Tiap masuk tahun pemilu, mulai pilpres sampai pilbup, saya selalu antusias, ndak pernah ada pikiran untuk golput dari awal. Saya selalu bergairah untuk ingin tahu gagasan baru yang dibawa setiap calon serta solusi-solusi yang ditawarkan untuk para pemilihnya.
Namun, seringkali rasa ketertarikan itu lamat-lamat luntur saat masuk masa kampanye. Sampai puncaknya, saat masuk masa debat calon. Alasan tahunannya hampir sama, yakni tidak ada gagasan yang bisa didengar.
Memang tidak ada yang bisa didengar an sich, ini bukan kiasan atau perumpamaan. Bukan kiasan seperti tidak bisa didengar karena gagasannya yang tidak keren atau pepesan kosong seperti biasanya. Bukan, bukan seperti itu.
Mereka, para calon, memang lebih banyak berbicara daripada menyimak dengan kesadaran penuh. Ini bukan sekali dua kali. Sering kali saat sesi debat, saat lawan berbicara, mereka malah terlihat berhasrat sekali untuk ikutan ngomong. Alih-alih debat, kita hanya menonton dua pihak yang saling teriak. Muaranya tidak ada satu pun yang terdengar.
Jadi, lunturnya hasrat saya untuk terlibat pada pesta politik umumnya bukan karena kualitas gagasan yang buruk, ya meskipun sesekali tetap ada saja yang buruk, tetapi yang paling berpengaruh adalah tidak dimilikinya keterampilan mendengar dari para calon saat sesi berdebat.
Apakah ini persoalan hanya milik calon-calon pemimpin itu atau ini adalah citra dari lemahnya keterampilan mendengar kita?
***
Saat saya sedang menjadi fasilitator Kelas Pemikiran Gus Dur secara online yang diadakan Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, terdapat satu sesi saling cerita tiap dua orang. Aktivitas itu hanya memberlakukan satu syarat yakni saat mendengar tidak boleh melakukan interupsi, bertanya atau memberikan saran, jadi hanya ada satu tugas yakni: mendengar.
Saat sesi jajak pendapat, saya bertanya kepada satu peserta “Bagaimana rasanya melakukan aktivitas ini?”. Dia menjawab “saya kagok”. Lalu dia meneruskan penjelasan dan mengatakan bahwa selama ini ia berkecimpung di dunia aktivisme selalu diajari tentang bagaimana caranya berbicara dan berpendapat dengan baik. Dia kaget dan kaku kenapa Kelas Pemikiran Gus Dur malah melatih mendengar, kenapa tidak mengajarkan bagaimana berbicara yang retoris, minimal menjadi lucu seperti Gus Dur. Dia merasa kelu karena apa yang dibicarakan lawan bicaranya tidak sesuai dengan yang menjadi kepercayaannya, tapi dia terpental aturan yakni tidak boleh menyangkal.
Saat mendengar pengalaman itu, saya melihat ke dalam diri saya. Sepertinya selama ini, saya juga terlalu sering untuk menyela omongan orang. Terlebih saat gagasan orang tidak sesuai dengan isi kepala saya. Saya terlalu terburu-buru untuk melakukan interupsi, memberikan saran, mengkoreksi, atau memberikan bantahan.
Apakah memang sepayah inikah keterampilan mendengar saya – mungkin juga anda?
Apakah selama ini kita memang tidak pernah diajari atau belajar tentang mendengar yang hadir utuh-sadar penuh?
***
Dua pengalaman ini menarik buat saya, terlebih tentang rasa penasaran saya yang tertuang dalam pertanyaan yang berkali-kali saya tanyakan di atas. Selemah itukah keterampilan mendengar kita sampai kita hobi sekali menyela orang berbicara?
Perihal mendengar ini menjadi sesuatu yang memenuhi pikiran saya, terlebih karena beberapa minggu yang lalu saya mengikuti workshop yang diadakan Sekertariat Nasional Jaringan GUSDURian tentang penguatan kapasitas pemimpin dalam melihat isu keberagaman, dan salah satu inti dari workshop tersebut adalah soal upgrade kemampuan mendengar untuk setiap pemimpin.
Saya pernah mengalami rasa yang diutarakan oleh peserta Kelas Pemikiran Gus Dur yang saya ampu itu, bagaimana sejak kecil kita sering didorong untuk bisa berbicara, berbicara, dan berbicara.
Apalagi saat saya kuliah jenjang S1, organisasi yang saya ikuti juga mendorong untuk kita lebih vokal agar bisa “menguasai forum”. Kita didorong untuk bisa memaparkan gagasan penuh retoris agar bisa memikat yang lain dan mendapatkan simpati sebanyak-banyaknya.
Terlebih, yang menjadi mercusuar gerakan adalah orang-orang yang dikenal lihai berorasi. Sehingga dalam bawah sadar terpatri bahwa saya juga harus sekeren dia dalam berpidato, saya harus seberapi-api dia dalam orasi, dan sememikat dia dalam melakukan persuasi.
Sebenarnya kita pun sadar bahwa para tokoh-tokoh mercusuar gerakan itu memiliki daya baca, mendengar dan analisis yang hebat. Cuma mungkin, kekuatan mendengar dari para pemimpin kita adalah hal-hal yang luput kita pelajari.
Saya terlalu sering bertingkah seperti para peserta pemilu yang saya kritik itu. Saya terlalu sering ingin menyela orang berbicara dan merasa bahwa pendapat saya yang paling benar dan harus didengar. Saya pun sering merasa bahwa sayalah orang yang harus berbicara lebih panjang.
Saya benar-benar tertampar lantaran kebiasaan sering bicara, lebih-lebih hobi menyela orang yang berbicara adalah tindakan yang reaktif dan penuh denial.
Lalu, apakah berbicara memang seburuk itu sampai kesannya saya sangat tidak suka pada orang berbicara? Jawabannya tentu tidak, berbicara tentu sesuatu yang penting, tetapi saya lebih ingin menegaskan soal keseimbangan.
Terlebih soal satu hal, yakni: kebiasaan menyela dan membiarkan orang berbicara sampai selesai baru kita merespon.
Kalau dilihat dari kacamata teori U-nya Otto Scharmer yang saya pelajari saat workshop keberagaman dengan teman-teman GUSDURian, kebiasaan menyela hanya akan membuat kita gagal memahami lawan bicara secara utuh dan kita hanya akan menangkap pembicaraan lawan dari persepsi-persepsi yang sudah kita bangun sebelumnya. Dan fatalnya, ketika kita terlalu sering menyela, kita akan terlalu sulit untuk menjadi manusia yang proaktif, menyadari kehadiran orang lain dan juga menyadari kehadiran kita sebagai manusia.
Sebagai seorang pemimpin masyarakat, apakah kita melihat Soekarno adalah seorang yang reaktif, Hatta adalah seorang yang reaktif, Gus Dur adalah seorang yang reaktif, dan pemimpin-pemimpin lainnya adalah orang yang reaktif? Ketika jawabannya adalah tidak, saya rasa mereka adalah orang-orang yang hobi mendengar dan tidak suka menyela ketika orang lain berbicara.
Waallahu A’lam.