Terus terang sebagai PNS saya tidak mengerti kenapa hal ini terjadi. Dari sisi beban kerja, saya merasa tidak ada penambahan yang berarti. Malahan, meski sedikit, ada beberapa tambahan penghasilan, misalnya gaji ke-14 yang berfungsi sebagai tunjangan hari raya.
Konon ada pendapat yang mengatakan bahwa peluang korupsi di era Jokowi semakin kecil. Mungkin ini ada benarnya. Bagi para PNS pencari rente, rezim ini tidak berpihak kepada mereka.
Namun saya melihat persoalannya lebih dari sekadar itu. Gejala konservatisme kelas menengah, di mana PNS adalah lapisan intinya, memang sungguh terjadi. Mereka semakin religius tanpa dibarengi pendalaman terhadap makna religiusitas itu sendiri. Akibatnya mereka menjadi reaksioner. Para PNS mudah sekali terpapar oleh berita hoaks yang menggambarkan kondisi bangsa ini seolah-olah berada dalam ancaman.
Di pihak lain, kubu Prabowo memanfaatkan situasi psikologis di kalangan PNS tersebut semaksimal mungkin. Setelah isu agama kurang mempan lagi, sekarang mereka memainkan sentimen harga-harga kebutuhan pokok. Seakan-akan negara kita akan segera memasuk krisis seperti 1998.
Harus diakui reformasi birokrasi yang dijalankan hanya berlangsung pada tataran prosedural. Sementara itu, pada tataran kultural, suasana kebatinan para PNS di negeri kita belum beranjak dari paradigma abad lalu. Mereka tidak mengenal adanya era disrupsi. Mereka hanya bisa mengeluh mengapa dunia hari ini tidak seindah dulu lagi.
Kondisi ini hanya bisa diubah dari dalam. Makanya saya selalu mengajak teman-teman untuk menjadi PNS. Sementara kelompok Islam kanan telah melakukannya sejak lama, sehingga sekarang mereka telah menuai hasilnya, kawan-kawan yang mengaku progresif masih saja mendumel di pojokan arus sejarah.