8 Maret 2020, teman saya mengabari bahwa di tanggal ini ia masuk rumah sakit karena demam berdarah. Setelah segera dikabari tentang lokasi kamar rawatnya yang berada di lantai 4 di salah satu rumah sakit Islam di Yogyakarta, saya langsung segera menjenguknya. Ini adalah kunjungan kali pertama saya setelah tujuh tahun (terhitung sejak 2013) belum menginjakkan kaki lagi di rumah sakit.
Karena saking lamanya tidak mengunjungi rumah sakit, bahkan ketika masih di parkiran rumah sakit pun saya diserang rasa nggumun campur immersed saat melihat kemegahan bangunan dan taman disekitarnya. Saya langsung masuk dan memetakan lorong-lorong yang ada untuk memastikan arah yang saya ambil benar.
Setelah tujuh tahun tidak menginjakkan kaki di rumah sakit, ada euphoria tersendiri ketika berjalan di lorong-lorong rumah sakit saat melihat warna-warni ekspresi wajah yang saya lalui. Saya masih ingat betul suasana rumah sakit tujuh tahun lalu saat saya ke rumah sakit untuk merawat uwa saya yang terkena kanker dan akhirnya wafat.
Dulu, hampir setiap orang pasti menadah kepala di tangan, mengerutkan dahi dan berkeringat cemas. Atmosfer rumah sakit saat itu masih terasa dipenuhi gumpalan rasa takut, depresi, tatapan mata kosong, dan sayup-sayup doa. Tapi di tahun 2020, rumah sakit kini tidak se-mencemaskan dulu. Di samping tangan kiri yang tertusuk selang infus, di antara hidung yang tersambung alat respirator, dan di samping mesin yang bersuara tit-tit-tit, ada tangan kanan yang setia menyanggah gawai yang memutar kajian YouTube.
Pemandangan itu tidak sengaja terlihat dari lorong karena pintu kamarnya terbuka lebar. Sebelum menyuguhi pemandangan itu, rumah sakit menyambut saya dengan suara Mobile Legend dan gestur setengah melingkar rekaman story di area tunggu depan front office.
Saya terus menyusuri lorong, dan tiba-tiba diserang rasa nggumun dan immersed lagi karena ternyata rumah sakitnya berbentuk letter-O yang atasnya tertutup atap transparan. Area pinggir untuk kamar-kamar dan bagian tengah adalah sejenis ‘taman’ yang lengkap dengan gazibu, kolam ikan dan air mancur. kemegahannya kurang lebih mirip dengan Plaza Kuningan Jakarta.
Di taman itu, suasana terasa jauh lebih ceria dan hangat. Banyak orang—baik itu pasien yang keadaannya semakin membaik, ataupun sanak keluarga/kerabatnya—duduk santai menikmati kesegaran suara air mancur dan kehangatan ruang semi-terbuka. Sebagian besar yang memenuhi taman itu adalah orang-orang berusia lanjut, ada yang terlihat makin bugar, ada juga yang terlihat sadar semakin dekatnya ajal. Apapun ratapannya, kajian YouTube tetap menemani. Bedanya, mungkin pesakit yang semakin bugar mengonsumsi kajian tema bersyukur, sedangkan pesakit yang sadar ajal mengonsumsi kajian tema urgensi taubat.
Sementara itu, sebagian bagian kecil lain yang memenuhi taman itu adalah keluarga/kerabatnya yang berusia paruh baya yang multitasking menyuapi makan si pesakit sambil mengontrol anak-anak yang lari kesana-kemari. Mereka yang agak melek teknologi dan merasa terengah dengan momen itu biasanya mengabadikannya lewat swafoto ataupun story. Sedangkan mereka yang agak cuek dengan teknologi biasanya ikhlas memberikan gawainya ke anak-anak untuk mengantisipasi keonaran yang mungkin terjadi.
Ketika saya berjalan memotong taman untuk mencapai lift yang ada di sisi seberangnya, suasana taman terasa semakin nyata. Suara savage Mobile Legend, ngwak-ngwok Angry Birds, dan suara astaghfirullah saling sahut satu sama lain dari puluhan speaker gawai milik pesakit dan pesehat.
Taman itu berhasil dilewati dan saya telah tiba di ruangan tempat teman saya dirawat. Karena ia seorang mahasiswa perantau, saya mengira ia dijaga teman kampusnya. Ternyata ia dijaga oleh kakaknya yang baru saja tiba di Jogja dari Indramayu satu malam sebelumnya. Wajah teman saya terkulai lemas, pucat, dan aura sakitnya sangat terasa. Ia hanya berbaring sambil sayup-sayup berusaha melek, say hi, dan ini itu. Tidak lama setelah kami ngobrol sebentar, ia tertidur. Akhirnya saya pindah ngobrol dengan kakaknya. Di tengah obrolan, kakaknya tiba-tiba mengatakan “kalo lagi kaya gini nih” sambil menunjuk pada adiknya yang tertidur di ranjang pasien “terus ga punya kuota, uh! gabut yakin…!”
Kalimat yang diucapkan kakaknya teman saya seakan menjelaskan pemandangan-pemandangan yang telah saya lalui di lorong dan di taman rumah sakit, bahwa perjalanan menuju batas usia yang hampir sampai adalah fase kehidupan yang paling gabut. Gabut, makna terminologinya adalah: tidak melakukan apa-apa, tapi masih menerima imbalan dan tanpa rasa gelisah.
KH Husein Muhammad pernah meriwayatkan ulang kata-kata darwisy besar, Syekh Syams-i At Tabrizi: “Bukanlah kematian yang menggelisahkan jiwaku. Bagiku, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Tetapi aku gelisah manakala ajal menjemput, aku tidak meninggalkan warisan ilmu pengetahuan (Ketuhanan). Aku ingin mengalihkan pengetahuan yang telah aku peroleh itu kepada orang lain; guru maupun muridku.”
Boleh jadi, Syekh Syams-i At Tabrizi mengatakan itu dalam konstruk pikiran a la tradisi oral dan tradisi tulisan, di mana orang masih perlu mengingat dan mencari tau untuk mengurangi ketidak-pastian hidupnya. Sehingga, ketika seseorang tau, ia otomatis terbebankan oleh tanggung jawab mewariskan kemanfaatan yang ia miliki. Dulu, meskipun ajal telah tiba dan jasad telah terkubur, orang akan tetap hidup di sanubari orang lain dalam bentuk sumbangan peradaban yang ia tinggalkan.
Sementara itu, dalam tradisi digital, tiap orang punya kepastian hidup yang mumpuni karena hidupnya disokong oleh ‘alat’ penyedia jasa layanan berpikir sekaligus penyedia layanan ingatan. Kegiatan mencari tau untuk memastikan hidup bukan menjadi hal yang populer bagi tradisi digital. Jika tidak ada hal yang bisa dilakukan, maka ‘menghibur diri sampai ajal menjemput’ adalah alternatif yang paling mungkin ditempuh.
Dalam tradisi oral dan tradisi tulisan, orang meninggal dikenang sebagai ‘atlet’ penyambung tongkat estafet peradaban. Dalam tradisi digital, orang meninggal dikenang sebagai cache aplikasi dan statistik Big Data. Semoga kita semua senantiasa dijauhkan dari perjalanan menuju batas usia yang gabut oleh-Nya.
Ingatlah bahwa Raja Joffrey Baratheon dalam serial Game of Throne pernah dinasehati oleh pamannya, Tyrion Lannister: “mati itu terlalu membosankan bagi kehidupan yang penuh kesenangan.”