Telah termaktub di dalam al-Itqan li al-Suyuthi, bahwasa Al-Qur’an Surat Al-Isra’ juga memiliki nama lain sebagai Surat Subhana, dan juga Surat Bani Israil. Sebenarnya, semua ini ada kaitannya dengan awal surat yang didahului oleh lafadz “subhana al-ladzi” itu, yang mana lafadz ini dimaknai oleh Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi sebagai berikut:
الحقّ سبّح نفسه بعزيز خطابه، وأخبر عن استحقاقه لجلال قدره، وعن توحّده بعلوّ نعوته
“Al-Haq (Allah) berkehendak menunjukkan Sifat Maha Suci Dzat-Nya melalui kemuliaan Firman-Nya, serta mengkhabarkan Sifat Agung Kuasanya, berikat Sifat Maha Tunggal-Nya ia dengan Keluhuran Sifat-Sifat Dzatiyah-Nya.” (Lathaifu al-Isyarat li Abdil Karim al-Qusyairy, Juz 2, halaman 333).
Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi. Termasuk ketika hendak menunjukkan kepada seluruh alam akan sifat-sifat tertentu kekhususan yang dimiliki oleh Baginda Nabi SAW. Sifat “Kehendak Mutlak” ini tercermin dari lafadz “asra” yang bermakna menjalankan. Artinya, perjalanan itu dikehendaki oleh Allah sendiri, dan bukan atas kemauan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, sangat lain artinya bila perjalanan itu dikehendaki oleh diri seorang hamba sendiri. Misalnya, seperti yang termaktub dalam Q.S. Al-A’raf [7] ayat 143:
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.” (QS. Al-A’raf ayat 143).
Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi menunjukkan perbedaan dari kedua konteks ayat tersebut sebagai berikut:
وليس من جاء بنفسه كمن أسرى به ربّه، فهذا متحمّل وهذا محمول، هذا بنعت الفرق وهذا بوصف الجمع، هذا مريد وهذا مراد
“Tiada sama antara “orang yang datang sendiri” dengan “orang yang dijalankan menuju hadlarah Tuhannya.” Pihak pertama sebagai yang “membawa tanggungan,” sementara pihak kedua justru “yang ditanggung.” Dilihat dari karakteristik pelakunya, dua-duanya berbeda jauh. Yang satu pihak bersifat “dirinya yang menghendaki”, sementara pihak lainnya lagi adalah “yang dikehendaki”.” (Lathaifu al-Isyarat li Abdil Karim al-Qusyairy, Juz 2, halaman 334).
Sebagai “seorang yang menghendaki”, maka pihak yang berkehendak sudah barang tentu membutuhkan persiapan dan perbekalan, dan mengikat sebuah janji terlebih dulu dengan pihak yang diingini.
Lain halnya dengan “pihak yang dikehendaki”, segala sesuatu mengenai akomodasi, perbekalan, dan transportasinya sudah disiapkan oleh Allah SWT. Jadi, praktis tidak ada persiapan karena tidak ada janji sebelumnya. Apalagi bila perjalanan itu harus ditempuh pada malam hari. Sebuah waktu yang umumnya masyarakat sedang beristirahat, sahabat dan sanak famili juga umumnya sudah kembali ke rumah masing-masing. Alhasil, bersifat mendadak, tidak terduga dan tidak ada seorang pun mengetahui. Dan bilamana telah terjadi dan kembali ke tempat asal, maka resikonya adalah orang yang semula dekat bisa jadi akan menjauh seiring keterbatasan akal dalam menerimanya.
Lantas apa faedah dan hikmahnya Nabi di-isra’-mi’rajkan?
Ada beberapa faedah di sini. Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi menjelaskan sebagai berikut:
أرسله الحقّ- سبحانه- ليتعلّم أهل الأرض منه العبادة، ثم رقّاه إلى السماء ليتعلّم الملائكة منه آداب العبادة
“Al-Haq subhanahu wa ta’ala mengutus Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasul adalah agar penduduk Bumi seluruhnya belajar darinya tentang tata cara beribadah kepada-Nya. Kemudian diangkat ke langit, adalah agar para malaikat belajar dari sosok pribadi Nabi Muhammad SAW tentang tata krama beribadah.”
Jadi ada 2 faedah dasar dalam ibadah yang dikehendaki oleh Allah agar disampaikan kepada ahli bumi dan para malaikat, yaitu mengenai “syariat” ibadah itu, dan sekaligus “tata krama” dalam beribadah. Jika para malaikat saja diperintahkan agar belajar adab kepada Baginda, maka betapa agung dan mulianya sifat Baginda, seiring malaikat adalah makhluk yang diciptakan tidak pernah sedikitpun berbuat makshiat kepada Allah SWT dan senantiasa taat kepada-Nya.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. Al-Tahrim ayat 6)
Lantas apa bukti keunggulan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari sisi adab ini? Allah SWT mensifati Baginda dalam QS. Al-Najm ayat 17:
ما زاغَ الْبَصَرُ وَما طَغى
“Penglihatannya (Muhammad) tiada menyimpang dari yang dilihatnya dan tiada (pula) melampaui batas.” (QS. Al-Najm ayat 17)
Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi menafsiri ayat ini sebagai berikut:
فما التفت يمينا ولا شمالا، وما طمع فى مقام ولا فى إكرام تجرّد عن كلّ طلب وأرب
“Ia tiada menolah-noleh ke kanan atau ke kiri (ketika berjalan), tiada pernah berharap suatu kedudukan, dan tiada pernah meninggalkan upaya memulyakan dengan ketulusan terhadap orang lain yang meminta atau pihak yang membutuhkan kepadanya.” (Lathaifu al-Isyarat li Abdil Karim al-Qusyairy, Juz 2, halaman 334).
Berbekal sifat inilah, maka Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai rahmatan li al-‘alamin. Sifat malaikat terhadap umat Baginda juga berbeda ketika berhadapan dengan umat-umat Nabi terdahulu. Jika umat para nabi terdahulu melakukan pembangkangan atau maksiyat, maka Allah langsung menurunkan bala’ terhadap mereka lewat perantara Malaikat. Akan tetapi, tidak dengan umat Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang mukmin disayangi, yang kafir pun disayangi. Yang mukmin bisa sukses, yang kafir pun bisa sukses. Yang mukmin bisa susah, yang kafir pun bisa susah. Itulah wujud rahmatan li al-‘alamin dan merupakan pengejawantahan dari Sifat Allah Dzat Yang Maha Rahman (bersifat belas kasih di dunia dan di akhirat).
Alhasil, kisah perjalanan Isra’ Mi’raj ini merupakan pembeda dari para Nabi dan Utusan Allah SWT yang terdahulu. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh al-Qusyairi, ketika menafsiri penggalan ayat linuriyahu min ayatina (untuk kami perlihatkan kepadanya tentang ayat-ayat kami).
ويقال من الآيات التي أراها له تلك الليلة أنه ليس كمثله- سبحانه- شىء فى جلاله وجماله، وعزّه وكبريائه، ومجده وسنائه ثم أراه من آياته تلك الليلة ما عرف به صلوات الله عليه- أنه ليس أحد من الخلائق مثله فى نبوته ورسالته وعلوّ حالته وجلال رتبته
“Disampaikan bahwa maksud dari “sebagian dari ayat-ayat yang hendak ditunjukkan kepada Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam Isra’ dan Mi’raj” itu adalah tiada sesuatu apapun yang menyerupai Allah SWT, dalam Sifat Jalal dan Jamal-Nya, Sifat Mulianya, Sifat ke-Maha Besaran-Nya, Sifat Keluhuran dan Kehormatan-Nya. Selanjutnya, sebagian dari ayat yang ditunjukkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di malam itu adalah tiada seorang pun di antara makhluk-makhluk-Nya Allah yang menyerupai diri Muhammad, baik dalam pangkat kenabiannya, kerasulannya, dan tingginya kepribadiannya, serta keagungan derajatnya di sisi Allah.” (Lathaifu al-Isyarat li Abdil-Karim al-Qusyairy, Juz 2, halaman 334).