Sutan Sjahrir dilahirkan tahun 1909 di Koto Gadang Sumatera Barat. Ayahyanya seorang jaksa, karena itu tak heran bila sejak kecil ia hidup dalam dunia yang rasional. Namanya mulai dikenal dalam dunia pergerakan ketika ia memimpin mahasiswa Indonesia di Belanda bersama Hatta. Ia waktu itu masih menjadi mahasiswa strata satu fakultas Hukum Leiden. Seperti ditulis Soe Hok Gie, di bawah kepengurusan Hatta-Sjahrir, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) berubah dari suatu organisasi kemahasiswaan menjadi organisasi politik yang radikal.
Sebelum lulus di fakultas hukum, Sjahrir memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Niatnya cuma sebentar, tak ingin lama-lama. Tapi nyatanya keinginan itu tak kunjung terwujud. Situasi politik nasional membuatnya hanyut dalam perjuangan kemerdekaan. Tahun 1933, Sjahrir bersama Hatta membentuk partai baru bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Pendirian partai ini dicurigai Belanda, akibatnya Hatta-Sjahrir, ketua dan sekretaris, ditangkap dan tanpa diadili dibuang ke Digul tahun 1934, dari situ kemudian dipindahkan ke Banda Neira, pulau Banda.
Selama masa pembuangan itu, Sjahrir menulis catatan harian yang mengambarkan perasaan, kesan-kesan, dan juga harapannya. Catatan harian itu kemudian diterbitkan dengan judul “Indonesische Overpeinzingen” pada tahun 1945. Tak lama setelah itu, HB Jassin menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Renungan Indonesia, diterbitkan oleh penerbit Kebangsaan Pustaka Rakjat tahun 1947.
Banda Neira dalam Catatan Sjahrir
Sjahrir sampai Banda Neira pada 11 Februari 1936. Penduduk asli kepulauan ini, kata Sjahrir, sebetulnya sudah tidak ada lagi. Mereka lenyap akibat sistem Hongitochen yang terkenal bengisnya itu. Hongitochen adalah sistem monopoli rempah-rempah yang dilakukan VOC Belanda di Kepulauan Maluku dan sekitarnya, sehingga masyarakat tidak dapat mendapatkan keuntungan di luar monopoli dagang VOC. Kalaupun ada masyarakat yang selamat dari sistem tersebut, mereka lebih memilih untuk mengungsi ke pulau lain, bahkan sampai dekat-dekat Papua Nugini.
Yang tinggal di Banda kebanyakan adalah orang Belanda dan sekutunya. Mereka di sini sebagai perkenier (pemilik kebun) dan sekaligus jadi tukang kebun juga. Karena banyak lahan dan kebun yang besar, perkenier di sana tidak sanggup menggarap sendirian, sehingga mereka mendatangkan kuli dari Jawa. Selain orang Jawa, di Banda juga terdapat pendatang dari Arab dan Tionghoa. Anak keturunan pendatang inilah yang berikutnya menjadi penduduk Banda Neira. Sebagian besar orang Eropa, selebihnya orang Indonesia dari kepulauan lain, terutama Jawa, orang Arab, dan Tionghoa.
Bahasa yang digunakan di Banda rata-rata bahasa Indonesia, tapi dengan logat Banda. Kadang juga beberapa kosa-kata dicampur dengan bahasa Belanda. Orang Banda menyebut roti dengan “Brot”, maksudnya “brood” dalam bahasa Belanda. Demikian pula orang Arab, mereka kebanyakan masih bisa dan mengerti bahasa Arab. Bahkan ada juga orang Arab yang masih menggunakan bahasa Fez, Maroko.
Disebutkan dalam catatan Sjahrir, pekerjaan orang Arab di sini berbeda dengan kebanyakan wilayah Indonesia yang lain. Orang Arab biasanya bekerja sebagai kreditur atau tukang sewa rumah, akan tetapi pekerjaan mereka di Banda lebih beragam: ada yang menjadi buruh gajian, tukang sepatu, tukang jahit, tukang sepeda, dan lain-lain.
Mengajar Keturunan Nabi Muhammad di Banda Neira
Salah satu aktivitas Sjahrir, selain baca buku, di Banda Neira adalah mengajar. Dalam catatan 23 Maret 1937, ia begitu terkesan dengan keturunan Arab yang ada di sana, terutama yang memiliki garis keturunan dengan Rasulullah. Menurutnya, keturunan Nabi yang ada di Banda karakterisktiknya berbeda dengan yang ada di pulau lain. Sebagian mereka pandangan keagamaannya lebih terbuka, tidak konservatif, bahkan membiarkan anak perempuannya belajar ke rumah Sjahrir.
