Kesadaran Tingkat Anak-anak kepada Allah

Kesadaran Tingkat Anak-anak kepada Allah

Kesadaran Tingkat Anak-anak kepada Allah

Dahulu kita mungkin mudah gembira melihat keanehan-keanehan yang kasat mata, misalnya melihat foto kambing yang badannya seperti ada lafadz Allah. Atau juga pernah takjub melihat foto awan di langit yang bentuknya seperti siluet orang sedang sholat. Jujur saja. Hal tersebut tidak memalukan kok. Malah sunnatullah. Semua orang menjalani proses. Meski tiap-tiap orang beda kadarnya dan durasinya, karena tiap-tiap orang itu diciptakan unik.

Tidak ada sidik jari manusia yang kembar. Tidak ada sepasang saudara kembar pun yang memiliki sidik jari yang sama persis.

Setiap manusia mengalami fase anak-anak. Tidak ada bayi yang lahir kemudian di tahun depan sudah jadi orang dewasa. Tidak ada bayi yang menjadi dewasa tanpa melalui fase anak-anak dan remaja. Itulah proses. Demikian pula dengan kesadaran manusia.

Kita semua pasti pernah mengalami fase kesadaran seperti “anak-anak” yang begitu lugu. Kita semua pasti pernah mengalami fase kesadaran seperti “remaja” yang begitu labil. Yang namanya anak-anak, karakternya adalah lugu. Mudah takjub. Mudah kagum. Mudah heran. Dan sebenarnya itu mengasyikan juga.

Saya sendiri pernah mengalami fase kesadaran tingkat anak-anak. Ketika saya masih sekolah dulu, saya bisa heran melihat selembar foto dahan-dahan pohon yang membentuk kalimat Laa ilaaha illallaah. Tapi, seiring berjalannya waktu, setiap manusia tidak pernah sama. Saya kini memiliki sebuah kesadaran baru.

Kesadaran yang beranjak dewasa. Semakin mudah menemukan Allah. Lalu kagum sendiri. Ke utara, ketemu Allah. Ke selatan, ketemu Allah. Ke barat dan timur, terasa ada Allah. Lalu kagum sendiri. Tak sama lagi. Tak seperti yang dulu. Bukan foto seperti ada lafadz Allah di badan kambing lagi yang membuat takjub. Bukan foto dahan-dahan pohon yang seperti membentuk kalimat Laa ilaaha illallaah lagi yang membuat heran. Justru hal-hal yang tidak terduga yang membuat saya “bertemu” dengan Allah.

Para ilmuwan hanya bisa merumuskan fenomena alam. Para ilmuwan tidak bisa memutlakkan sesuatu. Bagi para ilmuwan yang jenius, peristiwa hujan pasti biasa, tapi bagi saya yang serba biasa ini peristiwa hujan adalah tanda kemutlakan Allah. Sungguh tidak masuk akal peristiwa hujan itu sebenarnya. Lautan kok bisa pindah tempat? Air bervolume besar selautan kok bisa terbang?

Mungkin para ilmuwan yang jenius itu ingin membantah kekaguman saya jika tahu. Bilang teori penguapan, teori kondensasi, teori ini-itu, tapi kecerdasan mereka semua mustahil bisa menggeser satu sentimeter pun kekaguman saya pada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Saya tetap takjub melihat tetesan hujan yang jatuh ke Bumi. Kok Allah itu dahsyat sekali ya membuat mekanisme hujan air. Kok Allah itu cerdas sekali ya membuat hukum gravitasi.

Saya pernah naik dataran tinggi, lalu taddabur ayat-ayat Allah yang sedang berlangsung di depan mata, yaitu melihat awan mendung yang hitam pekat yang sangat lebar dan melihat gunung di bawahnya. Saya terpukau melihat adegan tersebut. Meski sangat banyak orang merasa biasa saja, karena ribuan kali melihat pemandangan semacam itu. Ada gunung dan di atasnya ada awan mendung. Saya terpukau karena “melihat” Allah di dalam adegan semacam itu. Kenapa hujan itu selalu air?

