Surat al-Qashah ayat 56 merupakan ayat yang bagi sebagian ulama (tafsir) amatlah pelik untuk dituturkan. Ia mengandung “suatu beban batin” yang amat mendalam, tak semudah sekadar menjabarkan begini dan begitu maksud arti ayatnya, lalu tafsirnya, pula asbabun nuzul-nya. Sebab ayat tersebut terkait dengan sosok yang amat dicintai Kanjeng Nabi Saw dan pula mencintai Kanjeng Nabi Saw dengan luar biasa.
Yakni, Abu Thalib, paman kinasih beliau Saw.
Banyak mufassir yang menjelaskan begitu ihwal asbabun nuzul ayat tersebut. Di antaranya Ibnu Katsir. Dikatakan jelang wafatnya, Kanjeng Nabi Saw mendampingi paman tercintanya, Abu Thalib, di pembaringannya dan berusaha menuntun beliau untuk mengucapkan kalimat syahadat. Di sisi sebelah pembaringan, ada Abu Jahal yang berbicara sebaliknya.
Beliau pun wafat. Wallahu a’lam bish shawab, biarkan Allah Swt yang menetapkan dan mengetahui rahasia hal tersebut.
“Sesungguhnya Engkau (Muhammad Saw) tidak akan bisa memberikan hidayah kepada orang yang sangat Engkau cintai, melainkan Allah Swt lah yang akan memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah Swt lebih mengetahui siapa saja yang lebih pantas menerima hidayah.”
Begitu bunyi ayatnya. Sekali lagi, ihwal apakah paman kinasih tersebut telah menerima hidayahNya dan seterusnya, baiknya kita katakan wallahu a’lam bish shawab.
Prof. Quraish Shihab menuturkan bahwa sejumlah ulama terkemuka, seperti Syekh Rasyid Ridha, enggan membicarakan asbabun nuzul ayat tersebut dengan berpanjang-panjang, semata karena khawatir perbincangan berkelanjutan hanya akan menjatuhkan pembicara/pengucap kepada nada miring terkait paman kinasih tersebut, yang jelas saja dikhawatirkan akan menyinggung hati Kanjeng Nabi Saw.
SubhanaLlah…
Betapa tawadhu’, ta’dhim, dan hormatnya para ulama tersebut–termasuk Prof. Quraish Shihab sendiri dalam kontteks ini—kepada Kanjeng Nabi Saw beserta segala hal/sosok yang terkait dengan beliau Saw. Saking hormatnya, mereka tidak mau membicarakannya begini begitu, khawatir ada kekurangpantasan perkataan terkait beliau Saw.
Ini sungguh bisa dimengerti dengan jelas. Di hadapan Kanjeng Nabi Saw, memang seyogianya tidak ada ungkapan atau sikap apa pun yang bukan hanya menyelisihi beliau Saw, melainkan juga terkesan, terasa, melebihi suara beliau Saw.
Innalladzina yaghudduna aswatahun ‘inda RasuliLlah ulaikal ladzina imtahanaLlah qulubahum lit taqwa, sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah Saw, mereka itulah orang-orang yang telah Allah Swt tanamkan ketakwaan di dalam hatinya…
Ayat ini bagai pengingat tegas kepada kita semua untuk senantiasa merendahkan suara (pendapat, pandangan, pemahaman, narasi, sikap, ucapan) di hadapan Rasulullah Saw dan segala hal terkait beliau Saw. Tentulah, termasuk ihwal paman kinasih beliau Saw, Abu Thalib. Maka, memilih sikap rendah diri, rendah hati, rendah suara, rendah pendapat, rendah ilmum, dan sejenisnya, terkait beliau Saw adalah pilihan terbaik, secara rohani dan akhlak.
Sejak menemukan keterangan ini, saya pribadi memantapkan takkan pernah menyebut nama-nama dekat di lingkaran beliau Saw dalam keterangan, tulisan, ucapan, atau pendapat yang miring, sebab itu memang tak sepantasnya.
Lebih lanjut, di bagian tafsir ayat tersebut, Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa rasa ta’dhim dan tawadhu’ kepada Kanjeng Nabi Saw mendorongnya dan banyak ulama untuk mengubah redaksi hadis terkait perempuan dari Bani Makhzum –kebetulan namanya juga Fathimah—yang berbunyi: “Demi Zat yang jiwaku ada dalam genggamanNya, jika Fathimah binti Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” menjadi: “Demi Zat yang jiwaku ada dalam genggamanNya, jika Fulanan binti Fulanan mencuri, aku akan memotong tangannya.”
Jelas, itu bukan memaksudkan ingkar hadis. Tidak! Itu sikap ta’dhim yang amat mendalam kepada Kanjeng Nabi Saw dan keluarganya, dengan tidak mengaitkan hal-hal negatif kepada beliau Saw. Dalam konteks hadis ini adalah “mencuri”.
Saya memikirkan dan merenungkan keterangan ini dengan mendalam. Saya pun lantas berlabuh kepada suatu perasaan: memanglah yang rasanya pantas mengatakan hal demikian hanyalah Kanjeng Nabi Saw, bukan selainnya. Derajat kita di hadapan Kanjeng Nabi Saw dan keluarganya jelaslah sejarak langit dan bumi. Mereka begitu agungnya, sementara kita begitu rendahnya. Kita semua mendamba syafaatnya Saw untuk keselamatan kita di sisiNya. Lantas, di mana pantasnya kita menabalkan hal negatif macam “mencuri” itu kepada orang-orang agung begitu? Tidak ada logika pantasnya blas.
Mari cerna: kepada seseorang yang kita hormati, tiada pantasnya sama sekali untuk menyebutkan perilaku miring terhadapnya dan keluarganya, bukan?
Ya, tentu saja. Apalagi ini terkait Kanjeng Nabi Saw –sababul a’dham likhalqiLlah, sebab teragung bagi segala penciptaan Allah Swt, termasuk diri kita semua.
Prof. Quraish Shihab telah menginspirasi saya untuk sikap tawadhu’ dan ta’dhim adiluhung demikian. Narasi-narasi ilmu sungguh menjadi tak penting lagi dalam konteks ini.
Baca Juga, Kesanku Terhadap Prof. Quraish Shihab: Tentang Shiratal Mustaqim, atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini