“Halah, mestinya kafir begini disiksa saja sampai mampooosss!” tulis netizen yang membuat saya emosi.
Bagi saya yang dilakukan netizen tersebut telah mencederai rasa kemanusiaan dan keberagamaan. Kita perlu belajar dari apa yang dilakukan oleh Immaculee Ilibagiza, penulis konflik kemanusiaan Rwanda. Ia menuturkan bahwa agama malah bagian penting dalam proses penyembuhan luka-luka akibat kekerasan komunal paling besar pasca Nazi. Baginya, hingga sekarang, Rwanda masih berjuang melawan penderitaan, ketakutan, dan kemarahan sebagaimana manusia yang lain.
“Namun setiap kali perasaan-perasaan itu muncul ke permukaan, aku ingat bagaimana Tuhan telah menyelematkanku dan memberiku kekuatan,” kenang Immaculee.
Dia selalu merasakan kehadiran Tuhan, yang selalu ada setiap dibutuhkan. Hal inilah yang diharapkan oleh Immaculee bisa diambil dari ceritanya sepanjang dari tragedi genosida di Rwanda. Kisah yang ditulis oleh Immaculee dalam buku Left to Tell (Dibiarkan Hidup Agar Bersaksi) adalah kisah tentang dirinya selama dan pasca genosida tersebut. Sebagaimana dijelaskan di atas, semua kisah hidupnya tersebut bisa menginspirasi orang dan belajar bahwa kebencian bisa merenggut nyawa banyak orang, dalam waktu yang singkat.
Di antara banyak cerita yang ditulis Immaculee, ada satu cerita yang kembali melintas dalam ingatan saya, saat kekerasan komunal teranyar di India. Cerita tentang awal mula konflik kekerasan atas suku Tutsi. Di mana peran vital dari surat kabar dan radio dalam mendidihkan kebencian pada pihak Tutsi.
Dari tersebarnya “Sepuluh Perintah Hutu” yang memuat berbagai propaganda anti-Tutsi. Di antaranya, cap pengkhianat yang melekat bagi yang berhubungan dengan suku Tutsi, seperti menikah, berbisnis atau meminjamkan uang. Selain itu, ada juga perintah untuk menghindari tetangga, kerabat, dan teman-teman dari suku Tutsi, atau pekerjaan penting di bidang pemerintahan dan militer harus untuk suku Hutu.
Propaganda tersebut kemudian berubah menjadi gerakan politik bernama “Hutu Power” (Kekuasaan Hutu), yang tersebar di seluruh Rwanda. Bergeser ke media lain, yaitu radio. Keberadaan “Hate Radio” (Radio penyebar kebencian) di stasiun milik pemerintah malah semakin menyebarkan kebencian terhadap Tutsi. Dengan sebutan “Kecoa” yang harus dibasmi sebelum membahayakan anak-anak Hutu. Program tersebut tersiar luas di seluruh negeri, pemerintah terang-terangan mendukung pembunuhan massal demi mengatasi “masalah Tutsi”.
Kondisi tak jauh berbeda sekarang terjadi di India. Kerusuhan dan kekerasan komunal atas Muslim dan Kristen yang terjadi di India, disebut diperparah karena kehadiran media sosial. Sebelum lebih jauh, polemik soal Sapi dipercaya sebagai pemicu awal dari kerusuhan India. Memang persoalan ini telah terjadi lama ada dalam masyarakat India sendiri.
Baca juga: Kebencian Membelah India, Hanya Kita yang Bisa Mencegahnya Terjadi di Indonesia
Di tangan beberapa politisi berhaluan ultra-nasionalis dari Bharatiya Janata Party (BJP), polemik tersebut malah dimainkan sebagai sumbu awal memancing kebencian terhadap kelompok muslim atau Kristen. Kebencian ini dipercaya sudah ada sejak lama, yaitu saat narasi “Hindutva” yang dicetuskan penulis, penyair, sekaligus politikus bernama Vinayak Damodar Savarkar pada 1923.
Pengikut paham Hindutva menginginkan tanah air Hindu yang bebas dari pemeluk agama lain. kelahiran “Hindutva” yang tak lepas dari narasi masuknya Islam ke India. Pada tahun 1000-an, gelombang pertama invasi kaum muslim melibas kawasan dataran Indus, dari Afghanistan hingga India. Diceritakan juga bahwa kuil-kuil umat Hindu dihancurkan, termasuk Somnath yang menjadi salah satu kuil terbesar untuk Dewa Siwa yang terletak di Gujarat. Korban yang jatuh sekitar 50 ribu orang Hindu tewas terbunuh.
Dalam rentang sejarah panjang, pasang-surut relasi antara pemeluk Hindu-Islam terus terjadi sejak kejadian tersebut. Kondisi semakin panas, sejak tahun 1990an yang sedikit-banyak dipengaruhi aksi ekstrimisme dan revivalisme Islam di berbagai belahan dunia. Persoalan ini memunculkan rasa ketidaknyamanan dari kalangan kelas menengah Hindu hingga menyeret mereka menjadi lebih konservatif.
