Sebagai seorang santri yang juga belajar di sebuah perguruan tinggi, saya sangat merasakan perbedaan dinamika di dalam dan di luar pesantren. Di dalam pesantren kita biasa dihadapkan pada pendidikan akhlak yang adiluhung, dan di luar pesantren sudah seharusnya kita mencoba menerapkannya, salah satunya adalah ‘tawadhu’.
Biasanya nilai ‘tawadhu’ ini dipegang erat-erat oleh para santri, bahkan tak jarang mereka sering menyembunyikan identitas atau pengetahuan dan ilmu-ilmunya ketika situasi di luar sibuk memperdebatkan suatu hal perihal agama. Ia baru akan tampil ketika diminta atau ketika situasinya memang mencekam.
Begitulah, santri selalu rendah hati, tak jarang teman-teman saya penghapal Qur’an tak kelihatan bahwa ia seorang penghafal Al-Quran jika dilihat sekilas. Ya bagaimana mau kelihatan islami, wong jilbab saja cukup memakai jilbab rawis ukuran 115×115 cm yang tak menutup sampai pantat. Kaos kaki juga terkadang nggak pakai, apalagi handsock, dijamin yang punya tak lebih dari lima orang diantara 400an santri.
Sekarang ini memang sebutan islami telah sedikit berubah, suatu hal dianggap islami seringkali dilihat dari penampilan yang kasat mata. Sebagai santri mungkin kami tak kelihatan islami di era post truth sekarang ini. Selain dari penampilan yang biasa saja, santri juga biasa saja ketika bergaul di luar pesantren. Mereka yang berada di sekeliling hanya akan menyadari kesantriannya ketika dihadapkan pada situasi-situasi tertentu.
Bagaimanapun, sekarang memang jamannya demokrasi, kebebasan berpendapat sudah dijamin, hak berpendapat juga sudah tak lagi dikebiri. Tapi bagaimana jika kebebasan berpendapat ini digunakan dalam hal beragama. Nampaknya malah justru dapat meningkatkan tensi keagamaan itu sendiri. Kini agama sering dibawa-bawa di ruang publik dengan recehnya. Apalagi di dunia daring, begitu tumbuh subur perdebatan soal agama.
Perbedaannya tentu saja pada tindakan (action) yang diambil santri itu, seorang santri selalu mempertimbangkan apa-apa yang dia perbuat, apakah baik ataukah tidak. Baiknya tidak hanya untuk dirinya saja melainkan juga memikirkan kebaikan untuk lingkungannya dan orang sekitar. Mereka akan lebih hati-hati baik dalam berbicara atau dalam bertindak, apalagi jika melibatkan orang banyak.
Prinsip kehati-hatian dalam berbicara ini yang nampaknya sekarang sudah amat susah ditemui. Saat ini, orang yang baru jadi mualaf sudah berani menyalahkan yang sudah menjadi muslim sejak beberapa tahun sebelumnya.
Wallahu A’lam.