Jika ada yang bertanya, bagaimana cara mengalahkan keterbatasan dan ruang untuk menyapa mereka yang berbeda keyakinan? Maka jika ditanyakan kepada Fatma Utami Jauharoh (32 tahun), Ustadzah aktivis NU asal Bone Sulawesi Selatan, maka jawaban hanya satu, yaitu cinta dan keteguhan hati.
Cinta itu, Anda tahu, melampaui segala sekat dan Fatma membuktikan satu tesis purba; jika sebuah pekerjaan dilakukan dengan sepenuh kasih, maka semesta akan bekerja bersamamu.
Itulah yang dilakukan perempuan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ketika berbicara profesi yang kini ia geluti, yakn sebagai penyuluh agama Islam.
Fatma kini bahkan menjadi salah satu penggerak Kampung Moderasi Beragama (KMB) di Kelurahan Watampone dan Kabupaten Bone. Dari kota kecil ini, Fatma dengan keteguhan dan keyakinan bahwa Islam baginya adalah rahmah mampu bertemu, berdialog dan bersama-sama dengan masyarakat.
Ia meyakini, Islam itu agama moderat dan ia terpantik untuk menyuarakan hal tersebut lewat pelbagai cara.
Watampone, sebuah daerah di Bone, punya ragam agama dan budaya sebagai percontohan kehidupan harmoni antar umat beragama. Ia pun berbinar ketika berbicara tentang apa yang ia kerjakan tersebut laiknya anak kecil bicara soal permen, superhero, perosotan di playground dan segala yang ia yakini.
Fatma Jauharoh mencintai profesi ini seperti halnya cinta anak kepada ibunya. Bagi dia, tugas dan fungsi Penyuluh Agama Islam semata dan tidak terbatas hanya pada bimbingan/penyuluh pada majelis taklim saja.
“Ada 4 loh tugas dan fungsi penyuluh agama: yakni fungsi informasi, edukasi, konsultasi dan advokasi. Dan, semua itu berhubungan langsung dengan manusia,” katanya, menghela napas sebentar lantas tersenyum.
“Bukankah tugas sesama manusia adalah memanusiakan manusia?”
Menjadi Suara di Tengah Masyarakat
Ia lantas memberikan contoh sederhana yang ia alami selama menjadi penyuluh.
Setelah pencanangan dan terbentuknya KMB Watampone, lanjut Fatma, ia melihat perlu melakukan program advokasi di daerah. Hal ini dikarenakan adanya tantangan yang sedang dihadapi oleh masyarakat adat Bissu di Kabupaten Bone.
“Untuk menghapus stigma dan stereotype yang dihadapi oleh kelompok Bissu perlu peran panyak pihak. Salah satunya adalah peran Penyuluh Agama dan Tokoh-Tokoh Agama dan saya di sana,” katanya.
Banyak masyarakat yang belum mengenal Bissu dan sering diidentikkan dengan kelompok waria, LGBT, kelompok yang menyimpang dari agama, menyalahi ajaran agama atau semacamnya.
Padahal, lanjutnya, pandangan seperti itu adalah tidak tepat.
“Masyarakat perlu memahami dan bisa membedakan mana yang dimaksud identitas gender dan mana yang dimaksud orientasi seksual. Bissu adalah kelompok masyarakat adat di Bugis yang sarat dengan kearaifan lokal yang luhur dan mengakui ragama gender non mainstream (calalai, calabai, makkunrai, oroani,bissu),” paparnya.
Bissu seperti yang pahami ketika bicara langsung dengan mereka adalah jalan suci untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu saja, bagi Fatma masyarakat harus menghormati itu. Secara perlahan, ia bicara kepada masyarakat serta menggunakan platform digital untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap rumit itu dengan bahasa sederhana dan menyasar kelompok muda.
Baginya, Pendekatan moderasi beragama menjadi strategis karena salah satu indikator moderasi beragama adalah memberikan ruang terhadap adat dan budaya, yakni: Penerimaan terhadap Tradisi
“Itu sebagai upaya untuk mengahapus stigma dan prasangka juga tantangan struktural, menjalin kerjasama dengan Kelompok Pemerhati Budaya Bone Yayasan Pawero Tama Kreatif dan disupport penuh oleh Kemenag RI melalui Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik (BPKI-PK) dalam upaya penguatan moderasi beragama kepada masyarakat dan pemerintah daerah,” katanya.
Duduk bersama Kelompok Bissu
Maka dari itu, ia bpun memulai langkah untuk melakukan audiensi dengan para pemangku kepentingan dan aparat penegak hukum seperti Pemerintah Daerah Bone, Bupati dan Sekda, Dinas Budaya, Kesbangpol, Kejaksaan Negeri, TNI, POLRI, Ormas Keagamaan, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Kelompok Pemerhati Budaya, Dewan Legislasi Daerah, Organisasi Pemuda, Komunitas Jaringan Gusdurian Bone, dan tentu saja Kelompok Adat Bissu.
“Guna duduk bersama dalam satu forum agar lebih mengenal dan saling memahami terkait adanya tantangan masyarakat adat,” paparnya.
Lantas, terjadi tabayun dan dialog serta secara objektif kelompok yang berbeda. Ruang dialog menjadi terbuka ketika pemahaman keagamaan kita moderat.
“Yang sebelumnya kelompok Bissu sangat terbatas dalam pelibatan kegiatan di daerah, saat ini kelompok adat Bissu lebih mendapat ruang dalam pelibatan dalam momentum perayaan di Daerah,” paparnya.
Fatma pun kian yakin, cinta dan kegigihan untuk terus menyediakan ruang dialog dan bertemu adalah kunci dalam memahami kompleksitas masyarakat. Ia akan terus menyediakan ruang dialog itu, tidak hanya ketemu secara lansung tapi juga menyebarkan ide dan gagasan tersebut di pelbagai platform digital.
Berkat kegigihan itulah, Fatma kini dinominasikan sebagai salah satu pemenang dalam Penyuluh Agama islam Award 2024 (PAI Award 2024). Ajang yang digagas Kementerian Agama bagi mereka-mereka yang berjuang untuk masyarakat dan mendedikasikan dirinya untuk umat.