agama yang begitu meneduhkan, penuh kedamaian, keramahan dan penuh kasih sayang. Dan pada sisi yang lain, kini wajah agama begitu menyeramkan, penuh kemarahan dan penuh dengan kebencian.
Dan naasnya, saat ini yang banyak mendominasi wajah agama di ruang publik kita adalah ekspresi keagamaan yang penuh amarah dan tampak menakutkan. Wajah agama yang penuh kemarahan tersebut belakangan terus mengalami peningkatan. Hal ini bisa dibaca dari laporan lembaga Setara Institute yang menyebutkan bahwa intoleransi terhadap kebebasan beragama pada tahun 2018 mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya (Tempo, 20/08/2018).
Data tersebut memberikan konfirmasi terkait peristiwa inoleransi dan diskriminasi yang beberapa waktu belakangan ini semakin intensif terjadi. Seperti kasus pemotongan nisan salib di Kota Gede Yogyakarta. Dan yang kemudian disusul aksi serupa yang dilakukan di Magelang, Jawa Tengah. Beberapa bulan sebelumnya, aktivitas sedekah laut di Pantai Baron, Gunung Kidul juga dibubarkan dengan alasan kemusyrikan.
Berbagai fakta intoleransi tersebut membuat kita semakin prihatin dengan wajah dan ekspresi keagamaan yang semakin jauh dari fungsi-fungsi yang meneduhkan dan mendamaikan. Dari konteks persoalan yang memprihatinkan tersebut, ada penelitian menarik yang dilakukan oleh Nashori dan Nurjannah (2015) tentang perilaku prasangka dan pengaruh tingkat kematangan dalam beragama seseorang.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa tingkat kematangan beragama seseorang mempengaruhi ekspresi beragama seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat kematangan beragama yang tinggi, maka kecenderungan untuk berprasangka negatif terhadap non muslim semakin rendah. Begitu pula sebaliknya, jika kematangan beragama seseorang rendah, maka kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan prasangka semakin tinggi.
Dari penelitian tersebut memberikan jawaban terkait dengan permasalahan wajah agama di ruang publik yang belakangan ini semakin paradoks yang banyak diisi oleh kebencian dan intoleransi. Penelitian tersebut mengonfirmasi bahwa tingkat kematangan beragama memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku dan ekspresi beragama seseorang. Jika seseorang memiliki kematangan beragama yang tinggi ia akan cenderung toleran terhadap orang lain. Dan juga sebaliknya, jika tingkat kematangan beragamanya rendah maka cenderung intoleran.
Terkait dengan fakta merebaknya intoleransi, diskriminasi dan wajah agama yang penuh kemarahan tersebut, Buya Syafi’i Ma’arif (2018) membacanya sebagai fenomena “The Death of Expertice”, sebuah fenomena dimana hilangnya kepakaran dalam beragama. Hilangnya kepakaran atau intelektualitas dalam beragama adalah kata lain dari rendahnya tingkat kematangan beragama. Karena semakin banyak orang beragama lebih memilih jalan yang instan dan meninggalkan intelektualitas dalam beragama. Maka kemudian yang hadir adalah emosionalitas dan pendek akal.
Barangkali benar bahwa perilaku beragama seseorang itu dipengaruhi oleh tingkat kematangan beragamanya. Hal ini bisa kita pahami dari sikap dan ekspresi beragama dua ulama’ teladan: Prof. Quraish Shihab dan KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Kedua sosok tersebut seringkali dalam mengekspresikan keislamannya tampak lebih santai (tenang), rendah hati, penuh keteduhan dan kedamaian. Kita sudah tidak meragukan kedalaman pemahaman agama kedua ulama’ panutan tersebut.
Pada pihak yang lain, ada kalangan yang pemahaman agamanya masih dalam level amatiran, akan tetapi mereka begitu berani mengumbar kemarahan di ruang publik. Kalangan amatiran ini nalar beragamanya masih terjebak dengan cara pandang yang hitam-putih. Bagi mereka hanya ada dua hukum untuk menjustifikasi perilaku orang lain, kalau tidak halal ya haram. Cara pandang yang demikian ini adalah nalar agama yang simplistis dan kurang kedalaman.
Model beragama yang hitam-putih tersebut barangkali adalah model berislam yang disebut oleh Pak Haedar Nashir sebagai Islam Syari’at. Mereka mempraktikan agamanya masih dalam tataran level ritual formal. Mereka belum memasuki praktik beragama secara batiniah atau spiritualitas. Maka tidak heran jika mereka kurang berfikir secara jangka panjang dalam menyikapi perilaku orang lain.
Dengan demikian, tingkat kematangan beragama seseorang sangat besar dalam mempengaruhi ekspresi dan sikap beragama seseorang. Orang yang memiliki kedalaman dan intelektualitas beragama yang tinggi akan cenderung mudah memahami perbedaan agama orang lain. Dan sebaliknya, orang dengan kedalaman agama yang rendah akan mudah terjebak dalam ekspresi beragama yang hitam-putih.
Dalam konteks yang demikian, penting bagi kita untuk merefleksikan diri sejauh mana tingkat kedalaman agama yang kita miliki. Jika ternyata level kedalaman agama kita masih rendah alangkah baiknya kita perlu untuk belajar lagi untuk mendalami keagamaan kita. Supaya kita tidak mudah terjebak fanatisme buta tanpa pemahaman agama yang memadai dan mudah berperilaku intoleran kepada orang lain.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute.