Sekitar dua minggu lalu, video pidato pendek avatar Soeharto mengejutkan banyak orang, khususnya warganet. Disebarluaskan oleh kader partai Golkar, Erwin Aksa rekaman tersebut sebenarnya tidak terlalu mirip secara visual, namun suara avatar tersebut cukup mirip. Kemunculan video ini tentu menandai kampanye politik hari ini sudah benar-benar memaksimalkan kemajuan media, dalam hal ini adalah kecerdasan buatan (AI).
Sebagai sosok utama dalam partai berlogo pohon beringin tersebut, sosok Soeharto sering berada di posisi canggung. Mengapa? Sosok penguasa Orde Baru ini jelas memiliki catatan “dosa” bejibun sepanjang 32 tahun berkuasa. Mulai dari korupsi, nepotisme, hingga kekerasan atas kelompok kiri adalah sebagian catatan hitam Soeharto di linimasa negeri ini.
Kemunculan video tersebut oleh politisi partai Golkar, Erwin Aksa, dimaksudkan untuk mengenang ‘jasa’ Soeharto dalam pembangunan Indonesia selama ini. Menurut Aksa, anak-anak muda hari ini telah melupakan Soeharto karena anggapan negatif kepadanya. Bahkan Aksa menyebut, apa era Reformasi lebih baik dari Orde Baru, sebagaimana dikutip di tirto.id.
Bagaimana kita menghadapinya?
***
Aksa memang mengakui telah menggunakan teknologi Deepfake untuk membuat video tersebut. Deepfake adalah sebuah teknologi dalam kecerdasan buatan yang dapat memalsukan gambar dari sebuah peristiwa. Penggunaan teknologi ini mulai ramai sejak tahun 2017 lalu, dan Pemilu dan Pilpres 2024 ini merupakan prosesi demokrasi yang cukup kental diwarnai oleh AI.
Sebelum kemunculan sosok Soeharto, kita telah menjumpai sosok Prabowo yang diimajikan dengan avatar yang terlihat lucu dan menggemaskan. Hal ini sejalan dengan model kampanye tim Prabowo yang ingin menanamkan imaji ‘gemoy,’ untuk ‘menganggu’ gambaran sosok pimpinan partai Gerindra yang selama ini ada di masyarakat Indonesia.
Baudrillard, filsuf asal Perancis, pernah menyebutkan bahwa media global telah ‘membombardir’ kita sebagai pengguna dengan tanda-tanda dan citra. Kita tidak lagi diberikan kesempatan untuk merenungkan dan menghayati apa yang terjadi. Akhirnya, kita ‘tersesat’ dalam dunia huru-hara, chaos nilai, hingga tak ada lagi hikmah yang bisa kita teguk dari kehidupan hari ini.
Dengan kata lain, dunia kita sedang menghadapi apa yang disebut oleh Ibrahim dan Akhmad dengan “Rimba kekacauan nilai.” Orang-orang yang memiliki komoditas dan modal bisa mengacak-acak nilai-nilai atau pengetahuan kita hari ini. Mereka bisa dengan mudah mengkonstruksi narasi atau pengetahuan baru atas apapun yang ada di kehidupan kita. Pemilihan presiden di Filipina dipercaya sebagai salah satu contoh kesuksesannya.
Kesuksesan Bongbong Marcos menggunakan media sosial untuk mengubah narasi keluarganya, yang selama ini dikenal sebagai koruptor kelas kakap menjadi pemimpin berjasa di masa lalu. Selain itu, TikTok yang digunakan oleh Bongbong jelas menyasar anak muda sebagai target meraup suara
Deepfake yang memproduksi sosok Soeharto ‘bisa saja’ menjadi mesin ‘penghapus memori’ kita sebagai bangsa. Di mana era Reformasi lahir karena beragam ‘dosa’ pimpinan Orde Baru tersebut malah dikacaukan, digugat, hingga dihapuskan dari ingatan kita hari ini, terlebih di kalangan anak muda.
Berdamai dengan beragam luka-luka sejarah bangsa bisa saja kita lakukan, namun mengubah, menggugat, hingga melupakannya bukanlah sesuatu yang bijak. Sebagaimana petuah Milan Kundera, “Perjuangan kita adalah perjuangan melawan lupa.”
***
Sudah menjadi pengetahuan umum, media sosial adalah ‘senjata ampuh’ untuk mempengaruhi pilihan politik anak-anak muda. Sebagaimana dijelaskan di atas, apa yang dialami oleh anak muda hari ini sebagai pengguna aktif media sosial adalah pendangkalan nilai dan gangguan pengetahuan, sehingga banyak fakta sejarah kita mulai dipahami berbeda oleh anak-anak muda.
Saya teringat salah satu dialog di film “The Two Popes,” “Kita (baca: Gereja) hari ini tidak lagi menjadi bagian dari dunia ini.” Percakapan ini mungkin tidak nyata, namun apa yang disebutkan di sana adalah gambaran sempurna dari apa yang kita hadapi saat ini. Di mana nilai-nilai dan pengetahuan luhur di masa lalu mulai tidak lagi bagian dari masyarakat hari ini, diantaranya soal sejarah soal Orde Baru dan Soeharto.
Menggugat hingga menghapus sejarah Soeharto dengan segala luka sejarahnya tidak boleh terjadi. Penggunaan teknologi, termasuk Deepfake dan media sosial, tidak boleh mengkhianati perjuangan rakyat Indonesia di tahun 1998 yang telah melahirkan kebebasan demokratis yang hari ini kita rasakan.
Wajah politik kita boleh saja berubah karenta tuntutan zaman. Hari ini kita menyaksikan kemunculan narasi kampanye “Politik Riang Gembira” atau “Politik Santun,” yang dianggap sesuai zeitgeist atau semangat zaman. Dengan kata lain, model politik kita sedang mengalami kalibrasi atau pengaturan ulang untuk menyesuaikan selera anak muda sebagai pemilih mayoritas.
Akan tetapi, perubahan model politik kita ini tidak boleh dipakai untuk menghapus atau menggugat atas luka-luka sejarah akibat perilaku barbar dan dosa korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh Soeharto. Bangsa Indonesia boleh saja memaafkan, namun melupakan atas apa yang dilakukan oleh Soeharto sama sekali tidak boleh terjadi.
Politik “Santuy” atau “Riang Gembira” seharusnya menjadi momentum kita untuk menempatkan politik pada posisi yang tepat. Politik adalah medium untuk mewujudkan kehidupan manusia yang saling menghormati dan menghargai, sama sekali bukan soal “Haus Kekuasaan” dengan menerabas banyak aturan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Fatahallahu alaina futuh al-Arifin