Dangdut adalah pelajaran musik pertama saya. Bukan karena pernah mengambil kursus atau sekadar suka, tapi karena ibu saya mantan penyanyi dangdut. Saat kecil, saya sering mendengarnya menyanyi. Pokoknya, hampir di setiap kesempatan.
Dia juga sering bercerita saat kami sama-sama senggang. Dari sana saya mulai sedikit-banyak mengerti tentang dunia dangdut: tentang cengkok, dominasi lirik cinta yang sedih, hingga kisah-kisah artis dangdut ibukota medio 1980-an.
Ibu memang pernah berkarier di Jakarta. Tapi setelah keluar dari Soneta, kelompok dangdut besutan Rhoma Irama itu, dia beranjak menikah dan berkeluarga. Ibu lalu memutuskan pulang ke kampung membawa anak-anaknya ketika terjadi Kerusuhan Mei 1998.
Hari ini, dangdut yang sempat saya kenal telah banyak sekali berubah. Orang biasanya mengenal dengan nama “dangdut koplo” atau “dangdut pantura”. Genre ini sekarang lebih populer ketimbang dangdut non-koplo yang pernah jaya di masanya.
Kesan yang saya tangkap dari dangdut pantura juga benar-benar lain. Jika sebelumnya dangdut sarat kekuatan seni tarik suara yang tinggi, didominasi lirik-lirik cinta dan kadang pesan dakwah, juga penampilan panggung ala kadarnya; maka dangdut hari ini banyak menomorduakan keindahan vokal, menciptakan tren lagu-lagu dengan lirik ambigu berbau seksualitas, menghadirkan penyanyi sensual yang tak henti bergoyang seksi, dan penonton mesum pencari celah gairah.
Kesan-kesan yang saya tangkap itu juga direkam dengan baik oleh Kedung Darma Romansha dalam novelnya berjudul Kelir Slindet (2014). Kedung adalah sastrawan pantura. Dia lahir di Indramayu, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Barat. Di akar tempat tinggalnya, Kedung menyimpan memori-memori tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Entah itu tarling dangdut, dunia prostitusi, hingga atmosfer negeri santri yang kental.
Dalam novelnya, Kedung menghadirkan sosok Safitri sebagai karakter sentra. Safitri adalah gadis 14 tahun yang lahir dari rahim Saritem, mantan telembuk (pelacur) Desa Cikedung yang paling bersinar. Dia adalah anak satu-satunya. Ayahnya jarang pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk berjudi dan tidur dengan telembuk lain.
Meski keluarganya dipandang sebelah mata oleh warga, tapi Safitri cukup bisa dibanggakan. Wajahnya ayu, perawakannya ideal, suaranya juga merdu sebagai penyanyi kasidah. Setiap malam dia selalu pergi ke musala Haji Nasir untuk salat, mengaji, atau sekadar latihan vokal bersama teman-temannya.
Di lubuk hatinya, sebenarnya Safitri ingin menjadi penyanyi tarling dangdut terkenal. Tarling sendiri adalah kesenian dangdut pantura yang biasanya berkembang di wilayah Cirebon dan Indramayu. Safitri ingin melebihi Dede, diva dangdut yang jika bergoyang meruntuhkan iman lelaki itu. Tapi bagaimanapun, hidup yang sedang dijalaninya sekarang sudah cukup membuatnya berada di zona aman.
Masalah datang ketika cinta hadir dalam hidup Safitri. Paras dan tubuhnya membuat banyak lelaki tergila-gila, termasuk Mukimin. Nama aslinya adalah Muhaimin. Dia adalah anak Haji Nasir: tuan tanah, kuwu (kepala desa), dan orang terpandang di Desa Cikedung.
Setiap siang, Mukimin suka menunggu Safitri lewat saat jam pulang sekolah. Untuk hal ini, matanya sangat tekun dan teliti menyisir anak-anak perempuan berseragam madrasah tsanawiyah (SMP) di jalan, berharap Safitri ada di antaranya. Bisa memandang Safitri saja sudah menjadi kebahagiaan tak terperi bagi Mukimin. Selebihnya, dia tak punya nyali untuk mengutarakan cinta.