Kalangan ini yang juga disasar oleh BJP hingga melahirkan beberapa organisasi sayap kanan yang ekstrim, seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh, BJP, Vishwa Hindu Parishad (organisasi propagandis Hindutva), dan Bajrang Dal (sayap paramiliter Vishwa Hindu Parishad). Yang terakhir, ada geng yang gau rakshaks, atau “geng pelindung sapi”.
Anggotanya terdiri atas anak muda Hindu garis keras yang percaya bahwa sapi, hewan suci agama Hindu, harus dilindungi mati-matian. Mereka yakin masih ada yang tidak menegakkan undang-undang yang telah diteken untuk melindungi sapi, seperti larangan penyembelihan dan konsumsi. Kehadiran kelompok-kelompok garis keras ini cukup sering menjadi kekerasan komunal dengan beberapa kelompok minoritas.
Bentrokan yang menyasar muslim makin marak sejak kerusuhan yang dipicu UU Anti-Muslim yang diloloskan PM Narendra Modi, Desember 2019 kemarin. Kehadiran UU tersebut menjadi pembuka jalan terjadinya kekerasan semakin besar dan puncaknya puluhan orang Muslim meninggal dunia karena berbagai perilaku kejam yang mereka terima.
Berbeda dengan di Rwanda, di India kemarin ada beberapa usaha dari berbagai elemen masyarakat untuk meredam aksi kekerasan semakin meluas. Diantaranya, video yang cukup fenomenal disebar oleh penggiat HAM di India. Dalam video tersebut menangkap kerusakan sebuah masjid di lingkungan Ashok Nagar.
Video merekam beberapa perusuh memanjat di atas menara masjid. Saat asap mengepul di latar belakang, salah satunya berusaha merobohkan bulan sabit. Yang lain merusak megafonnya dan meletakkan bendera agama Hindu di atasnya. Dalam laporan straitstimes.com, kala fakta video tersebut dicek mendapati dan menemukan bahwa masjid itu memang dirusak dan bahwa bendera Hindu safron yang diletakkan di atas menara oleh para perusuh masih ada.
Caption dari @arjunsethi, seorang penggiat HAM di India, yang tajam mengkritik dan mencoba menghentikan kekerasan yang telah terjadi.
https://twitter.com/arjunsethi81/status/1232316410719801345
“Hentikan apa yang Anda lakukan, tonton video ini & baca tentang apa yang terjadi di India. Saat Trump dan Modi berpawai di seluruh negeri, gerombolan massa secara terbuka menyerang Muslim, menjarah bisnis mereka & menodai rumah-rumah ibadah seperti yang Anda lihat di video ini.”
Mungkin yang dilakukan Sethi hanya salah satu usaha dari sekian banyak caption dan status di berbagai media sosial dari yang menghujat, seperti contoh di atas, atau mencoba menghentikan meluasnya kekerasan dengan menggunakan media. Kehadiran media sosial memang menghadirkan dua sisi yang berhadapan dengan konflik, jadi sangat terbuka jika kita ingin menyuarakan kedamaian saat peristiwa kekerasan terjadi.
Kalau Immaculee Ilibagiza harus menunggu bertahun-tahun untuk menuliskan kesaksiannya, maka kita bisa menjadi Arjun Sethi lainnya yang berusaha meredam pesan-pesan kekerasan yang beredar di dunia maya
Contoh komentar netizen di atas adalah contoh betapa rasa kemanusiaan jelas telah menghilang, keimanan atas Tuhan yang maha damai patut dipertanyakan. Poin pentingnya adalah komentar tersebut ditulis oleh seseorang yang berasal dari daerah yang berjarak puluhan ribu kilometer dari tempat kejadian.
Produksi pesan di media sosial yang tidak mengenal batas wilayah, konsekuensinya adalah pesan bisa direproduksi dalam bingkai dan kondisi yang berbeda dari konflik tersebut berasal. Sejarah dan imaji yang berbeda bisa menjadikan konflik di sana malah dijadikan bahan bakar bagi kekerasan komunal lainnya. India telah merasakan dampaknya, kelas menengah Hindu menjadi garis keras, sebagaimana dijelaskan di atas.
Arkian, gunakanlah media sosial kita sebagai media peredam aksi kekerasan. Pengalaman Rwanda lewat radio yang terus berkoar-koar tentang kebencian pada suku tertentu, makin menyulut kekerasan genosida di sana. Untuk netizen, berkomentarlah untuk mendukung nilai-nilai kemanusia.
Kutuklah kekerasannya, jangan serang sesuatu di luar dari titik tersebut. Akibatnya, kita rentan sekali terjerumus atau menyeret orang membenci hanya dari cap atau stigma dari yang sebenarnya hanya ilusi kita belaka, begitu tegas dari Amartya Sen dalam buku “Kekerasan dan Identitas”. Dan, tentu saja, mayoritanisme ini harus kita lawan bersama.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin