Akal berasal dari kata aqala, artinya terikat. Dalam berbagai derivasinya, sebagaimana dipakai al-Qur’an, seperti ya’qilun dan ta’qilun, juga na’qilu dan ‘aqaluhu, hingga yatafakkarun dan tatafakkarun, semuanya dapat disimpulkan sebagai “keterikatan diri (atau makin terikatnya diri) kepada ajaran Allah Swt dan RasulNya Saw seiring dengan makin dalam dan mantapnya ilmu pengetahuan kita”.
Tetapi tepat di sini, sekaligus mesti kita ingat kembali keterangan sebelumnya tentang ulul albab dan ar-rasikhun fil ‘ilmi, yang mengisyatkan maksud hakiki, murni, dari manusia berakal ini. Yakni kemurnian, saripati, yang menghunjamkan diri ke dalam keimanan, ketakwaan, dan kesalehan.
Jadi, pada pengertian pertama yang didedahkan Prof. Quraish Shihab terhadap sejumlah ayat tentang berakal ini –yang disebut 22 kali untuk kata ya’qilun dan 24 kali untuk kata ta’qilun—menisbatkan kerterikatan diri (hati dan pikiran/ilmu) kepada agama Allah Swt.
Pengertian kedua digambarkan melalui ilustrasi yang sangat menarik ini, yakni turunnya hujan yang menjadikan bumi hidup.
Bumi yang kering adalah bumi yang mati. Lalu ketika diturunkan hujan, membasahi bumi kering itu, jadilah ia hidup. Tumbuhlah darinya berbagai tetumbuhan, lalu membesar, dan menghasilkan dedaunan yang segar, kekembangan yang indah, serta bebuahan yang lezat dan nikmat.
Semua itu bermula dari hujan yang menjadikan bumi hidup.
Agama Allah Swt ini bagaikan hujan, diturunkan ke bumi, kepada manusia, untuk menjadikan manusia benar-benar hidup selayaknya manusia yang bermakna, berorientasi, dan memberikan manfaat maslahat kepada liyan –juga seluruh makhluk Allah Swt. Peran agung manusia di muka bumi ini disebut khalifatuLlah fil ‘ardhi –wakil, wali, Allah Swt di muka bumi, dalam kehidupan.
Agar manusia bisa hidup, ia harus memulai dengan beriman kepada Allah Swt dan seluruh ajaranNya yang telah dituntunkan melalui Kanjeng Rasul Saw dan kitab suci. Manusia pun telah dikarunia akal yang dengannya secara sangat sederhana dan mendasar mampu memilah dan memilih antara yang hak dan batil, baik dan buruk.
Logikanya, bertambahnya ilmu pengetahuan dan kecemerlangan akalnya, manusia seyogianya semakin beriman dan takwa kepada Allah Swt, serta migunani kepada liyan. Ini khittahnya, dan inilah yang dimaksud “manusia yang hidup”.
Tetapi faktanya tak kalah banyaknya manusia yang makin berilmu, cemerlang akalnya, wawasannya, malah makin menjauh dari ajaran Allah Swt, bahkan mengkampanyekan permusuhan dan pertentangan denganNya. Manusia begini oleh al-Qur’an tidak disebut manusia berakal, walau berilmu luas.
“Seandainya kami mendengar dan berakal, kami tidak akan termasuk penghuni neraka.” (QS. Al-Mulk, 10).
Hujan yang diturunkan dari langit menjadikan bumi yang mati hidup; manusia yang semakin luas ilmunya dan semakin terikat dan tunduk kepada agama Allah Swt, bagaikan dengan bumi yang hidup setelah diguyuri hujan. Tetapi manusia yang semakin luas ilmunya dan tidak menjadikannya terikat dan tunduk kepada agama Allah Swt, ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berakal. Kepada mereka dikatakan oleh Allah Swt: afala ta’qilun (apakah engkau tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah engkau tidak berpikir), afala tatadabbarun (apakah engkau tidak meresapi), afala tasy’urun (apakah engkau tidak merasakan).
Tudingan al-Qur’an kepada golongan demikian tidaklah main-main! Salah satu ayat menyebutkannya “bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat (bodoh) lagi” –yakni akibat mereka diberi hati tetapi tidak menjadikannya merasakan kemahakuasaan Allah Swt; mereka diberi mata tetapi tidak menjadikannya melihat kemahakuasaan Allah Swt; dan mereka diberi telinga tetapi tidak menjadikannya mendengar kemahakuasaan Allah Swt. (QS. Al-A’raf 179).
Kita mengerti bahwa seseorang yang memiliki hati tetapi tidak membuatnya bisa empati kepada kesengsaraan hidup tetangganya dikatakan “tidak memiliki hati”; memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk turut berprihatin kepada kesengsaraan hidup liyan dikatakan “tidak memiliki mata”; dan memiliki telinga tetapi menutup pendengarannya dari keluh-kesah saudaranya dikatakan “tidak punya telinga”. Padahal, kenyataannya, mereka jelas memiliki hati, mata, dan juga telinga.
Hanya karena tidak diperuntukkan sebagaimana mestinya manusia, jadilah mereka tidak pantas menyandang memiliki hati, mata, dan telinga.
Persis serupa itulah ilustrasi hujan yang menjadikan bumi hidup sepanggung dengan berakal (berilmu, berpikir) yang semestinya menjadikannya beriman, bertakwa, dan bersaleh –ejawantahnya ulul albab, ar-rasikhun fil ‘ilmi. Jikapun hujan turun dengan deras, tetapi tidak bisa menjadikan bumi hidup dan ditumbuhi tetumbuhan –sebutlah karena telah diaspal, dibeton—serupa itu pulalah manusia yang tidak makin beriman dan bertakwa walau semakin luas ilmu pengetahuannya dan tinggi derajat pendidikannya.
Orang yang berakal, dalam al-Qur’an, kata Prof. Quraish Shihab, adalah orang yang dengan sumber daya akalnya, ilmunya, pemikirannya, makin terikat kepada agama Allah Swt.