Jika kita bertanya kepada sebagian kaum muslim di Indonesia tentang peradaban Islam kedepan seperti apa yang didambakan, pasti beberapa akan menjawab khilafah atau menunjuk gambaran Turki zaman Kerajaan Utsmani sebagai role model peradaban Islam masa depan. Bahkan beberapa diantaranya siap sepenuh jiwa memerjuangkan utopianisme model peradaban Islam seperi khilafah dan Turki era Utsmani itu.
Keinginan mereka untuk mendambakan dan memperjuangkan peradaban Islam masa depan seperti model khilafah atau Turki zaman Utsmani bukan karena pemahaman yang baik atas kedua gagasan model peradaban tersebut. Saya yakin mereka sebenanya hanya terkelabui oleh jargon Islam yang menjadi bungkusnya. Bukan berdasar pemahaman mendalam dan reflektif atas kedua role model tersebut.
Di balik jargon Islam yang menjadi bungkusnya, kedua model tatanan masyarakat tersebut memiliki problem kemanusiaan yang mendalam dan bertentangan dengan substansi ajaran Islam itu sendiri.
Pertama adalah model khilafah. Model tatanan masyarakat seperti ini alih-alih dianggap sebagai model peradaban yang maju, sebenarnya adalah sebuah kemunduran. Kemunduran tersebut tampak pada penafiannya terhadap spirit musyawarah yang diteladankan Nabi Muhammad Saw. Dalam sistem khilafah, tidak ada mekanisme politik dimana semua umat Islam memiliki hak dan kewenangan untuk mengkritik si pemimpin.
Padahal, di dalam Islam sendiri diakui bahwa setiap manusia (dan juga khalifah) adalah tempatnya lupa dan salah. Maka dengan itu tidak mungkin memberikan tanggung jawab dan wewenang tanpa kritik kepada seorang pemimpin saja. Kita tidak ingin dipimpin oleh khalifah yang otoriter dan menggunakan legitimasi Islam sebagai bungkus dan dalih atas kesewenang-wenangan yang ia lakukan atas seluruh umat Islam.
Kedua adalah model kekuasaan Turki zaman Kerajaan Utsmani. Selama ini yang menjadi branding dari model Turki era Utsmani adalah saat itu Islam dapat merebut kota Konstatinopel atau kekuasaan Romawi di wilayah Timur. Kemudian hal itu dianggap bahwa kemenangan tersebut adalah puncak dari kemajuan Islam dengan mengalahkan peradaban Barat.
Padahal, yang menjadi masalah adalah model kekuasaan Turki era Utsmani adalah sistem sosial dan politik yang monarkis atau kerajaan. Model tatanan seperti ini pada dasarnya seperti khilafah yang memberikan keistimewaan (previlese) kepada satu orang pemimpin untuk berkuasa dan haram kepadanya diberiknan kritik dari umat itu sendiri.
Model tatanan politik yang demikian itu sebenarnya (sekali lagi) bertentangan dengan spirit musyawarah yang ada dalam Islam. Spirit musyawarah itu bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kesewenang-wenangan pemimpin terhadap masyarakatnya.
Kemudian, jika kedua model tatanan masyarakat ala khilafah dan Kerajaan Turki Utsmani bukan solusi, lantas solusinya tatanan yang seperti apa? Sebenarnya kita harus berangkat dari spirit musyawarah dan sifat rahmatan lil alamin-nya ajaran Islam. Dari situ kemudian kita bisa membayangkan tatanan masa depan Islam itu seperti apa.
Saya terinspirasi dari tulisan ciamik Gus Dur berjudul Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Di sana Gus Dur memberikan argumentasi bahwa sebenarnya peradaban Islam itu memiliki warisan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme merupakan peradaban dimana semua kalangan dengan latar yang beragam dapat saling berkolaborasi untuk kepentingan bersama.
Model kosmopolitanisme ini sangat sesuai dengan spirit musyawarah dan rahmatan lil alamin dalam Islam. Di dalam tatanan sosial yang kosmopolitan, semua manusia tanpa dibeda-bedakan berdasarkan latar belakangnya. Semuanya bisa saling bersahabat tanpa adanya prasangka dan sentimen kepada yang lain secara naif.
Kita membayangkan bahwa dalam peradaban Islam, antara pemimpin dan masyarakat bisa saling bekerjasama untuk membangun negara dan peradaban. Tidak ada pemimpin yang dzalim kepada masyarakatnya. Semua masyarakat makmur dan santosa. Tidak ada lagi kemiskinan. Tidak ada lagi masyarakat yang tidak mampu sekolah dan berobat di Rumah Sakit.
Peradaban yang demikian itulah sebenarnya yang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia di jagat bumi ini. Model demikian itu sebenarnya ada spiritnya dari dalam ajaran Islam itu sendiri. Yakni dari anjuran untuk bermusyawarah dan sifat rahmatan lil alaminnya Islam. Bukan malah dengan khilafah dan model Turki zaman Kerajaan Utsmani sebagi solusi. Wallahua’lam
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.