Seorang sejarawan kelahiran Israel, Yuval Noah Harari kembali menarik perhatian dunia. Merespon persebaran COVID-19 dia menulis artikel khusus: Yuval Noah Harari: the world after coronavirus. Di dalam artikel yang dimuat di Financial Times bertanggal 20/03/2020 ini, Harari memberikan teropong kemungkinan-kemungkinan seusai pandemi.
Tercatat dua hal yang menjadi inti tesis Harari: pertama, kemungkinan pemasangan detektor yang bisa mengkalkulasi kondisi kesehatan setiap orang. Sehat-sakitnya setiap orang dapat dideteksi. Sehingga manakala ada sinyal potensi wabah, sesegera mungkin bisa lekas diambil kebijakan politik yang efektif- strategis.
Detektor ini beroperasi tidak hanya terhadap ‘kesehatan tubuh’ saja, melainkan dapat mendeteksi setiap reaksi-reaksi minor ekspresi tubuh. Melalui enkripsi algoritma, pada tempo yang sama, menjadi mungkin untuk menangkap sinyal perasaan, minat, dan kecenderungan setiap individu. Setiap orang adalah makhluk transparan. Bisa dipantau setiap saat.
Analisis Harari yang kedua, berbicara terhadap kemungkinan pembobolan batas kebangsaan ke arah kerjasama global antar negara. Di sini, pertukaran data dilakukan secara jujur-terbuka berskala global. Sehingga pengalaman riset suatu daerah di pedalaman terjauh bisa disatukan, dipadukan untuk kepentingan global. Harapan positifnya, misal terdapat suatu penyakit berbahaya di satu daerah tertentu, akan segera bisa dibuat langkah penanggulangan tercepat. Sehingga daerah lain tidak terimbas. Minimal bisa menekan laju persebaran wabah, lebih efektif daripada respon Indonesia dan khususnya Amerika Serikat sekarang ini.
Namun, seperti diantisipasi sendiri oleh sang empunya tiga buku laris internasional—Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21st Century—Yuval Noah Harari melihat celah berbahaya yang menyertai dua langkah taktis tersebut, yaitu adanya kekhawatiran ‘kesewenang-wenangan’ penggunaan data oleh elit politik. Ada peluang sangat besar terjadinya keterserapan otonomi (personal) diri, ke dalam kepentingan politis negara dan dunia. Saya membayangkan kondisi ini mirip warga Jepang di era (film animasi) Psycho Pass. Masyarakat di negeri ini terkontrol secara penuh. Kriminalitas hampir nihil, karena sebelum terjadi tindak kriminal, gejala psikologis ‘calon pelaku kriminal’ sudah terdeteksi sejak masih di wilayah potensi.
Bila meminjam analisis Foucault—dalam Teknologi-Teknologi Diri—kondisi ini merupakan proses ‘hilangnya nalar individu ke dalam nalar negara’. Individu menjadi agen pelayan negara, dalam arti paling radikal.Warga negara menjadi semacam ‘ayam potong’ yang bisa dipanen setiap saat, untuk kepentingan politik praktis. Kebebasan privat lumat, lebur pada otomatisasi mesin yang bernafas.
Kesadaran Beragama: Membuka Pintu, Melangkah Keluar Rumah
Tidak sedikit pun peran ‘kesadaran beragama’ terbahas oleh Harari. Dalam menghadapi krisis global pandemi COVID-19, agama berdiri jauh di belakang mikroskop sains.
Dalam tesis Harari tentang sejarah, kesadaran manusia suatu saat akan tiba di wilayah kedewataan. Manusia menjadi tuhan semesta raya: abadi dan berkuasa menggantikan Tuhannya kaum beragama. Namun dewa baru ini, memiliki kelemahan telak yang sulit ditambal. “Sebagai dewa-dewi yang mengangkat diri sendiri dan hanya bertemankan hukum fisika, kita (manusia) tidak bertanggung jawab kepada siapapun. Akibatnya kita menimbulkan kerusakan bagi rekan-rekan hewan dan ekosistem sekeliling, mencari sekadar kenyamanan dan penghiburan bagi kita sendiri, namun tak pernah menemukan kepuasan.” Demikian saya kutipkan penutup Sapiens (Yuval Noah Harari, 2019: 500).
Merebut singgasana tuhan, menjadi yang teratas dalam sistem kehidupan, adalah tabu terbesar dalam diskursus religius. Peran manusia sebagai ‘pengelola’ atau khalifah semesta—khususnya bumi—merupakan bagian penting dari kesadaran beragama. Tetapi menjadi pengelola yang berkehendak merayapkan tahta supremasi kuasa Tuhan, adalah perkara lain lagi.
Masalahnya, tesis Harari begitu kuat. Pewacanaan sejarah dari sisi fakta temuan biologi dan fisika, sulit dibantah. Kecuali dengan penalaran dan temuan yang sama. Minimal dengan upaya penelitian dengan kadar fokus dan keseriusan yang sama. Belum lagi bila memasukkan kelebihan gaya bahasa dan penuturan yang dimiliki orang itu.
Di kondisi ini, para umat beragama sudah tidak bisa lagi sebatas cuek belaka. Hanya mengutuk-ngutuk Harari sebagai pengoceh ilmiah di dalam forum-forum tertutup yang jamaahnya berisi para “yes man” belaka. Sikap dan pola pikir apologetik (membela buta dalil agama), hanya akan menambah bara dalam tumpukan kertas kering. Umat beragama, walaupun di luar tampak tenang, mereka merupakan orang-orang yang terbukti paling berani mati. Sedangkan para ilmuwan, bukan bocah yang tak doyan bermain mesiu dan Meriam. Apa yang akan terjadi bila keduanya bertikai secara serius?
Satu-satunya jalan yang (nampak) tersedia bagi kaum beragama adalah membuka pintu rumah eksistensialnya, melangkah keluar men-sowani telaah-telaah sains terkini. Peradaban beragama di babak milenial ini, akan limbung bila semata diisi dengan rebahan di musholla, masjid dan simpul pengajian umum saja. Pada sekuensi saeculum (zaman) tertentu, tanpa pengetahuan memadai akan telaah sains terkini, kaum beragama akan semakin gagap dan megap-megap. Gambaran kondisi ini bisa terlihat pada masa pandemi akhir-akhir ini.
Adalah Abdus Salam. Sebuah nama yang dikenal sebagai muslim pertama yang mendapat hadiah nobel fisika pada 1979. Sekali lagi “Nobel Fisika”. Sosok kelahiran Pakistan, 29 Januari 1926 ini telah keluyuran ke disiplin fisika dengan tanpa melepas keimanan dan kesadaran beragama. Keahliannya di dalam fisika teori, telah diakui dunia. Selain penghargaan nobel yang diraihnya, dalam jangka tahun 1957-1981, dia meraih sekurangnya 16 gelar penghargaan internasional karena prestasinya di bidang fisika teori (Abdus Salam, 1982: vi-ix).
Abdus Salam atau Prof. Dr. Abdus Salam, dapat menjadi satu contoh bahwa ketika kaum beragama keluar rumah, keluyuran ke disiplin-disiplin sains murni, tidak lantas tersesat arah pulang. Alih-alih minggat menjadi ateis. Dia justru semakin kokoh dan kukuh dengan keislamannya. Wallahu a’lam.