Nama anak perempuan itu Mimi dan Lili. Keduanya keturunan Sayyid, orang Arab yang dipandang sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka itu, kata Sjahrir, sama dengan apa yang kita sebut bangsawan Arab. Anak laki-laki disebut sayyid, anak perempuan syarifah. Syarifah biasanya hanya boleh menikah dengan sayyid, sedangkan sayyid punya hak istimewa: boleh menikah dengan non-syarifah.
Dalam pandangan Sjahrir, sayyid-sayyidah ini pada umumnya merupakan golongan Arab yang paling konservatif. Biasanya, kalau seorang syarifah sudah besar, sudah menjadi gadis, mereka “dikurung”. Kalau tidak salah, di negeri Arab, perempuan diwajibkan pakai cadar dan hanya boleh keluar di malam hari, itu pun harus ada yang menemani.
Hal ini sebetulnya juga terjadi di Banda. Pada saat anak perempuan dari keturunan Rasul ini menginjak usia dewasa, ketika datang bulan pertama kali, mereka tidak boleh kelihatan oleh laki-laki lain, kecuali keluarga terdekatnya. “Inilah yang saya maksud dikurung,” Kata Sjahrir.
Perempuan “dikurung” yang dimaksud Sjahrir bukan berati mereka dikurung dalam kandang seperti binatang, tetapi kebebasan mereka sangat dibatasi. Tidak seperti laki-laki, perempuan tidak boleh keluar rumah, bertemu laki-laki, dan seterusnya.
Kebiasaan “mengurung” perempuan ini juga sering ditemukan di wilayah Indonesia yang lain, tidak hanya pulau jawa, tapi juga luar jawa, khususnya daerah-daerah yang pengaruh Islamnya kuat. Sebab itu, tulis Sjahrir, orang Indonesia yang ada di Neira juga mengurung anak gadisnya. Namun anehnya, orang Arab di Neira memiliki anggapan yang lebih luas tentang hal ini dibanding orang Indonesia.
Orang tua Mimi dan Lili misalnya, kedua anak ini adalah syarifah, tetapi kedua orang tuanya mengizinkan mereka datang ke rumah Sjahrir untuk mengambil les. Ini tentu sulit terjadi pada keturunan Arab yang tinggal di Jawa.
Di Jawa, kata Sjahrir, satu-satunya pendidikan yang dibolehkan dan diharuskan bagi Syarifah adalah pendidikan agama, yang berati membaca al-Qur’an. Selain itu, mereka hanya diajari bagaimana menyenangkan hati calon suaminya dengan standar kebaikan perempuan Arab: penurut, menarik hati suami, bersih, badannya mesti dijaga baik-baik. Sementara belajar dan mengejar ilmu pengetahuan masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik bagi perempuan.
Di Banda, anak-anak syarifah masih dibolehkan pergi ke sekolah Eropa, meskipun hanya sampai kelas enam. Pandangan umum masyarakat Arab di sini, tulis Sjahrir, anak perempuan kalau sudah besar, harus tinggal di rumah. Jadi pada akhirnya, sebagian orang Arab Banda juga pada akhirnya mengurung anak perempuannya juga, bukan dengan cara menyuruh mereka bercadar, tetapi meminta mereka menetap di rumah. Sehingga anak perempuan jarang keluar, lebih jarang dibanding saat mereka masih kecil.
Tradisi mengurung perempuan ini juga terjadi di Spanyol. Tapi Sjahrir memastikan bahwa syarifah yang ada di Banda nasibnya lebih baik dibanding gadis-gadis Spanyol.
Mimi dan Lili cucu dari Baadila, raja mutiara dari Banda. Dialah yang mempersembahkan kepada Ratu Wilhemina sebuah mutiara yang diambilnya sendiri dari dalam laut dan dibawanya ke negeri Belanda. Baadila dulunya sangat kaya, tapi sayangnya ia meninggal dunia dalam kemiskinan. Anaknya hidup dalam garis kemiskinan.
Semasa hidupnya, Baadila sangat suka kemajuan. Dia bisa melakukan apa saja, karena ia kaya dan jadi kepala orang Arab di Banda. Kalau pun ada perbuatannya bertentangan dengan tradisi umum orang Arab, tidak ada yang berani menentangnya.