Aliran atau organisasi tidak hanya membatasi dan membentuk cara berpikir anggotanya, namun juga melarang mereka untuk berpikir tertentu. Statemen ini dinyatakan oleh Aksin Wijaya dalam buku Ragam Jalan Memahami Islam (2019: 26).
Dalam buku tersebut, dia memberikan contoh soal tahlilan. Orang Muhammadiyah, misalnya, berpandangan tahlil haram dan memiliki dalil yang membenarkan pandangannya. Pandangan itu bukan berasal dari pribadi orang itu sebagai manusia otonom, melainkan merupakan jawaban ideologis yang merujuk pada organisasi dan aliran keagamaannya.
Sementara itu, buku berjudul Sejarah Lengkap Wahhabi ini adalah contoh lain dari statemen Aksin Wijaya di atas. Buku ini ditulis Nur Khalik Ridwan, cendekiawan NU. Maka semua data sejarah, pernyataan dan tafsir tentang Wahabi dalam buku ini di-lay out dalam kajian ideologis NU. Pasalnya, NU sudah lama tidak respek terhadap gerakan Wahabi, hingga sekarang makin muak terhadap ideologi – penulis dari kalangan NU menyebutnya sekte – ini, maka dalam mood itulah buku ini ditulis.
Menurut Nur Khalik Ridwan, Wahabi yang diajarkan Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad 18 M adalah salah satu aliran teologi Islam yang anasirnya serupa atau bahkan meneladan Salafiyah, sebuah teologi ortodoks yang digagas Imam Hanbali. Dalam praktiknya, selain juga mengobral label takfir, zindik, dan syirik, mereka juga menghalalkan pembunuhan bagi orang yang dianggap kafir (hlm. 668-678).
Wahabi berhasil mempropagandakan ajarannya, dalam skala yang lebih luas, dengan cara menggandeng tangan kekuasaan Arab Saudi. Dalam kerangka politik-keagamaan, Wahabi serupa Khawarij modern. Tentu saja kalangan Wahabi dengan beragam dalil dan data tidak setuju dianggap Khawarij karena dalam babakan sejarah, Khawarij adalah teroris yang menghantui umat Islam.
Bagi Nur Khalik, menulis buku tebal ini adalah sebagai salah satu ikhtiar untuk membendung gerakan ekstrem Wahabi yang menjadi pandemi dunia, dan di Indonesia khususnya. Betapa tidak, dengan dukungan dana yang luar biasa, Wahabi mampu menyemai ide-ide Wahabisme lewat beragam media.
Para sarjana dan ulama Wahabi juga produktif berceramah dan menulis buku untuk menvalidasi gerakan dan menolak ide-ide penentangnya. Di pihak lain, umat Islam di Indonesia tidak banyak yang tahu tentang Wahabi, sehingga pembahasan Wahabi yang sering diperbincangkan sangat dangkal. Itu sangat terkait dengan tidak adanya literatur berbahasa Indonesia yang membahas pemikiran pendiri Wahabi.
Dari penelitian berbagai literatur, Nur Khalik menyimpulkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak fakih, kepribadiannya memang keras, bodoh, sombong, dan sembrono. Dia juga memiliki puluhan istri sekaligus, sebuah tindakan terlarang dalam Islam. Dia juga sempat menikah dengan dua wanita non-Muslim.
Hubungan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keluarganya tidak harmonis. Sang ayah secara demonstratif mengingatkan masyarakat agar menjauhi anaknya itu karena dia membawa ajaran sesat. Kesesatan ini sebenarnya dinubuatkan sebagian gurunya. Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan menulis kitab khusus untuk menyerang ajaran Abdul Wahhab yang bikin resah masyarakat dan ulama Nejd saat itu.
Nur Khalik juga menyimpulkan bahwa pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab lebih banyak dipengaruhi pribadinya dan juga Hempher, spionase Inggris yang menyamar menjadi Syekh Muhammad. Hempher pernah bertemu dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, mencuci otaknya demi merealisasikan ambisi Inggris memecah kekuasaan Turki Utsmani dari dalam.
Sementara itu, tentang Muhammad bin Saud, penguasa Dir’iyah yang berkolaborasi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang kelak melahirkan Kerajaan Arab Saudi, disebut-sebut oleh Nur Khalik adalah keturunan orang Yahudi. Konklusinya adalah penelusuran dari silsilah nasab. Bahkan Raja Faisal, keturunan Muhammad bin Saud yang pernah menjadi Raja Arab Saudi, kepada New York Times mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Yahudi.
Nur Khalik juga mengkaji kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahhab. Dari kajian itu, dia menyimpulkan bahwa pendiri Wahhabiyah itu tektualis dan menolak takwil. Pemakaian takwil itu sesat dan menyesatkan. Teologi Asy’ariyah yang memakai takwil dianggap sesat. Di samping itu, dia juga anti-mazhab.
Bagi gerakan Wahabi, mengikuti ilmu ulama terdahulu sama dengan menuhankannya. Ini syirik. Mereka juga menolak wasilah dan ziarah kubur karena menganggapnya kontra dengan tauhid. Puncaknya, siapapun yang melakukan varian kesyirikan tersebut, jika tidak bertobat, berhak diperangi.
