Kejahatan Berkedok Islamophobia

Kejahatan Berkedok Islamophobia

Kejahatan Berkedok Islamophobia

Islamophobia begitu marak di belahan dunia seiring kecaman aksi terorisme yang pernah terjadi di berbagai tempat dan masih meninggalkan persoalan traumatik. Kebencian terhadap Islam bahkan sangat brutal, seperti penyanderaan tempat ibadah, balasan aksi teror hingga pola-pola yang diskriminatif. Keberadaan Islam masih dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya dan berpotensi memperkikis keselamatan hidup seseorang. Islam juga dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan, ekstrem, rasis dan radikal.

Penilaian yang buruk tersebut telah menyandera sebagian kaum agama lain yang masih belum meyakini bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian, toleransi dan menolak kejahatan atas nama apapun. Islam dipersepsikan buruk bukan karena mutlak pandangan tersebut salah melainkan terjadi karena dunia menganggap Islam selama ini tersentral di Timur Tengah dan gejolak politik yang ada menjadi semacam representasi bahwa konflik tersebut tercipta karena hubungan disharmoni internal agama hingga menjalar pada persoalan lain.

Doktrinasi Islam tidak pernah melabelkan adanya kekerasan atas nama jihad, menghilangkan nyawa seseorang dengan dalih pembelaan agama, menghakimi seseorang dengan anarkis (sepihak) atas nama kitabulloh dan sebagainya. Makna Islam tidak seburuk pemeluknya yang memandang rendah di mata pemeluk agama lain. Islam sekarang banyak yang diversikan sendiri secara akal, dibikin betul dengan sendirinya dan dianggap versi yang diyakinilah sebagai sesuatu yang haq (tak terbantahkan).

Citra Islam yang ditampilkan rendah dapat menghambat distribusi penyampaian agama menjadi tidak indah. Orang tidak banyak menaruh simpati terhadap Islam, pribumisasi Islam menjadi tidak berkembang dan ancaman keterbelakangan menjadi sesuatu yang mungkin terjadi. Apalah arti beragama kalau mengenal tuhan (proses memanusiakan ciptaanNya) saja merasa enggan. Sisi humanisme merupakan bagian penting merawat agama seperti halnya merawat diri sendiri.

Fanatisme dalam berkeyakinan membuat seseorang menjadi anti kritik, otoriter dan jumawa. Islamophobia semakin menjamur lantaran sebagian umat muslim bergerak terlalu reaksioner terhadap segala isu yang berbau agama tanpa terlebih dahulu mengajak hati dan pikiran untuk berdiskusi atas persoalan yang timbul. Sehingga sesuatu hal yang dilihatnya kira-kira tidak pas langsung dihukumi mutlak bersalah. Padahal di lain hal, ada proses tazkiyah (penjernihan hati) yang jauh lebih indah sebelum merespon lebih dalam terhadap persoalan yang bertendensi pada sesuatu yang sensitif.

Islamophobia menjadi ancaman dunia yang membuat pemeluk agama Islam merasa diperlakukan tidak setara dengan kelompok lain. Sekat sosial bahkan muncul di tengah negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Gerak-gerik aktivitas kalangan muslim semakin diawasi dengan ketat, kerap dicurigai banyak hal dan tidak memiliki kebebasan tinggi dalam melakukan kegiatan agama.

Fenomena Islamophobia merupakan penjajahan agama gaya baru karena efeknya membuat para pemeluk agama merasa takut, perasaan intimidatif, dan tidak adanya keleluasaan menghirup udara kebebasan. Tensi Islamphobia bahkan cenderung meningkat ketika terjadi aksi teror atau penembakan berantai di tempat hiburan yang dikaitkan dengan kelompok muslim. Suatu nilai tukar kejahatan yang dianggap tidak manusiawi dan menurunkan posisi bargaining agama. Negara barat selama ini menganggap rangkaian aksi teror yang terjadi di suatu negara bukan saja digolongkan kejahatan lokal negara namun sudah meluas menjadi kejahatan Internasional.

Kondisi Israel dan Palestina yang saat ini masih bersitegang merupakan praktek kejahatan Islamophobia Internasional yang lepas dari keberpihakan dunia. Para elite dunia justru lantang bersuara pada persoalan yang menyangkut christianophobia yang seakan menjadi kejahatan agama tak berampun. Praktek Islamophobia yang terjadi tersebut bukan berdiri atas isu tunggal soal agama melainkan digiring pada ranah politis.

Islamophobia muncul bisa saja diproduksi sebagai industrialisasi agama yang sering dibahasakan para antropolog budaya sebagai mesin politik yang sewaktu-waktu bisa dioperasionalkan kapanpun. Isu Islamophobia terakhir dimunculkan kembali pada momen politik berjangka di Amerika Serikat seperti yang diungkapkan dalam sebuah kampanye secara terang-terangan oleh Donald Trump yang kala itu masuk bursa calon Presiden Amerika Serikat. Sebuah ajakan yang membangkitkan nada keberpihakan bagi kelompok Islamophobia namun menjadi penderitaan bagi kalangan umat muslim minoritas di Amerika Serikat.

Islamophobia sendiri adalah praktek kejahatan agama yang harus ditindak tegas para pelakunya. Duri penjajahan yang cukup menyakitkan dan mengoyak keberadaan hak asasi manusia yang bukanlagi sakti.

Mustaq Zabidi, Penulis adalah Pegiat di Solo Reform Institute dan Kader muda GP Ansor Kota Surakarta.