Kasus kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini di Solo, Jawa Tengah. Ratusan orang menggeruduk rumah salah seorang tokoh Syiah yang tengah selenggarakan acara Midodaren, persiapan pernikahan. Seperti beberapa kasus kekerasan lainnya, pelaku meneriakkan takbir lalu diisi kalimat sumpah serapah hingga kata halal darah. Tiga orang dilaporkan mengalami cedera serius.
Saya pun mbatin. Apa sih yang sebenarnya mereka pahami tentang Tuhan? Apakah Tuhan begitu penyiksa sehingga untuk memuaskan nafsu onarnya sampai mengatasnamakan-Nya?
Kasus ini tidak hanya sekali dua kali terjadi. Dalam beberapa minggu saja, ada kasus diskriminasi terhadap penganut kepercayaan di Kuningan, Jawa Barat. Belum selesai kasus itu ditengahi, muncul satu kasus yang sangat memilukan. Tak perlu dalil apapun, kekerasan adalah hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama yang welas asih.
Terlepas ketidaksetujuan atas teologi seseorang, perbedaan adalah sunnatullah, hal yang pasti. Melakukan tindakan kekerasan atas nama Tuhan sama saja dengan mengingkari bahwa Allah SWT menciptakan manusia secara beragam. Apakah yang seperti itu tidak malu dengan klaim membela agama?
Sunni dan Syiah adalah persoalan sejarah ribuan tahun silam. Semestinya, umat yang semakin dewasa akan mampu menjadikan konflik di masa lalu demi perbaikan di masa sekarang. Mengulik luka lama dan menjadikannya bahan pemuas nafsu kebencian merupakan tindakan yang sangat kekanak-kanakan.
Apalagi kita hidup di tengah kehidupan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman. Kata itu bahkan menjadi semboyan bangsa ini, yaitu ‘Bhinneka Tunggal Ika’, berbeda-beda tetap satu juga. Dari sudut pandang manapun, tindakan kekerasan tak pernah bisa dimaklumi.
Sudah saatnya negara tidak boleh kalah dengan aksi kelompok intoleran . Kita tentu berharap aparat kepolisian bisa menunjukkan taji hukum agar di masa depan tak ada lagi kelompok penuh nafsu kebencian yang mengumbar ketidakdewasaan beragamanya.
Di sisi lain, kelompok yang mengenal Tuhan dari ayat pertama dalam surat Al-Fatihah, yaitu bismillahi arrahman arrahim harus bersuara. Ya, Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kasih dan sayang Allah SWT tidak mengenal latar belakang. Untuk itu, melawan narasi kebencian dengan narasi kasih sayang adalah bentuk jihad di masa kini.
Belajar dari sejarah
Saya pun pernah membenci kelompok yang berbeda saat pertama kali mendapat materi bahwa di dunia ini terdapat dua kelompok, yaitu Islam dan kafir. Islam dijamin masuk surga, sebejat apapun kelakuannya. Bagi yang banyak dosa, selama bukan dosa syirik (menyekutukan Allah), pasti akan mencicipi surga-Nya.
Sementara kelompok di luar Islam pasti masuk neraka. Entah sebaik apapun ia di dunia. Sebab di hati mereka tidak ada ruang bagi Sang Maha Pencipta. Tidak ada komitmen dalam bentuk syahadat.
Namun saya mengalami perubahan pemahaman ketika belajar kitab-kitab teologi di pesantren. Kitab Fathul Majid mulai membuka mata saya bahwa di Islam pun ternyata punya banyak mazhab teologi. Bahkan ada klaim soal siapa yang masuk surga. Kelak ada 73 golongan dan hanya 1 yang terpilih. Siapa dia? Ahlussunnah Waljamaah.
Ternyata, Ahlussunnah Waljamaah juga diklaim oleh banyak kelompok. Hingga pada akhirnya ada seorang guru sepuh yang mengingatkan bahwa kelompok yang selamat adalah kelompok yang tidak merasa benar sendiri. Menyerahkan kebenaran sepenuhnya pada Allah.
Yang terpenting, sebagai manusia, kita belajar untuk mencari kebenaran dengan cara yang arif dan bijak. Karena pada hakikatnya, beragama adalah soal melatih diri dan jiwa menjadi insan kamil, manusia yang terus melakukan kebaikan (ihsan).
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, benar dan salah dalam beragama adalah persoalan ijtihad. Karena tidak ada manusia selain Nabi yang mampu berkomunikasi secara transendental dengan Allah SWT. Untuk itu, peperangan yang terjadi di masa silam selalu dikategorikan sebagai peperangan politik. Bukan perang yang membawa konsekuensi kebenaran agama.
Misalnya perang jamal (unta) antara Sahabat Ali bin Abi Thalib RA, menantu Nabi, dengan Aisyah RA, istri Nabi. Siapa yang berani mengklaim bahwa salah satu di antara kedua tokoh ini memahami agama secara salah? Wong keduanya sudah dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad SAW. Perselisihan antara keduanya murni persoalan ijtihad politik yang dipicu isu keadilan atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.
Kelompok yang mula-mula menarik persoalan politik ke persoalan agama adalah Khawarij yang muncul pasca perang Shiffin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Sahabat Muawiyah bin Abi Sofyan. Kelompok ini pada mulanya mendukung Ali bin Abi Thalib, lalu menyatakan keluar dari barisan Ali karena kecewa pilihan politiknya yang merelakan kepemimpinan kepada Muawiyah dalam sebuah peristiwa arbitrase (tahkim).
Pada perjalanannya, Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Abdullah bin Muljam. Ibnu Muljam dikisahkan sebagai orang yang sangat taat dalam beragama, seorang ahli ibadah. Ia bahkan hafal Al-Quran dan tak pernah meninggalkan ibadah sunnah. Oleh Khalifah Umar bin Khattab, Ibnu Muljam dikirim ke Mesir untuk mengajar Al-Quran.
Namun pemahaman keagamaan yang sempit membuatnya sampai membunuh seorang menantu Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga. Ironisnya, peristiwa pembunuhan itu terjadi di tempat suci, yaitu Masjid Agung Kufah, Irak. Begitu mengerikannya pemahaman agama yang kaku dan intoleran.
Kisah Ibnu Muljam mengingatkan pada kita bahwa sejak dulu memang ada ideologi keagamaan yang eksklusif. Kekerasan hingga pembunuhan dianggap bagian dari pelaksanaan syariat agama. Untuk itu, mengembalikan pemahaman agama yang rahmatan lil’alamin adalah bentuk bakti kita kepada Rasulullah SAW. Berdakwahlah secara baik, persoalan hidayah adalah prerogratif Allah SWT.
Jika memahami Allah SWT adalah Dzat Pengampun, niscaya kemarahan akibat melihat perbedaan tidak akan pernah terjadi. Justru, jika kita ingin berdakwah, kita akan gunakan cara-cara yang penuh cinta sebagaimana Rasulullah contohkan sepanjang hidupnya. Karena cintalah yang mampu merogoh nurani anak manusia.
Setiap mendengar kabar adanya kelompok yang merasa benar sendiri, lalu bertakbir sebelum melakukan tindak kekerasan, saya selalu ingat puisi Gus Mus berjudul “Allahu Akbar”.
Allahu Akbar, Allah Maha Besar!
Seandainya 5 milyar manusia
Penghuni bumi sebesar debu ini
Sesat semua atau saleh semua
Tak sedikit pun mempengaruhi KebesaranNya
Melihat keganasan kalian aku yakin
Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayangNya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakanNya
Ketika dengan pongah kau melibas mereka
Yang sedang mencari jalan menujuNya?