Abdul Rahman Baswedan, kakek Anies Baswedan, mendikbud era Jokowi yang sekarang jadi Gubernur DKI, menulis sepenggal paragraf dalam buku otobiografinya :
“Pemuda-pemuda Arab itu terbagi dalam dua “kubu ” saling bermusuhan selama puluhan tahun dengan hebatnya, sampai-sampai terjadi perkelahian dan pembunuhan. Perkelahian itu dibakar pula oleh politik devide et impera dari pemerintah Belanda ”
Dua kubu yang dimaksud AR Baswedan adalah kubu yang menisbahkan spirit nasionalisme pada tanah leluhur, yakni wilayah hadramaut. Sementara, kubu yang menganggap bahwa nasionalisme peranakan Arab bukan pada tanah leluhur, tetapi pada tanah tempat ia dilahirkan.
Perseteruan ini sangat tajam dan terlebih Belanda ikut campur dalam Indische Staatsregeling yang memposisikan Etnis Arab lebih tinggi daripada Pribumi atau inlander.
Celakanya, di internal komunitas Arab juga terjadi “perkelahian ” antara mereka yang disebut sebagai awaliyyin, keturunan nabi dan mereka yang non-awaliyyin.
Perseteruan ini semakin memanas ketika para awaliyyin mendirikan Ar Rabithah Al Alawiyah, sebuah organisasi para keturunan nabi. Para Habib, Sayyid, Syarif dan sysrifah berkumpul di sini, di tahun 1928.
Ar Rabithah Al Alawiyah berdiri sebagai respon atas berdirinya Al Irshad Al Islamiyah oleh Ahmad Surkati. Dalam Al Irshad Al Islamiyah, seorang alawiyyin tidak bisa jadi pengurus.
Perkelahian seperti inilah yang menyebabkan orang-orang Arab abai pada isu-isu keindonesiaan, terutama kaum mudanya. Mereka masih sibuk mendefinisikan identitas kearaban yang belum tuntas.
Realitas komunitas Arab yang belum bisa menyatu-lebur dalam keindonesiaan mendorong AR Baswedan untuk menginisiasi sebuah kongres pemuda peranakan Arab di Indonesia.
AR Baswedan, dalam penuturannya, mengaku bahwa kongres pemuda tahun 1928 adalah inspirasinya.
Belakangan, kongres Kaum muda peranakan Arab ini, yang terselenggara di tahun 1934, menghasilkan tiga kesepakatan yang luar biasa dan heroik, yaitu :
1. Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia.
2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri)
3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap Tanah air dan bangsa Indonesia.
Namun, sayang, gerakan revolusioner kaum muda Arab ini masih menghadapi tembok konservatifisme dari golongan tua. Akibatnya, gaung dari “sumpah pemuda “peranakan Arab itu tidak terasa sampai sekarang. Masih terjadi jarak antara etnis Arab di Indonesia dengan keindonesiaan.
Agaknya, tugas besar orang-orang Arab di Indonesia harus mau menengok kembali kongres pemuda Arab di tahun 1934. Orang-orang harus berani menisbahkan nasionalisme-nya pada Indonesia Raya.
Tanpa itu, Arab di Indonesia dan keindonesiaan hanya laksana air dan minyak.