Pada saat ziarah kubur dan tahlilan untuk mendoakan orang yang mati, sesuai yang tertulis dalam buku Yasin dan sejenisnya, biasanya kita terlebih dulu membaca lafadz “ila Hadhratir-ruh”. Pertanyaannya; Apa praktik semacam itu sama dengan memuja ruh?
Untuk menjawab masalah itu, Al Ghazali dalam Kitab Sual al-Qabri Rihlah ila al-Alam al-Akhir menjelaskan masalah itu dengan menukil cerita Basyar bin Ghalib al-Najrani (halaman 107). Kata Basyar: “Aku melihat Rabiah al-Adawiyah yang ahli ibadah itu dalam mimpiku sebab aku sering berdoa untuknya. Lalu Rabiah berkata padaku: Hai Basyar! hadiah darimu telah sampai kepadaku seperti mendali yang teruntai sutera yang berpijar dari warna dalamnya menyerupai susunan cahaya yang kemerah-merahan.”
Aku bertanya kepada Rabiah: “mengapa begitu?”. Rabiah lalu menjawab: “begitulah wujud doa yang dipanjatkan oleh orang yang masih hidup untuk dihadiahlan kepada orang yang sudah mati. Pada saat Allah mengabulkannya, doa itu menjadi mendali yang teruntai sutera dan memancarkan cahaya yang kemerah-merahan untuk diserahkan kepada ahli kubur. Malaikat yang menyerahkanpun berkata: Ini hadiah si fulan untukmu.”
Yah, sumbernya dari hasil mimpi? Masih menurut al-Ghazali, bahwa mimpi melihat kondisi alam barzah dan berjumpa dengan orang sudah mati adalah kebenaran yang sudah berlaku semenjak jaman Nabi Muhammad. Firman Allah Swt: Sungguh Allah membenarkan rasulnya yang bermimpi dengan haq (QS. al-Fath: 27). Contohnya Rasulullah sering mengabarkan berjumpa dengan Saad b. Muadz dan Zainab putri beliau yang sudah wafat.
Kemampuan melihat kondisi ahli kubur di alam barzah juga dimiliki oleh generasi-generasi yang sholeh setelah Rasulullah. Allah Swt berfirman: dan Allah menampakkan secara jelas segala sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka (QS. al-Zumar: 47). Mereka adalah bersih hatinya. Dengan mata hatinya dapat dilihat segala sesuatu yang tidak tampak oleh mata. Dengan kata lain Al-Ghozali membenarkan pengalaman dalam mimpi Basyar bin Ghalib al-Najrani sebab beliau hatinya sudah mampu mukasyafah (membuka tabir misteri).
Lebih jelasnya lagi pada halaman 108, Al-Ghazali juga menyebutkan pendapat Said bin Abdullah al-Azdi yang pernah bertemu dengan Abu Umamah al-Bahali. Kata beliau; “Lakukan apa yang pernah Rasulullah perintahkan kepadaku, yakni sebutlah nama orang yang meninggal fulan bin fulanah. Jika tidak diketahui nama ibunya maka nisbatkan orang yang meninggal itu kepada Siti Hawa.” (HR. al-Thabrani).
Untuk menguatkan pentingnya bacaan “ila hadhratirruh”, seorang ulama bermama Muhammad bin Ahmad al-Marwazi berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: Jika kalian masuk komplek kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, surat al-ikhlas, dan dua surat mu’awwidzatain (qul a’uzhu bi rabbil falaq dan an-naas). Jadikan pahala bacaan itu sebagai hadiah untuk ahli kubur! karena akan disampaikan kepada mereka”. (Kitab Sual al-Qabr halaman 109).
Semoga penjelasan ini bermanfaat buat kaum muslimin yang mengamalkannya. amin.