Baru-baru ini, ada sebuah video di Youtube tentang seorang pendakwah bernama Sofyan Chalid Ruray. Ia mengatakan bahwa berwisata ke Candi Borobudur merupakan sesuatu yang haram karena itu sama saja dengan persetujuan kepada peribadatan umat Budha. Menurutnya, Umat Islam tidak boleh duduk dengan mereka yang menghina dan mengolok-ngolok agama Allah. Umat Islam, katanya, boleh mengunjungi Candi Borobudur hanya dengan satu tujuan, yaitu membubarkan mereka yang beribadah kepada selain Allah.
Dakwah Ustadz Sofyan Chalid tersebut sebenarnya sudah diunggah 3 tahun silam, tepatnya pada 2018. Namun belakangan ini ceramahnya menjadi viral, sehingga Sofyan Chalid kembali mengunggah penggalan ceramahnya dengan penjelasan yang lebih komprehensif di kanal Youtube pribadinya.
Dalam ceramahnya, Sofyan Chalid menggunakan tiga dalil al-Qur’an, yaitu QS. at-Taubah: 65-66, QS. an-Nisa: 140, dan QS. al-Anfal: 25. Di tambah dengan hadis tentang anjuran Muslim untuk melawan kemunkaran dengan tangannya, lisannya, atau hatinya. Sofyan Chalid juga mengutip qaul Umar bin Khattab “Janganlah kamu menemui kaum musyrikin di gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah mereka, karena sesungguhnya murka Allah akan turun kepada mereka (Riwayat Al-Baihaqi dalam Kitab As-Sunnan).
Secara umum, Sofyan Chalid mempermasalahkan tiga hal, pertama, kerentanan aqidah umat Islam jika masuk ke dalam tempat Ibadah umat Muslim. Kedua, jikapun umat Islam cukup kuat untuk menjaga imannya, paling tidak kehadiran umat Islam di Candi Borobudur justru berpotensi memotivasi orang Buddha untuk terus mempertontonkan agamanya agar orang lain tertarik. Ketiga, diamnya orang Muslim ketika ada orang yang berbuat maksiat kepada Allah, seperti praktik kemusyrikan misalnya, maka hal itu sama saja dengan persetujuan akan kemaksiatan itu.
Jika membincang tentang Candi Borobudur, maka kita sedang membincang simbol-simbol umat agama Budha. Jika menggunakan kaca mata Sofyan Chalid, jelas sekali bahwa segala sesuatu yang berada di luar Islam akan dihitung sebagai kemusyrikan yang harus dimusnahkan atau dirubah.
Padahal, di sisi lain, Allah melarang umat Islam mencela simbol-simbol sakral agama lain. Allah menegaskan hal itu secara tersirat dalam QS. al-Hajj: 40 dan secara tersurat pada QS. al-An’am: 106. Dalam surat yang disebut terakhir, misalnya:
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Agama-agama selain Islam juga harus mendapatkan penghormatan yang sama dari komunitas kaum muslim. Tempat-tempat ibadah mereka, simbol-simbol agama yang mereka sakralkan juga harus mendapatkan penghormatan.
Berkaitan dengan hukum kehadiran umat Islam di tempat ibadah orang lain, tidak ada satupun dari empat ulama madzhab yang mengharamkan secara mutlak umat Islam yang memasuki rumah ibadah non-muslim. Pendapat yang mendekati haram disampaikan oleh ulama madzhab Hanafi, seperti misalnya yang tertulis dalam kitab Syekh Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar,
يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ
“Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh.” (Lihat: Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1, h. 380).
Menurut mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i hukumnya boleh, sedangkan menurut sebagian ulama lain dari mazhab Syafi’i hukumnya tidak boleh, kecuali ada izin dari mereka (non-muslim).
Mengapa tidak ada satupun fatwa keharaman mutlak keluar dari empat madzhab besar tersebut? Hal itu karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu menakar motif dan niat orang lain dalam melakukan sesuatu, termasuk ketika memasuki rumah ibadah agama lain. Di sisi lain, fatwa madzhab-madzhab tersebut berdasar pada kepercayaan mereka terhadap kualitas iman umat Muslim yang tidak mungkin terpengaruh begitu saja hanya karena memasuki wilayah peribadatan orang lain.
Dalil tersebut jelas menyebut sinagog dan gereja sebagai tempat yang secara spesifik berfungsi sebagai tempat ibadah. Berbeda dengan Candi Borobudur. Memang benar bahwa Candi Borobudur merupakan tempat ibadah umat Buddha terutama ketika hari raya Waisak. Namun, di sisi lain, Borobudur menyimpan sejarah megah peradaban Nusantara masa lalu. Hal inilah yang kemudian menjadikan Borobudur sebagai cagar alam dan situs warisan dunia yang kaya akan cerita. Jika seorang Muslim pergi ke Borobudur dengan niat mengikuti ibadah umat Buddha dan menyukutukan Allah, tentu hal itu sangat dilarang dalam Islam.
Namun bagaimana jika orang-orang berwisata ke sana untuk kepentingan ilmiah, misalnya, atau sekedar untuk menambah wawasan tentang sejarah peradaban Buddha yang notabene menghuni Nusantara jauh sebelum Islam datang. Bagaimana bisa ceramah-ceramah “ustadz-ustadz” itu justru mengerdilkan semangat orang-orang untuk menuntut ilmu dan menambah pengetahuan. Lagipula, Buddha bukanlah agama misionaris seperti Kristen, Islam, dan Yahudi. Meskipun mengajarkan dharma, Buddha tidak bermaksud mencari pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, dharma hanya berujuan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan, dan membantu semua makhluk terbebas dari penderitaan
Dalam videonya, Sofyan Chalid menyebutkan bahwa dengan berwisata ke Candi Borobudur, kita secara otomatis akan melihat peribadatan umat Buddha di sana, apalagi ketika hari raya Waisak, di mana perayaan seremonial keagamaan menjadi daya tarik utama wisatawan ke Borobudur. Menurut Sofyan Chalid beserta pemahamannya terhadap dalil-dalil tersebut, melihat peribadatan umat agama lain tanpa adanya intensi untuk merubahnya atau membubarkannya berarti sepakat dengan kemusyrikan yang mereka lakukan.
Di sisi lain, dalam Tafsir al-Qurthuby dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. pernah menerima sejumlah pembesar delegasi dari Kristen Najran untuk bertamu di Masjid Nabawi. Ketika sampai saatnya untuk beribadah, Rasulullah saw. memberi kesempatan kepada mereka untuk beribadah. Bahkan, dengan senang hati Nabi
saw. mengizinkan delegasi tersebut untuk beribadah di Masjid Nabawi.
Jika mengacu pada logika ajaran Sofyan Chalid, Nabi terlihat telah melakukan kesalahan. Bagaimana bisa Nabi membiarkan orang Kristen Najran beribadah di Masjid Nabawi, dan bahkan Rasulullah sendiri yang menawarkan tempat itu. Mestinya, Nabi tidak akan membiarkan ada praktik kemusyrikan di sekitar dirinya, bahkan di dalam masjid, tempat paling sakral dalam keyakinan umat Islam.
Sama halnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan mengenakan salib-salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memeluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Dua sirah tersebut nampaknya cukup menggambarkan batasan interaksi dan toleransi antara umat Islam dan non-muslim.
Islam pernah berada di zaman keemasan di bawah dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Zaman keemasan yang berlangsung sampai pada tahun 1258 M itu ditandai dengan keterbukaan umat Islam bergaul dengan umat agama lain. Peradaban itu benar-benar dirancang secara cerdas, diawali dengan penerjemahan buku buku filsafat dan sains yang berasal dari Yunani, Persia, India dan Cina yang notabene bukan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu, jangan sampai Islam menjadi sangat terbelakang hanya karena pemikiran-pemikiran sempit dan sifat eksklusif. Secara muamalah, interaksi antara Islam dan agama lain sangat dibolehkan, akan tetapi menghakimi kaum Muslim berdasarkan niatnya bukanlah sesuatu yang dibenarkan, karena satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas untuk menilai niat dan kualitas iman seseorang adalah Allah swt.
Wallahu a’lam bis shawab…