Para ilmuwan sejenius apapun pasti tidak bisa menjelaskan kenapa planet ini tidak ada hujan api. Misal isi kawah gunung berapi menguap lalu kondensasi lalu turun menyembur setiap sore. Tetesan hujannya adalah panah api. Para ilmuwan sejenius apapun pasti tidak bisa membuat rekayasa hujan api. Allahu Akbar! Allah memang benar-benar Maha Besar sekaligus Maha Penyayang.

Saya merasa Allah tidak tega membuat empat macam hujan di Bumi. Hujan air, hujan api, hujan kerikil, dan hujan serbuk kayu, misalnya. Gusti Allah sangat mampu merancang itu semua. Saya yakin itu. Tapi kasih sayangNya seringkali mendahului kebesaranNya. Umat manusia pasti sudah punah sejak ribuan tahun lalu, jikalau Allah tega membuat suatu hukum alam yang mematikan. Misal magma gunung berapi bisa “terbang”, pindah tempat, entah jadi gumpalan magma atau awan berwarna merah darah, lalu sewaktu-waktu bisa hujan di tengah kota. Atau Allah membuat hukum alam bahwa serbuk-serbuk kayu di hutan bisa terbang ke langit, lalu semacam kondensasi di lapisan langit, lalu meletup di udara ketika volumenya sudah satu ton misalnya.

***

Pasti banyak sekali di antara kita yang menganggap peristiwa hujan air adalah hal yang sangat biasa hanya karena kita pernah ribuan kali basah kuyup kehujanan.

Memang wataknya manusia menganggap bukti keagungan Allah adalah sesuatu yang remeh jikalau hal itu sudah ribuan kali dilihat. Apalagi ketika umat manusia sudah bisa pura-pura ilmiah merumuskannya. Padahal, jika unsur gravitasi dihilangkan oleh Gusti Allah sejak Kanjeng Nabi Adam belum datang ke planet Bumi, hujan air tidak mungkin bisa konstan terjadi. Planet Bumi bentuknya akan aneh, menurut standar ilmiah kita lho. Di bagian bawah cuma ada tanah gersang, di bagian atas akan ada mantel air. Bulat sempurna menutupi planet.

Batas air itu melayang-layang seolah memanteli Bumi adalah atmosfer. Sehingga kalau dipotret dari satelit Bulan, planet kita pasti dikira planet air, itu misalnya kalau Kanjeng Nabi Adam kekhalifahannya di planet Mars.

Terlalu imajinatif?

Tidak juga. Semua tergantung manusianya. Kesadaran saya sebagai seorang abdullah, memang masih anak-anak, masih belum dewasa, tapi saya kini berusaha menyadari bahwa Allah itu ada dimana-mana. Ke utara, ke selatan, ketika berdiri, ketika duduk, karena saya bagaikan butiran debu yang terperangkap di mutiara berwarna biru. Kemudian ditakdirkan menjadi muslim di abad modern, yang nama titik mutiara yang saya injak itu bernama Indonesia.

إنَّ فِي خَلْقِ السَّمَٰوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَٰوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya, Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Tentu kita jangan lantas membenci ilmuwan. Agama Islam mengajarkan keseimbangan. Agama Islam tidak mengajarkan pentingnya iman sembari menolak akal. Agama Islam adalah agama tentang keseimbangan. Kita hanya tidak boleh menyombongkan kinerja otak karena banyak hal di dunia ini mekanismenya terserah-serah Allah.

Sebagian dari umat muslim harus ada yang menjadi ilmuwan kelas dunia. Jadi doktor fisika dengan jadi ahli fikih itu sama mulianya. Sebab kedua profesi itu menggeluti bidang yang sama. Ilmu. Sebab kedua profesi itu mendayagunakan anugerah yang sama. Akal.

Kita jangan pernah punya pikiran bahwa semua yang berkaitan dengan masjid adalah wilayah dalam kekuasaan Allah dan semua yang berkaitan laboratorium adalah wilayah tak terjangkau Allah.