Mukimin tidak sendiri. Dia punya banyak rival yang tak kalah tangguh: para ustaz kampung. Meski berstatus anak orang terpandang, Mukimin selalu gelisah dengan saingan-saingannya. Apalagi, satu per satu ustaz itu datang dengan tujuan serius: melamar Safitri. Di Indramayu, bukan hal janggal ketika gadis usia 14 tahun memutuskan kawin. “Bahkan usia 12 sudah banyak yang kawin!” kata seorang ustaz, meyakinkan.
Kedung mencoba memotret pergolakan batin seorang Safitri. Pun dengan karakter-karakter lainnya seperti Mukimin, Saritem, para ustaz, bahkan Haji Nasir sendiri. Alur, konflik, dan peran karakternya saling menguatkan satu sama lain. Itulah yang membuat novel ini menarik.
Kelir Slindet juga dengan gamblang mengkonfrontasi jurang kelas sosial di dalamnya. Salah satunya adalah keluarga Haji Nasir yang kaya raya vis-à-vis keluarga Saritem yang melarat. Saritem dan suaminya adalah buruh di rumah Haji Nasir. Saritem bagian membantu pekerjaan rumah, sedangkan suaminya adalah buruh tani di sawah wuku Cikedung itu. Premis novel ini berjalan dalam bingkai seorang anak juragan yang jatuh hati pada anak buruhnya.
Meski begitu, Kedung lihai membuat kisahnya tidak hitam-putih. Dia turut membongkar kebusukan keluarga Haji Nasir yang nampak dihormati itu, sembari mengumbar besarnya harga diri milik penyintas stigma seperti keluarga Saritem. Sebagai roman, Kelir Slindet sangatlah kritis sekaligus dramatis. Tak heran novel ini terpilih sebagai roman terbaik versi sebuah tabloid terkenal.
Soal dangdut, Kedung sebenarnya menyelipkannya di banyak bagian. Dia menyisipkan tarling di pemilihan wuku Desa Cikedung, di acara sunatan saudara Mukimin, hingga di pelarian Safitri saat hatinya bergejolak. Kedung juga menggambarkan suasana dangdutan yang penuh makian, anak-anak muda mabuk, dan lapak judi.
Kata-kata seksis juga tak pernah absen sebagai syarat ritual dangdut pantura. Lontaran seperti “Sedap.. awas muncrat!”, “Awas yang di dalam rok jatuh!”, hingga adegan penyawer menabok bokong penyanyi sudah menjadi hal yang jamak. Sejalan dengan itu, para penyanyi tarling juga ikut memeriahkan seksisme penontonnya, seperti melontarkan ekspresi, “Ah, ah, nggak tahan!”, “Ah, ah, ampun, Mang!”, hingga adegan memutar-mutar bokong di hadapan penonton. Semua itu digambarkan tanpa malu-malu oleh Kedung dalam novelnya.
Dangdut seakan telah menjadi pelarian warga kelas menengah bawah yang haus hiburan. Alkohol, judi, dan main telembuk merupakan teman yang lain. Dalam novel ini, antusiasme besar terhadap dangdut lebih ditunjukkan oleh karakter-karakter miskin, ketimbang karakter kaya yang hanya segelintir jumlahnya.
Kelir Slindet (2014) adalah buku pertama dari dwilogi Telembuk karya Kedung Darma Romansha. Buku keduanya, Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat, terbit tiga tahun setelahnya, yaitu pada 2017. Di sini, saya kira Kedung mampu menghadirkan kejujuran tentang kondisi sosial masyarakat di tempatnya berasal. Dia mengafirmasi anggapan yang selama ini saya terima tentang kondisi sosial yang melingkupi dunia dangdut pantura hari ini. Sedih memang, tapi itulah realitanya.