Ada anekdot yang cukup menarik dan terkenal. Ceritanya, dua orang laki-laki tengah berjalan. Sebut saja A dan B. Tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang mirip tahi ayam, istilah jawanya telek lencung.
“Awas, ada tahi ayam. Jangan diinjak!!” tegur A yang meyakini kalau apa yang dilihatnya adalah tahi ayam.
“Ah, masak!?” balas B yang merasa dibohongi temannya.
“Jilat saja kalau gak percaya!!” Tukas A.
Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihat, laki-laki B lalu mencolek benda lembek tersebut. Ternyata masih hangat. Masih tidak percaya kalau itu tahi ayam, ia pun menjilatnya. Dan, benar saja yang dijilat adalah tahi ayam.
Lalu ia pun berujar, “Ternyata benar tahi ayam, untung tidak kuinjak.”
Ilustrasi di atas kiranya menemukan konteksnya pada situasi akhir-akhir ini. Ya, Pilpres 2019 memang sudah selesai. Tapi buntutnya ternyata berkelanjutan. Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf ditaksir sebagai pemenang oleh sejumlah lembagai survei dan hasil hitung cepat berikut kalkulasi kemungkinan-kemungkinannya.
Sedangkan Prabowo bersama tim suksesnya mengklaim bahwa Paslon 02-lah yang menang. Dengan demikian ia sekaligus menolak angka-angka prosentase yang sementara ini menghiasi layar televisi-televisi karena Badan Pemenangan Nasional (BPN) 02 konon punya data tersendiri—meski keberadaan data itu juga dipertanyakan akurasinya.
Tak hanya itu, segera setelah dilangsukan pemilihan pada 17 April 2019, hingga saat ini Prabowo terhitung telah mengadakan tiga kali deklarasi kemenangan dengan dua kali pertamanya tanpa didampingi oleh Cawapres Sandiaga Uno.
Padahal, seperti diketahui kalau KPU baru akan mengumumkan hasil resmi perhitungan pada 22 Mei mendatang. Artinya, melihat kenyataan yang tidak saja rumit tetapi juga menarik ini, deklarasi kemenangan oleh Prabowo ini menandakan sekurang-kurangnya dua kemungkinan.
Pertama, meski saya benci mengakuinya tetapi, Prabowo benar-benar gegabah. Mengapa? Tentu saja karena sikap tersebut justru terlihat konyol bahkan irasional di tengah situasi panasnya tensi politik. Akibatnya di media sosial adegan Prabowo yang disalami laiknya Presiden betulan malah jadi bulan-bulanan atau parodi dalam pengertian negatif oleh warganet.
Kedua, kurangnya kesiapan mental. Lazimnya pertarungan pada umumnya, petarung yang sejati itu adalah petarung yang berlaga dalam batasan-batasan. Dan, di dalam batasan-batasan itulah kemampuan seorang petarung akan diuji termasuk sejauh mana kesiapan mentalnya.
Dalam logika kompetisi pencak silat, misalnya, dua petarung akan diuji kemampuannya dalam garis batas yang melingkari arena. Keluar dari batas, ya berati kalah.
Sementara, bertahan di dalam garis batas memungkinkan yang bersangkutan berakhir dengan mengalahkan lawan atau mengakui kekuatan lawan, untuk tidak menyebut kalah. Bukankah Pak Prabowo semestinya mengerti betul tentang hal ini?
Meski begitu, klaim kemenangan tersebut sebetulnya juga bisa dimafhumi ketika sejak awal BPN memiliki optimisme yang berlebihan melalui, salah satunya, diktum yang kira-kira berbunyi “kita nggak mungkin kalah. Satu-satunya yang bisa bikin kita kalah hanyalah kecurangan”.
Tentu saja optimisme itu bukan main kanak-kanaknya. Apalagi sejauh ini Prabowo dicitrakan sebagai Capres pembela Islam, bahkan ia harus melalui legitimasi ijtimak ulama.
Lalu di mana letak keberpasrahannya (Islam) kalau sikapnya justru bertentangan dengan asas-asas keislaman? Bukankah kalau ajaran Islam itu mengenal adanya konsep tawakal? Di samping tentu saja ada ikhtiar dan doa.
Dalam bahasa yang cukup sederhana, tawakal barangkali bisa diterjemahkan sebagai adanya otoritas lain yang menentukan hasil dan itu di luar kontrol kita, dalam hal ini Tuhan. Artinya, kalau hasil itu selaras dengan ikhtiar dan doa, ya berarti ia segaris dengan kewajaran. Sebaliknya, kalau ternyata tidak sesuai, maka Tuhan memang Maha Tahu apa yang terbaik buat hambanya.
Alih-alih Prabowo-Sandi yang konon telah bertandang ke sedikitnya 5000 titik ditambah gelaran munajat demi munajat 212 untuk memenangkan Paslon 02, Kanjeng Nabi Muhammad yang jelas-jelas utusan Allah saja masih tetap kalah kok waktu perang Uhud.
Dan, tentu saja kekalahan itu sangat tidak nyaman bagi segenap umat Islam. Lagi pula, mana ada kekalahan yang menyenangkan.
Memang, Pilpres tidak bisa kita samakan dengan perang. Terus terang, saya juga kurang nyaman dengan analogi Pilpres sebagai perang. Tapi, ini soal mentalitas. Ada menang dan ada kalah. Ada yang sesuai harapan dan ada yang mengecewakan. Sementara, tawakal menyediakan lokakarya kesiapan mental itu.
Persoalannya, seberapa jauh para ulama yang menaungi Prabowo mengedukasi timses bahkan Capresnya berkaitan dengan tawakal? Kita tidak tahu angka pastinya.
Yang jelas, dengan histerisnya Prabowo menanggapi bahkan menganggap bohong hasil sementara Pemilu lewat rilis quick count menunjukan bahwa ia memang, maaf, belum siap mental. Dan ini sekaligus berkelindan dengan kegagalan para agawaman dalam memahamkan jagoannya—kalau bukan mereka sendiri yang gagal paham—soal mental “keberpasrahan penuh”, yang kalau dalam bahasa Arab disebut Islam.