Dalam sejarah Islam, jika ingin hidup enak dan berkecukupan, seorang dokter lumrah mendekat ke penguasa ‘istana’ agar dijadikan dokter khusus dan diistimewakan. Hal ini karena kedekatan dokter dan penguasa di istana lebih penting dari pada seorang qadhi.
Profesi dokter kerap dipandang sebagai salah satu profesi yang punya prestise dan wibawa. Pengakuan keilmuan dan kecakapan para dokter itu tidak hanya di kalangan masyarakat umum saja, namun juga bagi pemerintah atau penguasa.
Kalangan dokter punya sejarah tersendiri soal kedekatan mereka dengan penguasa. Dari masa ke masa, selalu ada dokter istana atau pemerintahan yang punya akses dan dekat dengan para sultan atau raja. Syahdan, selain banyak bekerja di rumah sakit guna menjumpai masyarakat, para dokter – terutama dari yang terbaik – menjadi dokter pribadi para penguasa ini. Tulisan berikut akan bicara dari sudut pandang kerajaan Islam era klasik, merujuk biografi para dokter ‘Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’ karya Ibnu Abi Usaibiah – yang kontennya ditelaah oleh Franak Hillloowala dari University of Arizona.
Kasta para dokter di masa Islam klasik itu bisa dibilang lebih dari rakyat kebanyakan. Terpelajar, pandai, dan kerap berkecukupan harta. Kelas sosial dan otoritas dalam keilmuan pengobatan itu juga terbangun karena dekatnya mereka dengan lingkar kekuasaan.
Jika kita menyorot sejarah Islam klasik – khususnya era kerajaan-kerajaan besar berkuasa, para dokter ahli punya keistimewaan sendiri bagi penguasa. Salah satu pernyataan Khalifah Al-Mu’tashim dari Dinasti Abbasiyah misalnya, menganggap para dokter ini lebih penting baginya dibanding para hakim atau qadli, dengan alasan para dokter ini memerhatikan kesehatan dan kehidupan, sedangkan para qadli hanya membuat keputusan soal hukum saja.
Kebanyakan kedekatan itu dibangun karena dokter ini menjadi dokter pribadi pejabat istana. Penguasa kerap memilih dokter yang dipandang paling ahli di suatu daerah, dan ia dipanggil ke pusat pemerintahan. Para dokter istana ini mendampingi raja dalam beragam forum dan kunjungan, dan sosoknya bisa jadi kian populer juga bagi masyarakat umum. Lewat kedekatan itulah status sosialnya meningkat.
Relasi penguasa dengan para dokter ini juga erat dengan perhatian para raja pada ilmu pengetahuan. Kita sering dengar bahwa sebagian penguasa Dinasti Abbasiyah menaruh minat besar pada ilmu, sehingga banyak generasi dokter diorbitkan di era ini. Tradisi kedokteran serta pengobatan yang diperhatikan penguasa dan dominan berasal dari tradisi Helenistik bangsa Yunani.
Tapi ada kisah juga tentang Khalifah Al Hakim dari Dinasti Fatimiyah, yang kerap berdiskusi dengan Ibnu Haitsam terkait beragam bidang ilmu. Banyak di antara ilmuwan Islam klasik adalah polymath – memiliki kemahiran dan wawasan tidak hanya pada satu ilmu tertentu. Para dokter kala itu terdidik dalam filsafat, pengetahuan sastra, syariah, dan lain sebagainya. Ibnu Haitsam sendiri biasa disorot sebagai ahli oftalmologi (penyakit mata) di masanya. Mengingat bahwa sultan atau raja itu biasa perlu diajeni dengan ditemui dalam istana, ternyata Al Hakim ini menyambut sendiri Ibnu Haitsam di gerbang kota, penanda bahwa ia memuliakan sosok cendekiawan tersebut.
Dikisahkan oleh Ibnu Abi Usaibiah bahwa para dokter biasa berjalan dengan posisi berdampingan dengan raja – tidak di belakang mengiringi sang raja. Suatu perilaku simbol setara dan kehormatan, yang konon saat itu bahkan belum tentu didapatkan oleh keluarga istana. Beberapa sultan juga sampai menaruh respek kepada dokternya, sehingga saat ada masalah atau sakit dokter itu disambangi pemerintah dan mendapat sokongan terbaik.
Kedekatan ini mungkin istimewa, namun di kalangan para dokter sendiri tentu ada kecemburuan, saling iri, atau saling curiga satu sama lain. Satu kisah ditunjukkan oleh Ibnu Abi Usaibiah terkait seorang dokter bernama Muhahab bin An Naqasy dari Damaskus datang ke Kairo untuk “mengadu nasib”, siapa tahu bisa hidup lebih baik dengan dekat penguasa. Namun tiba di sana, ia berjumpa dengan seorang dokter senior yang bekerja di istana. Muhahab diminta untuk bekerja sebagai asisten atau bawahannya saja, namun dijanjikan kecukupan ekonomi. Dokter senior itu tampak memertahankan jabatan pentingnya di lingkar kekuasaan.
Seorang dokter juga diajak para pemimpin perang, yang membuat mereka bisa lebih dekat di masa kemudian ketika sang penakluk telah berkuasa. Dokter bernama Abu Sulaiman Dawud bin Abi al-Muna bin Abi Fanah, mendampingi Salahuddin Al Ayyubi dalam penaklukan Jerussalem. Pasca penaklukan itu, Salahuddin menjadikannya dokter istana. Ia dan keluarga besarnya pun diistimewakan oleh keluarga Salahuddin Al Ayyubi hingga masa runtuhnya Dinasti Ayyubiyah.
Beberapa artikel terkait hubungan dokter dan para raja telah diulas oleh penulis seperti kisah Bani Bakhtisyu’, juga nama dokter populer seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Terkait Ibnu Rusyd, ia juga punya persoalan tentang tuduhan pencemaran nama baik penguasa yang menyebabkan ia dihukum dan diasingkan. Demikianlah kurang lebih kedekatan para dokter dengan penguasa ini bak pisau bermata dua: para khalifah dan sultan mengistimewakan dokter, namun selisih kepentingan bisa berkonsekuensi berat bagi mereka.
Dalam sejarah tradisi kekuasaan Islam, lumrah dipahami bahwa otoritas raja atau khalifah bagaikan “otoritas Tuhan”. Kalangan yang dekat dengan orang yang punya otoritas luhur, tentu meningkatkan derajat mereka. Demikianlah bagaimana kedekatan dengan penguasa, baik menjadi pejabat atau menjadi dokter pribadi, memicu eskalasi status sosial dokter, sehingga mereka diakui kecakapan dan keilmuannya, serta mampu berperan banyak di peradaban Islam masa lalu. (AN)
Wallahu a’lam.