Kesimpulan Nur Khalik dari hasil pembacaan terhadap beragam literatur sangat telak dan berhasil menghakimi Wahhabi sebagai gerakan sesat nan ekstrem. Sedangkan sang pendiri, Muhammad bin Abdul Wahhab, divonis sebagai pribadi yang mentah baik secara psikologis, keilmuan, dan pemahaman keagamaan. Jika ditelaah secara kritis, kesimpulan Nur Khalik Ridwan yang terangkum dalam buku ini juga mentah dilihat dari beberapa hal berikut;
Pertama, Nur Khalik selektif memilih sumber dan pernyataan agar sesuai dengan opini yang hendak dia bangun. Misalnya, Azyumardi Azra mengatakan bahwa pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dipengaruhi pribadi dan gurunya, Muhammad Hayat as-Sindi. Nur Khalik bersikeras bahwa Muhammad Hayat as-Sindi tidak memengaruhi pikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan berusaha untuk “memungkinkan”, bukan “memastikan” bahwa keduanya adalah guru dan murid (hlm. 35).
Padahal keduanya, menurut Azyumardi Azra, adalah benar-benar guru dan murid. Bahkan Muhammad Hayat as-Sindilah yang menghubungkan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan jaringan ulama. Tentang pengaruh Muhammad Hayat as-Sindi kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Anshari secara tegas berkata, “Muhammad Hayat as-Sindi memberikan pengaruh paling besar atas pandangan-pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab, terutama menyangkut doktrin tauhid, penentangannya terhadap taklid, dan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan hadits (hlm. 265).
Nur Khalik bersikeras untuk tidak melibatkan Muhammad Hayat as-Sindi sebagai tokoh yang memengaruhi Wahhabisme, menurut saya, karena Muhammad Hayat as-Sindi merupakan ulama Hanafi dan salah satu tokoh penting penghubung jaringan ulama.
Kedua, pemaksaan tafsir terhadap kaidah pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Misalnya, Nur Khalik menyimpulkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menolak takwil. Padahal, sama sekali tidak ditemukan pernyataan tertulis dari Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa dia menolak takwil. Yang ada hanya statemen bahwa jika ada ayat mutasyabbihat, maka dahulukan pemahaman yang muhkam. Jika yang mutasyabbihat hendak ditafsiri, maka ikutilah tafsiran arraskhuna fil ilmi (hlm. 66).
Begitu juga kesimpulan Nur Khalik bahwa mengikuti Muhammad bin Abdul Wahhab melarang bermazhab, sebenarnya adalah bangunan opini yang dibangun Nur Khalik menanggapi potongan pernyataan Abdullan bin Wahhab bahwa orang Jahiliyah sesat sebab mengikuti pendahulu mereka (hlm. 67).
Ketiga, pemakaian situs internet semacam Wikepedia atau bahkan blog sebagai sumber data. Tentu saja validitasnya perlu dipertanyakan. Salah satu yang banyak menguras lembaran buku ini adalah persoalan Memoirs of Hempher – diambil Nur Khalik dari situs Internet – yang dibahas begitu panjang, penuh kata-kata kasar guna menjelekkan pendiri Wahhabi, dan berisi informasi miring yang sulit dipercaya, termasuk oleh Nur Khalik sendiri. Misalnya, saat Hempher menulis bahwa pendiri Wahhabi itu bodoh dan bebal, lalu tak lama kemudian Nur Khalik menyadari bagaimana orang bodoh bisa membangun basis jaringan kekuatan luar biasa yang bertahan hingga sekarang. Herannya, Nur Khalik nampak menggunakan memoar Hempher sebagai senjata utama untuk menyerang Muhammad bin Abdul Wahhab.
Meski begitu, buku ini tetap mewakili suara Sunni versi NU terhadap Wahhabi yang perlu diapresiasi, sebab ini merupakan kekayaan intelektual. Ketidaksetujuan terhadap pemikiran kelompok tertentu disampaikan secara ilmiah dengan menghidangkan data dan argumen ketidaksetujuannya.
Sangat mengesankan, inilah buku babon satu-satunya di Indonesia yang menyajikan sejarah Wahabi lengkap dengan kajian kritis terhadap karya pendiri gerakan tersebut. Kemampuan linguistis Nur Khalik Ridwan memang layak diajungi jempol. Editor buku ini juga teliti betul, sehingga tak ada masalah dalam teks buku ini.
Kekayaan referensi perlu diperkuat lagi dan juga dipilih yang memiliki tingkat validitas kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan. Referensi dari internet harus betul-betul diperiksa. Lebih aman jika referensi diambil dari jurnal, buku, atau kitab. Juga penting menurunkan kadar aura ketidaksukaan, kekhawatiran, dan pikiran buruk demi menghadirkan iktikad untuk melihat referensi secara lebih objektif. Demikian harapan dari saya sebagai pembaca.
Data Buku
Judul : Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliyah dan Pergulatannya;
Penulis : Nur Kholik Ridwan ;
Penerbit : iRcisod, 2020 ;
Tebal : 833 halaman