Indonesia menempati urutan kedua dalam proses perusakan terhadap alam. Berdasarkan jurnal Jambeck JR berjudul Plastic Waste Inputs from Land into the Oceantahun 2015, Indonesia merupakan negara terbesar setelah China yang menghasilkan sampah plastik.
Terbukti, berbagai masalah timbul akibat dari produksi sampah plastik. Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang mengalami darurat sampah beberapa bulan yang lalu akibat blokade jalan menuju TPST Piyungan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Bagi penduduk yang tinggal di Yogyakarta tentu sempat mengalami bagaimana sampah menumpuk di beberapa sudut jalan Kota yang mengganggu warga dengan bau busuk yang begitu menyengat. Sementara di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) ditemukan warga terdampar dalam kondisi telah menjadi bangkai. Saat perut paus dibelah, ternyata di dalamnya berisi beragam sampah plastik seberat kurang lebih 6 kilogram.
Masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi akibat sampah plastik yang terus di produksi setiap harinya. Kita patut bersyukur bahwa Pemerintah memberi perhatian untuk mengatasi ancaman ini. Berbagai regulasi untuk menangani hal inipun di keluarkan oleh pemerintah seperti Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, yang berisi tentang rencana aksi pengurangan sampah plastik laut dan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Nasional yang kemudian diturunkan menjadi Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada).
Wilayah darat dan laut Indonesia kini telah dicemari oleh sampah plastik yang dihasilkan bersama. Sampah plastik telah mencekik saluran air berbagai daerah di Indonesia. Tentu saja dampak terjadinya banjir menjadi hal yang tak terelakkan. Bencana banjir yang menimpa Manado pada februari lalu menjadi bukti bahwa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan memicu terjadinya banjir bandang.
Akibat dari sampah plastik yang semakin menggunung ini pula menjadi penyebab terjadinya banjir di Jakarta. Abdul Muhari, peneliti Indonesia pada Hazard and Risk Evaluation di International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University, mengobservasi dan melakukan simulasi untuk mengetahui penyebab banjir yang terjadi di Jakarta, 17 Januari 2013 lalu.
Hasil simulasi Abdul Muhari dan timnya mengungkap bahwa tingginya debit air yang mencapai 180 meter kubik/detik dan ketinggian air di Manggarai dan Karet disebabkan oleh sampah yang menutup tiga dari empat pintu air di Karet.
Sementara pada 2018 lalu, wilayah konservasi mangrove yang terdapat di Muara Angke sempat tercemar karena kedatangan lebih dari 50 ton sampah yang sebagian besar merupakan sampah plastik dari lautan. Fakta demikian memberi dampak yang serius bagi keseimbangan ekosistem laut.
Upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah tentunya tidaklah cukup jika tidak disertai dukungan dari masyarakat untuk membantu perjuangan melawan sampah-sampah ini. Kesadaran kolektif dalam memahami hubungan kausalitas di alam raya ini perlu ditingkatkan sebagai agenda tersendiri dalam kehidupan masyarakat Indonesia
Menurut hemat penulis, upaya menghadapi bahaya sampah plastik selama ini masih belum mampu menembus batas kesadaran masyarakat. Meskipun tidak menafikkan bahwa sebagian masyarakat menyadari akan ancaman yang datang dari sampah plastik.
Salah satu hal yang masih kurang memberi perhatian untuk mendukung agenda menumbuhkan kesadaran masyarakat ialah agama. Amat mencengangkan bagaimana agama selama ini sebatas menjadi alat legitimasi politik semata. Risalah agama mengenai etika lingkungan tidak menjadi perhatian utama para pemeluk agama.
Padahal, isu mengenai ancaman sampah menjadi krusial beberapa tahun belakangan. Hal ini seolah hendak menunjukkan bahwa agama telah kehilangan sisi ekologisnya. Tentu hal demikian bukan karena ketiadaan dogma yang terdapat dalam ajarana agama, melainkan akibat dari nafsu politik yang menumpulkan misi besar agama itu sendiri.
Islam diyakini oleh pemeluknya memiliki kandungan yang universal, mencakup berbagai sektor kehidupan manusia. Namun, belakangan ini wajah Islam yang tampil di hadapan publik seolah terbatas pada dimensi politik. Pola dakwah yang selalu mengarahkan Islam dengan politik justru menyebabkan delegitimasi risalah Islam yang universal. Oleh karena itu, kesalehan ekologis perlu menjadi salah satu perhatian utama umat Islam.
Kesalehan Ekologis
Al-Qur’an banyak menyinggung tentang lingkungan seperti dalam QS. al-Rum: 41 dan mengajak untuk merenungkan perjalanan umat manusia sebagai metode untuk menakar bagaimana hukum kausalitas bekerja seperti dalam QS. al-Baqarah: 22, al-A’raf: 10 dan QS. Hud: 61. Hal ini mengindikasikan bahwa pesan moral Al-Qur’an tentang isu ekologi menjadi salah satu bagian dari kesalehan yang tidak dapat disepelekan oleh umat Islam.
Sebab, kurangnya perhatian dan kesadaran ekologi dapat berdampak pada lahirnya bencana yang menimpa umat manusia. Terbukti, bagaimana keabaian terhadap persoalan sampah plastik yang kian menggunung telah menandakan prediksi Al-Qur’an tentang kerusakan di darat dan di laut nyata adanya.
Kesadaran teologis untuk menumbuhkan kesadaran akan isu krusial yang menimpa masyarakat seyogyanya mendorong umat manusia khususnya umat Islam untuk tampil memelopori aksi nyata tentang kesadaran terhadap ekologi.
Dalam hal ini, persoalan sampah plastik perlu menjadi agenda khusus yang tampil dalam wacana keagamaan untuk mendorong kesadaran umat dari sisi teologis untuk berlomba-lomba menyelamatkan umat manusia dari bom waktu akibat sampah plastik.
Apalagi dengan berakhirnya Pemilu, maka kesalehan ekologis seharusnya mulai digulirkan di tengah masyarakat lewat ceramah-ceramah dan berbagai pertemuan keagamaan lainnya.