Saya teringat Habib Husein Ja’far pernah berkata yang intinya jangan terburu-buru bilang nyaman ketika masuk agama Islam. Katanya, kamu pelajari dulu agamamu yang lama karena jangan-jangan kamu hanya belum paham saja, lalu mencari “pembenaran” dalam agama lain.
Petuah tersebut selalu terngiang di telinga saya karena, tampaknya, keresahan di balik pernyataan Habib Ja’far itu konkret adanya.
Adalah Agus Tan, pendeta yang memutuskan menjadi mualaf pada Maret 2021 silam. Baru-baru ini, videonya viral di Twitter yang menampilkan Agus Tan sedang “menantang” umat Kristen dengan menduduki al-Kitab, kitab suci pemeluk Kristen.
“Apakah ketika kitab ini saya tempel di pantat, dalam sebulan saya akan mati. Kita tes ya… kita tes… kita lihat apakah dalam sebulan kita akan mati. Kita lihat nanti, apakah Agus Tan akan mati ketika al-Kitab ditaruh di pantat,” kata dia.
Dalam video, ia benar-benar menempelkan sebuah injil di pantatnya. Mualaf yang sering mondar-mandir di akun YouTube Mualaf Center itu barangkali berpikir bahwa setelah ia meninggalkan agama lamanya, ia otomatis melepaskan dogma bahwa Injil adalah kitab suci. Dengan demikian, ia merasa bisa memperlakukan Injil sesuka hatinya karena menurutnya itu adalah kitab biasa.
Yang tak habis pikir, tak lama setelah ia menjadi mualaf, ia ditasbihkan sebagai ustadz. Ia kemudian masyhur dipanggil Ustadz Agus Tan hingga saat ini.
Saya masih sering berkhayal, gejala apa yang membuat masyarakat kita suka “meng-ustadz-kan” seorang mualaf hingga kemudian muncul satu argumentasi sederhana, yaitu karena masyarakat kita suka mendengar si mualaf ini cerita tentang pengalaman agamanya yang lama. Tidak sampai situ, para audiens juga akan makin antusias jika si mualaf mulai membumbui ceritanya dengan menjelekkan-jelekkan agama lamanya sekaligus mengglorifikasi agama barunya.
Mungkin menurut mereka, jika mendengar si mualaf menceritakan masa lalunya sembari mencaci maki agama yang pernah dianutnya, maka pendengarnya akan merasa bahwa itulah bukti kebenaran Islam. Itulah bukti bahwa Allah sedang mengagungkan Islam dibanding agama selain Islam.
Padahal kenyataannya tidak. Justru sikap Agus Tan dan para mualaf semacam itu yang dengan enteng melecehkan agama lamanya menunjukkan ia sama sekali tidak menemukan kebenaran apa-apa dalam proses pindah agamanya. Bahkan, ia sesungguhnya tidak sedang menghina umat Kristen, namun ia sedang mencoreng nama baik Islam itu sendiri. Dengan kualitas mental semacam itu, Agus Tan tidak lebih dari seorang penghuni baru sebuah rumah megah, yang saking megahnya ia tidak tahu harus berbuat apa di dalamnya selain hanya mengotorinya.
Apa yang ditampilkan Agus Tan adalah kondisi akhlak yang masih prematur dalam konteks menghormati sesama manusia. Mungkin bagi jama’ahnya, Agus Tan dipandang sebagai seorang yang berilmu dan berwawasan luas. Namun mereka lupa, misi awal Rasulullah kepada umatnya adalah untuk memperbaiki akhlak masyarakat, bukan meningkatkan kapasitas keilmuan. Menghormati pemeluk agama lain adalah akhlak yang diajarkan Rasulullah. Nilai inilah yang absen dari sosok Agus Tan.
Sebelum terlanjur menjadi ustadz kondang, baiknya Agus Tan belajar soal bagaimana interaksi Rasulullah dengan pemeluk Nasrani dan Yahudi di Madinah. Wawasan sirah itu akan membantu menyadarkan bahwa apapun bentuk pelecehan terhadap umat agama lain sangat bertentangan dengan semangat Nabi. Bukan apa-apa. Islam sudah kadung terstigma negatif lewat rangkaian kasus teror berlabel agama, masak iya ditambah dengan stigma “agama penghina” lewat sosok-sosok seperti Agus Tan.
Untuk menjalankan agama secara baik, idealnya seseorang kudu memiliki dua perangkat, otak dan hati. Otak adalah sumber dari segala kecerdasan intelektual. Sedangkan hati merupakan sumber dari rasa toleransi, empati, dan simpati. Dua perangkat ini harus saling terintegrasi. Jika ia hanya punya otak tanpa hati, ia mungkin hanya akan membodohi masyarakat. Sebaliknya, hati tanpa otak juga berpotensi melahirkan sikap beragama yang taklid dan kolot.
Sebetulnya, seorang mualaf pada dasarnya sudah memiliki rasa pluralisme yang tinggi. Agus Tan, misalnya, sudah terbuka terhadap pemahaman lain yang berbeda dengan dogma Kristennya saat itu. Ia tidak menutup diri dengan ajaran agama lain. Namun yang kadang problematis adalah rasa kebanggaan yang berlebihan pada agama barunya sehingga melahirkan sentiment terhadap agama lamanya.
Saya bukan seorang mualaf, dan tidak akan pernah menjadi mualaf. Saya Islam dari lahir. Namun, yang saya tahu, mualaf bukanlah fase untuk euphoria terhadap keyakinan yang baru, mualaf bukan tahap di mana seseorang bisa memperbandingkan satu agama dengan agama lainnya, pun bukan fase untuk meluapkan sentimen kepada kepercayaannya yang lama. Akan tetapi, mualaf menjadi momentum bagi yang bersangkutan untuk membuktikan apakah dirinya memang menemukan versi terbaik dirinya melalui agama baru yang dianutnya. Mualaf seharusnya menjadi fase untuk tetap rendah hati dan menjadi agen Islam yang menebar rahmat bagi semesta alam.