Al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji, keindahan-keindahan susunan bahasa yang dipakainya menyadarkan para penutur bahasa Arab, bahwa bahasa yang biasa mereka pakai sehari-hari menjadi luar biasa dalam Al-Qur’an.
Betapa tidak, Al-Qur’an yang semua lafaznya menggunakan bahasa Arab yang mereka kenal, memiliki keistimewaan yang jauh melebihi perkiraan mereka dalam keindahan bahasa. Pengakuan atas keindahan Al-Qur’an bahkan muncul dari ahli sastra Arab yang tidak beriman, Al-Walid bin al-Mughirah. Ia pernah berkata:
فوالله! ما فيكم رجل أعلم بالأشعار مني، ولا أعلم برجز ولا بقصيدة مني، ولا بأشعار الجن، والله! ما يشبه الذي يقول شيئا من هذا، ووالله! إن لقوله الذي يقول حلاوة، وإن عليه لطلاوة، وإنه لمثمر أعلاه مغدق أسفله، وإنه ليعلو وما يعلى، وإنه ليحطم ما تحته
“Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah kalian orang yang lebih memahami syair Arab dari pada aku. Tidak juga ada yang lebih tahu tentang rajaz dan qashidah bahkan syiir jin daripada diriku. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan tidak menyerupai itu semuanya. Apa yang ia (Al-Quran) ucapkan itu manis. Memiliki thalāwatan (kenikmatan, baik, dan ucapan yang diterima jiwa). Bagian atasnya berbuah, bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu luhur dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada di bawahnya.”
Perkataan ini tentu muncul dari pengakuan dan penilaian yang obyektif terhadap kehebatan susunan bahasa Al-Qur’an. Di antara keindahan susunan bahasa Al-Qur’an yang juga menarik untuk dikaji adalah seni/teknik al-istikhdam, yaitu menyebut lafaz yang bermakna dua dengan salah satu ma’nanya lalu menyebutkan zamir yang kembali padanya dengan ma’na yang lain.
Berikut beberapa contoh al-istikhdam dalam al-Quran:
Pertama, al-Baqarah: 185.
ﻓَﻤَﻦْ ﺷَﻬِﺪَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮَ ﻓَﻠْﻴَﺼُﻤْﻪُ
“Siapa di antara kalian menemui bulan (hilal Romadhon) maka hendaklah berpuasa (pada bulan itu).”
Dalam kitab Jawahir al-Balaghah disebutkan bahwa makna lafadz ﺍﻟﺸﻬﺮ yang pertama adalah bulan sabit, lalu zamir yang kembali kepadanya dalam lafadz ﻓَﻠْﻴَﺼُﻤْﻪُ (Falyasumhu) bermakna bulan (Ramadhan).
Kedua, ar-Ra’du: 38-39.
لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ ۖ (الرعد: ٣٨ـ٣٩
…Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)
Dalam kitab Badi’ al Quran disebutkan bahwa lafadz كتاب mengandung dua makna, pertama makna batas masa yang ditetapkan, kedua bermakna tulisan. Dalam rangkaian ayat 38, lafadz أجل (ajal) disandingkan dengan salah satu makna lafadz كتاب yaitu batas masa yang telah ditetapkan, dan lafadz يمحو disandingkan makna كتاب yang lainnya yaitu tulisan, sehingga makna ayat diperkirakan adalah: “Bagi tiap-tiap masa ada batas akhir (yang tertentu). Allah menghapuskan (tulisan/ketentuan) apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).”
Ketiga, al-Mukminun: 12-13.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ (المؤمنون ١٢ـ١٣)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)”
Dalam ayat di atas, lafadz الإنسان yang disebutkan pertama bermakna Adam, dan zamir yang dikembalikan kepadanya dalam lafadz جعلناه bermakna keturunannya.
Keempat, ar-Rum: 27.
وَهُوَ ٱلَّذِى يَبْدَؤُا۟ ٱلْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُۥ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ ۚ
Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengembalikannya kembali, dan mahluq itu lebih remeh bagi-Nya.
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan kata الخلق dengan makna masdar (penciptaan) lalu menyebutkan zamir yang kembali kepadanya, tetapi dengan makna yang lain, yaitu bermakna isim maf’ul (mahluk).
Wallahu A’lam.