Beberapa hari ini sosok cantik berjilbab, Ibu Dwikorita Karnawati, kepala BMKG, sering terlihat di stasiun televisi kita. Generasi yang sempat mengalami masa Orde Baru (baca: tua) pasti tidak banyak menemukan pemandangan itu: ibu-ibu berjilbab tampil di muka publik, kecuali di masa-masa setelah Pak Harto naik haji dan Mbak Tutut memakai kerudung.
Sekarang, foto ibu-ibu calon anggota legislatif atau calon kepala daerah sudah semakin banyak yang berjilbab, bahkan dari partai politik yang lebih menonjol nasionalisnya. Mbak-mbak di instansi profesi seperti penyiar TV, artis, karyawati perbankan, petugas kesehatan dan bandara juga sudah banyak yang berjilbab.
Pak Azyumardi Azra dalam satu kuliah pernah mengaku tertegun karena nama-nama muslimah berjilbab itu tenyata bukan nama-nama santri. Nama santri itu seperti Nurul Qomariyah, Isti’anah dan seterusnya yang diambil dari kosa kata Arab. Sementara nama Dwikorita Karnawati itu tentu bukan bahasa Arab. Bahkan nama-nama generasi muslimah milenial seperti Tiara atau Cyntia yang bekerja di perbankan liberal, kata Pak Azra, juga sudah banyak yang berjilbab.
Membicarakan jilbab memang selalu bias gender. Namun apa boleh buat, mengetahui perkembangan pola beragama masyarakat dengan mengamati jilbab ini lebih mudah dilakukan dari pada membaca kata-kata shalih dan pembahasan agama di media sosial yang entah siapa penulisnya. Sementara jilbab ini pemakainya selalu jelas. Jika ada hoax berjilbab, pasti segera dikomplain oleh yang bersangkutan.
Selain itu, dalam berpenampilan, agama lebih menaruh perhatian kepada perempuan daripada laki-laki. Tidak hanya dalam Islam, perempuan Yahudi Ortodoks yang sudah menikah juga diwajibkan untuk menutupi rambut mereka dengan tiche atau snood, sesuai dengan aturan kesopanan mereka. Perempuan Katolik juga memakai Mantilla saat menghadiri perayaan keagamaan tertentu.
Namun penutup kepala perempuan sebagai ajaran agama sekarang memang lebih identik dengan Islam. Tidak hanya di Indonesia. Kemudian istilahnya berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman beragama di satu sisi, dan perkembangan mode di sisi lain.
Dulu, dulu sekali, penutup kepala muslimah Indonesia adalah kerudung. Ingat kan lagu Bang Haji Rhoma Irama “Di Balik Kerudung”? Ciri penutup kepala model ini adalah bagian depan rambut atau jambulnya masih kelihatan. Entah bagian belakang kelihatan atau tidak mungkin tergantung panjang rambutnya. Para pejuang muslimah zaman kemerdekaan dulu masih memakai penutup kepala model kerudung.
Tahun 1990-an viral lagu kasidah berjudul “Jilbab Putih” menandai era baru penutup kepala muslimah. Siswi-siswi madrasah formal (MI, MTs, dan MA) sudah memakai mode ini. Cirinya, semua rambut tertutup, sama seperti ketika shalat. Untuk mengatasi gab-tradisi ketika itu, saya ingat ibu saya memakai krudung dengan tambahan asesoris khusus yang menutupi rambut, saya lupa namanya, kemudian kerudung ditambahkan di atasnya dan diputar di leher. Sekarang sudah hampir tidak ada ibu-mbak memakai kerudung yang kelihatan rambutnya, kecuali istri atau anak kiai atau ibu-ibu pejabat. Semua model penutup kepala muslimah sudah menutup rambut.
Setelah reformasi dan semangat berislam menguat (banyak kajian mengenai hubungan ini), istilah baru yang dipakai adalah hijab. Cirinya adalah, selain menutupi rambut, kain dibiarkan menjuntai ke bawah. Secara istilah bahasa Arab, pakaian yang menjuntai ke bawah itu lebih tepat menggunakan kata jilbab. Sementara hijab itu lebih berarti pembatas atau penghalang antara lelaki dan merempuan yang bukan mahram, kadang abstrak kadang bahkan juga berarti tembok.
Saya bukan pakar mode, tapi saya menduga, pemakaian istilah hijab ini juga berkaitan dengan urusan kekinian, zaman now. Istilah jilbab sekarang terdengar lebih “ndeso” dan para desainer tidak mau memikul beban sejarah itu.
Namun kalau kita mencari gambar di google, pemakaian istilah-istilah itu tidak selalu konsisten. Kadang-kadang penjual hijab online juga menambahkan tanda kurung pada barang dagangannya (jilbab, kerudung).
Point catatan saya kali ini adalah tentang penutup kepala muslimah yang sudah semakin trendi menjelang pemilu dan pilpres 2019 ini. Jadi, kalau Ibu Sukmawati membacakan puisi tentang “konde” itu tidak hanya dianggap terlalu Jawa, tapi dianggap tidak islami dan tidak populis.