Di masa lalu, sebut saja selama tiga puluh tahun masa Orde Baru, seringkali negara menggunakan dalih “kepentingan umum” untuk memaksakan kehendak pembangunan infrastruktur yang harus diterima mentah-mentah oleh rakyat. Pembangunan waduk Kedung Ombo misalnya, telah mengusir warga untuk mengosongkan kampungnya. Pembangunan jalan tol, pelebaran jalan, lapangan golf, pembangunan bandara, reklamasi pantai, dan masih banyak lagi kasus pembangunan yang telah menggusur warga dengan atas nama kepentingan umum.
Seringkali dampak yang ditimbulkan dari pembangunan infrastuktur tersebut tidak diperhatikan. Hilangnya pekerjaan, tempat tinggal, dan dampak jangka panjang seperti menurunnya produksi pangan karena lahan pertanian semakin menyempit, tidak dihiraukan oleh pemerintah. Potret pembangunan seperti ini berlangsung massif, apalagi ditambah dengan adanya industrialisasi dan pertambangan yang banyak mencaplok tanah rakyat.
Mantra “kepentingan umum” tersebut lebih sering digunakan untuk melukai rakyat. Karena yang terjadi bukan kepentingan umum yang diutamakan, tetapi keuntungan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Dan segelintir orang itu biasanya pemilik modal besar. Sehingga pembangunan di masa lalu menimbulkan ironi; yang kaya makin kaya dan yang miskin bertambah miskin. Model pembangunan seperti ini masih dipertahankan sampai sekarang.
Lalu bagaimana umat Islam memandang hal ini?
Dalam hukum jelas dikenal konsep tentang kemaslahatan umum (mashlahah al-ammah). Yaitu kemaslahatan yang berdampak pada orang banyak, ruang lingkupnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Masuk kategori kemaslahatan ini adalah kelestarian lingkungan hidup, ketersediaan bahan pangan, terpenuhinya mata pencaharian, keamanan dan ketentraman sosial, dan sebagainya. Kemaslahatan tersebut perlu dijaga keberlanjutannya demi keberlangsungan hidup manusia dan alam sekitarnya. Kemaslahatan itu sendiri adalah segala sesuatu yang bisa mendatangkan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Di samping kemaslahatan yang bersifat umum, juga terdapat kemaslahatan khusus (al-mashlahah khasah), yaitu kemaslahatan yang lingkupnya khusus seperti kepentingan orang perorang. Contohnya berdagang atau bertani untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Atau membuat peternakan di lokasi tertentu untuk sumber peghidupan keluarga.
Pada prinsipnya, hukum Islam mengenal kaidah mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan khusus (taqdim al-mashlahah ammah ala mashlahah al-khassah). Dengan kata lain, tidak diperkenankan (tidak bermoral) seseorang mementingkan kepentingan pribadinya (kelompoknya) dengan mengorbankan kemaslahatan umum yang lebih besar.
Sekarang kita lihat bagaimana kaidah ini berlangsung di masyarakat. Seringkali kita temukan kebijakan negara yang mengorbankan kepentingan umum tersebut. Sebagai contoh, kasus pertambangan semen di pegunungan Kendeng (daerah Pati, Blora, Rembang dan sekitarnya), banyak penelitian terkait AMDAL yang menyatakan bahwa pertambangan akan berpotensi membawa kekeringan di masyarakat secara luas, sehingga dampaknya akan membawa kesusahan yang lebih besar. Tapi toh pemerintah mengeluarkan ijin operasi sebelum masyarakat menolaknya. Bahkan protes masyarakat berujung di pengadilan, yang kemudian dimenangkan oleh gugatan warga. Tapi seolah perusahaan pertambangan tidak bergeming, dan negara tidak kuasa menjalankan putusan pengadilan.
Contoh yang lain, di sektor kelautan dan perikanan, sejak tiga dekade yang lalu banyak beroperasi penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti pukat trawl, pengeboman ikan, yang menyebabkan kerusakan biota dan ekosistem laut. Namun praktik ini seolah dibiarkan berlangsung, sebelum Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya tegas melarangnya sejak tiga tahun terakhir. Pelarangan ini ditentang pengusaha atau nelayan besar karena menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan mereka.
Kasus-kasus ini hanya sekedar contoh betapa kemaslahatan umum seringkali diabaikan oleh anggota masyarakat maupun aktor pemerintah atau negara. Pengabaian ini seringkali juga mengingkari prinsip hukum Islam yang lain, yakni prinsip mendahulukan untuk menghindari kerusakan (dar’ul mafasid) daripada menarik kemaslahatan (jalbil mashalih).
Banyak bukti yang sudah kita alami bersama bahwa tindakan atau kebijakan yang mengabaikan kemaslahatan umum hanya membawa kerusakan atau kerugian yang lebih besar. Kita tidak ingin kerusakan alam dan kerusakan sosial semakin bertambah parah di negeri ini. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menegakkan prinsip mendahulukan kemaslahatan umum ini demi masa depan kehidupan masyarakat kita yang lebih baik.