Rasanya hingga saat ini tidak ada yang berbicara bagaimana evaluasi penerapan protokol kesehatan di tempat-tempat Ibadah, dalam hal ini masjid. Sebab, pasca Pemerintah Indonesia mewacanakan tentang “new normal” dengan mengeluarkan berbagai protokol kesehatan yang harus ditegakkan dalam setiap kegiatan masyarakat, tidak ada lagi perbincangan tentang evaluasi penegakkan protokol kesehatan di rumah-rumah ibadah dan kegiatan keagamaan.
Menariknya, sekitar dua minggu lalu, saya mengunjungi masjid yang biasa digunakan dan dikelola oleh kalangan Salafi di Banjarmasin untuk ikut menjalan shalat Jumat. Sayangnya, masjid tersebut tutup. Di depannya terpasang spanduk yang memberitahukan bahwa kegiatan jemaah shalat wajib ditiadakan, termasuk shalat Jumat, dan pengurus masjid tersebut mengharapkan jemaah untuk shalat di rumah saja.
Di sisi lain, kebanyakan masjid mulai beraktivitas seperti biasa dengan tambahan himbauan protokol kesehatan yang terpasang di depan masjid, susunan saf yang diatur berjarak hingga penempatan air cuci tangan di depan pintu masuk. Keputusan masjid kalangan Salafi tersebut tentu mengundang tanya dalam benak saya, apa alasan mereka masih meniadakan seluruh kegiatan keagamaan hingga sekarang.
Tapi, minggu lalu, saya diberitahu oleh seorang teman bahwa kiai saya tidak mau melaksanakan peringatan Haul kakak beliau yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Juni kemarin, dan juga memutuskan hal yang sama pada Haul Datuk Abdussamad yang akan diperingati bulan September nanti. Padahal, dua tokoh ulama tersebut adalah sosok yang paling dihormati di Kalimatan Selatan, karenanya Haul keduanya selalu dipadati para jemaah.
Kiai saya menyebutkan bahwa dia tidak ingin mengambil resiko melaksanakan Haul karena ditakutkan akan menjadi cluster baru penyebaran Covid-19. Ketimbang melaksanakan secara daring, beliau lebih memilih mengadakannya secara sederhana dalam lingkup keluarga yang terbatas, ditambah dengan membagikan nasi bungkus ke sekitar makam saja yang dianggap lebih aman.
Pemandangan yang cukup kontras malah terlihat di kota Banjarmasin, banyak kegiatan keagamaan yang telah kembali memulai aktivitasnya. Kendati sebelum pelaksanaan setiap kegiatan seluruh jemaah telah dihimbau agar mengikuti protokol kesehatan, namun kita perlu melihat kembali bagaimana pelaksanaannya di lapangan.
Beberapa pengajian dapat berjalan tanpa ada keraguan atau halangan dari pihak manapun. Kita boleh saja percaya bahwa seluruh kegiatan keagamaan tersebut, termasuk salat dan pengajian, telah mempersiapkan setiap protap yang berlaku.
Sebab, jika kita mau jujur bahwa sebelumnya ada keraguan mayoritas masyarakat terhadap wacana New Normal selama ini, bahkan pada keberadaan virus tersebut. Sehingga selain kesangsian kita pada penegakkan protokol kesehatan secara penuh, kita juga dihadapkan persoalan misinformasi soal virus dan minimnya pemahaman atas protokol kesehatan yang belum selesai di level masyarakat, yang menjadi tanggungjawab Pemerintah.
Namun, keraguan atas pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat yang bisa terdapat kekurangan di sana-sini tentu bukan persoalan yang biasa. Pasalnya, dalam persoalan kedisiplinan pelaksanan protokol kesehatan terdapat juga aneka kesulitan, seperti perbedaan pemahaman masyarakat tentang bagaimana protokol tersebut ditegakkan, dan sebab itulah ada beragam perbedaan antar masjid dalam pelaksanaanya. Misalnya saja, ada sebagian masjid yang memberlakukan pengukuran suhu tubuh, sedangkan yang lain tidak.
Persoalan pendedahan informasi terkait virus Covid-19 di masyarakat dan bagaimana menghindarinya sudah terjadi sejak awal masa pandemi. Sayangnya hingga sekarang, pemerintah belum menyelesaikan persoalan ini hingga sekarang. Sebagaimana kegelisahan yang dituliskan oleh Hywel Coleman, peneliti asal Inggris, di Kompas beberapa hari yang lalu (26/08).
Dia menyebutkan bahwa informasi terkait Covid-19 tidak tercerap di masyarakat dengan baik, salah satunya disebabkan oleh petunjuk dan data tidak disampaikan dengan bahasa yang sederhana atau bahasa daerah yang mudah dikonsumsi oleh masyarakat. Tentu, persoalan penyaduran bahasa ilmiah dalam informasi Covid-19 salah satu persoalan yang bisa berdampak luas, di antaranya pemahaman masyarakat atas
Sedangkan gambaran pada masa awal pandemi bisa kita temukan pada catatan Achmad Munjid, dosen di Universitas Gadjah Mada, di Tirto. Di sana dia mengumbar kegelisahannya melihat fenomena lockdown di kampungnya. Dia melihat lockdown di kampungnya, sebagaimana tindakan serupa yang serentak muncul di banyak wilayah lain di Tanah Air, adalah inisiatif lokal. Sering pijakannya adalah tafsir liar tanpa dasar, bahkan rumor.
“Tanpa panduan jelas, inisiatif lokal begini justru bisa memperkeruh keadaan yang sudah genting, bahkan berpotensi merugikan” tulis Munjid. Pasca berjalan selama dua minggu, banyak wilayah mulai membuka kembali portal atau pembatasannya tanpa alasan yang jelas. Munjid menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah dampak dari kebijakan nasional penanganan wabah yang lamban dan tidak efektif sejak awal.
Jika kita berkaca di masa awal New Normal atau Kenormalan Baru, walau sedikit berbeda banyak masyarakat yang merasa gelisah yang serupa milik Munjid pada masa awal lockdown. Jadi, walau dengan usaha terbaik dari masyarakat dalam menegakkan protokol kesehatan tanpa disertai dengan pemahaman yang baik bisa berdampak pada pengabaian atau penafsiran yang liar atas protokol tersebut.
Jika kondisi seperti ini, apakah kita seharusnya mengecek kembali apakah di masjid atau langgar kita sudah ditegakkan protokol kesehatan sebaik mungkin? Verifikasi penegakan protokol kesehatan di lapangan dimaksudkan agar semua jemaah bisa beribadah dengan nyaman dan aman.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin