Kejamnya Jejak Digital, Apalagi Jika Kamu Syiah, Ahmadiyah & Minoritas Lainnya

Kejamnya Jejak Digital, Apalagi Jika Kamu Syiah, Ahmadiyah & Minoritas Lainnya

jejak digital memang kejam bagi minoritas

Kejamnya Jejak Digital, Apalagi Jika Kamu Syiah, Ahmadiyah & Minoritas Lainnya
Unjuk rasa menolak relokasi syiah sampang

Bagaimana jejak digital berpengaruh untuk membunuh pribadi seseorang di dunia yang kian kecil secara digital ini?

Maria Fauzi, penulis Berdiri di Kota Mati (2020),  suatu ketika pernah dirundung di media sosial efek tulisannya di media daring. Ia dirundung karena berbeda pendapat dengan kebanyakan netizen dan membuatnya sedikit depresi. Kisah founder Neswa.id bisa jadi adalah secuil dari jutaan kisah lain tentang betapa buruknya dampak psikologis perundungan. Salah satu alat yang lazim dipakai dalam proses perundungan ini adalah Jejak Digital.

Penggunaan jejak digital di media sosial sebagai senjata menghina, mengejek termasuk merundung tentu bukan barang baru di dunia maya. Di sisi lain, berapa banyak orang yang sadar bahwa dampak buruk secara psikologis akibat pendedahan jejak digital tersebut? Kemungkinan besar, hanya sedikit yang menyadarinya.

Dinamika keagamaan di dunia maya pun tidak lepas dari persoalan jejak digital ini. Seperti ketika Said Didu yang menuliskan sebuah status di Twitter, “Saya sdh dapat jejak digital ybs, dari jejak digital opini beliau saya yakin bhw pemikiran beliau bhw agama adalah musuh utama Pancasila adalah sesuai dg konsepsi pemikiran beliau selama ini. Dlm wawancara tsb juga beliau katakan bhw pelaksanaan Pancasila harus sekuler”. Berbagai unggahan bernada seperti cuitan Said Didu bukan sesuatu yang garib di dunia maya.

Dilansir oleh Ditjen Aptika Kemen Kominfo, menurut survei Hootsuite, Indonesia memiliki 160 juta pengguna sosial media. Namun, belum semua pengguna paham mengenai jejak digital yang selalu terekam dan tak bisa dihapus secara permanen.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sedang menggodok regulasi terkait Perlindungan Data Pribadi. “Memang ada jejak digital yang diperlukan, tapi kita juga harus mengetahui jejak digital yang harus dilindungi,” ujar Government Affairs and Public  Policy Manager Google Indonesia, Danny Ardianto dalam webinar Siberkreasi Jejak Digital dalam Dunia Maya, Senin (10/08/20) lalu.

***

Sekarang, kita harus menyadari bahwa berbagai unggahan di dunia maya dianggap sebagai bagian dari representasi diri kita, namun dalam bentuk digital. Persoalannya kemudian rekaman berbagai aktivitas kita tersebut dapat disalahgunakan oleh orang lain sebagai senjata untuk menyerang atau merundung, termasuk pendapat atau sikap kita terkait agama.

Perlu diketahui lebih dahulu, rekaman aktivitas di dunia maya tersebut tetap tersimpan walau kita sudah meninggal. Tirto.id mengutip pernyataan Sandi S. Varnado dalam jurnalnya berjudul “Your Digital Footprint Left Behind at Death: An Illustration of Technology Leaving the Law Behind” mengatakan bahwa jejak digital merupakan kumpulan jejak dari semua data digital, baik dokumen maupun akun digital. Jejak digital dapat tersedia baik bagi data digital yang disimpan di komputer maupun yang disimpan secara online.

Kemudian, jejak digital dapat terbagi dua, dilihat dari cara bagaimana suatu kegiatan digital menghasilkan jejak. Pertama, jejak digital pasif merupakan jejak yang tidak sengaja ditinggalkan. Contoh dari jejak digital pasif ialah rekaman linimasa laman yang kita kunjungi di peramban. Segala tujuan, aktivitas lama membaca, hingga link yang kita bagikan semuanya terekam. Seluruh perekaman dilakukan tanpa ada tindakan aktif si pemilik jejak digital untuk memberikannya.

Sementara itu jejak digital aktif merupakan segala jejak digital yang tercipta atas peran aktif si pengguna. Ini misalnya termuat dalam segala unggahan atau pembaruan status di media sosial. Serta segala e-mail yang dikirim pemilik jejak digital. Dengan sadar mereka menciptakan jejak digitalnya sendiri. Jejak digital, yang tercipta atas segala tindak-tanduk digital penggunanya, sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai bom ranjau yang tertanam di dalam si pemilik jejak.

Kembali ke persoalan perundungan dengan menggunakan jejak digital, khususnya dalam kasus agama, beberapa orang merisak menggunakan rekaman aktivitas di media sosial, termasuk pembocoran data pribadi. Dari poin inilah, saya melihat persoalan utama dalam perundungan ini adalah ketidaksiapan warganet dalam menerima perbedaan pendapat, selain pencurian data pribadi.

Debat kusir di media sosial seringkali diakhiri dengan menghina fisik (baca: online shaming) atau penggunaan rekaman aktivitas di media sosial untuk diasosiasikan dengan sesuatu yang ditakuti atau dibenci oleh masyarakat, seperti PKI, Syiah, liberal atau label negatif lainnya. Jadi, persoalan penyalahgunaan atau pembajakan jejak digital diperparah dengan penyematan stigma pada orang

Seseorang yang menjadi objek perisakan di media sosial, biasa berbagai data pribadinya dari foto, alamat, asal sekolah hingga fisik dibocorkan dan disalahgunakan. Di titik ini perlindungan Negara atas kerahasiaan biasanya tumpul di antaranya disebabkan belum ada regulasi yang mengatur. Selain itu, kesadaran warganet akan bahaya atas perilaku negatif tersebut masih belum muncul secara massif.

Sehingga, bukan hal aneh jika banyak orang yang mendapatkan perisakan di dunia maya mengalami tekanan stress yang luar biasa. Sebab, banyak debat kusir di media sosial tidak lagi membahas secara rasional objek perdebatan, namun banyak mengarah pada perundungan terhadap bentuk fisik, asal sekolah, suku, agama hingga opini pribadi.

Ajaran moral agama kita juga terlihat belum terlalu ampuh untuk menyelesaikan persoalan perisakan atau perundungan ini. Walau, kita semua tahu bahwa ajaran moral dalam Islam telah banyak memberikan panduan dalam bersosialisasi.

***

Persoalan jejak digital bukan hanya soal mantan yang masih sulit move on, karena masih mengulik berbagai status media sosial milik. Tapi, permasalahan “Jejak Digital” ini sebenarnya lebih berat jika kita tidak berusaha membangun dunia maya dengan apa yang disebut oleh Heidi Campbell, Professor komunikasi asal Texas, sebagai “Peradaban Informasi”.

Heidi menuliskan sebuah ilustrasi indah dalam artikel berjudul “Understanding the Relationship between Religion Online and Offline in a Networked Society” terkait dunia maya. “Seluruh makhluk berorientasi dengan rumah” tulis Heidi.

Menurutnya, dunia maya sebagai peradaban yang telah hadir di kehidupan kita ini menjadi tempat yang bisa kita sebut rumah. Di mana hampir setiap makhluk hidup memiliki versi keterikatannya sendiri terhadap wadah, di mana kehidupannya berkembang dengan baik, atau yang akrab bagi kita sebagai manusia menyebutnya dengan “rumah”.

Jadi, Heidi menginginkan bahwa peradaban di dunia maya menjadi lebih mendamaikan dan menerima segala perbedaan, termasuk jika kita berbeda pendapat sekalipun, seperti kehidupan dalam rumah sendiri. Perbedaan antar kita bisa diselesaikan secara kekeluargaan, inilah peradaban yang sebenarnya kita semua harapkan.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin