Kecebong vs Sumbu Pendek. Ke mana Arah Perjuangan?  

Kecebong vs Sumbu Pendek. Ke mana Arah Perjuangan?  

Kita kerap mendengar dua kata ini dan digunakan untuk saling menindas yang lain. Jangan-jangan, keduanya tidak memperjuangkan apa-apa?

Kecebong vs Sumbu Pendek. Ke mana Arah Perjuangan?   
Jangan-jangan keduanya tidak memperjuangkan apa-apa dan sama belaka? Ilustrasi by Toto Prastowo

 

Oposisi biner adalah salah satu teori terkenal dalam filsafat, Claude Levi-Strauss pencetusnya. Oposisi biner (binary opposition) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang berusaha membagi dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Contohnya hubungan antara orang baik dan penjahat. Tidak akan ada orang baik tanpa ada orang yang jahat. Bagi Claude Levi-Strauss, inilah realitas kehidupan yang sebenarnya; selalu dihadapkan dua hal berbeda dan kontradiktif.

Dalam kehidupan manusia ini di hampir seluruh aspek dipandang dalam oposisi biner. Teori ini dipertajam oleh Antonio Gramsci dengan hegemoni. Gramsci menegaskan hegemoni adalah kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma dan kebudayaan sekelompok masyarakat. Nilai  yang akhirnya berubah menjadi doktrin,  di mana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Sedangkan kelompok yang didominasi tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

Indonesia merupakan negeri kepulauan penuh dengan berbagai perbedaan dari suku, ras, warna kulit, hingga agama. Perbedaan yang begitu banyak variannya ini seharusnya makin membawa ke arah saling mengenal dan membawa keberkahan, namun potensi akan dibawa ke arah yang kurang baik terlebih jika ada pihak yang merasa merekalah yang paling baik atau berjasa bagi bangsa ini.

Hegemoni suatu kelompok kepada kelompok yang lain inilah yang akan membawa penindasan. Di sinilah sangat berbahaya jika kita masih memakai dan berpikir dengan peninggalan kolonial. Pasca pidato perdana Anies Baswedan yang bikin riuh seluruh media bahkan sampai ke perbincangan warung kopi, perbincangan kata “pribumi” pun masih berlanjut. Masing-masing pihak mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar.

Banyak pengamat politik mengklaim segregasi yang tajam di pilpres 2014 kemarin masih menyisakan banyak masalah . Indonesia seakan-akan mau terbelah dua pihak dengan masing-masing jagoan di pilpres tersebut. Nah, dari sinilah banyak pihak menegaskan bahwa sumber permasalahan dari berbagai persoalan seperti stigma komunis, antek asing dan aseng hingga klaim penindas salah satu agama.

Kedua pihak berlomba menyuarakan wacana merekalah yang bisa menguasai dukungan massa. Ketika wacana sudah mendapatkan dukungan massa maka semakin mudah mereka menguasai kelompok-kelompok minoritas apalagi mereka yang selama ini benar-benar tertindas.

Suara-suara mereka yang terbungkam makin hilang ditelan begitu lantangnya wacana-wacana yang hanya menyuarakan mereka yang berkuasa atau mau berkuasa di tanah negeri ini. Orang-orang miskin kota, penyintas kekerasan verbal ataupun non verbal, petani-petani yang kehilangan tanah garapan, penganut agama-agama lokal, perempuan korban kekerasan seksual tidak lagi menjadi pangkal perjuangan mereka yang katanya memperjuangkan suara rakyat, malah terjebak pada dua kutub pilihan presiden.

Hegemoni pada mereka yang dianggap berbeda pada mayoritas juga semakin gencar, mereka tidak lagi bisa memperjuangkan kesetaraan sebab suaranya semakin dibungkam dengan berbagai stigma dan penyeragaman yang membabi buta. Label sesat pada penganut Syiah, maka akan membawa dampak yang merusak dari tidak mendapat akses kesehatan dan pendidikan bahkan ada yang sampai terusir dari kampung halaman mereka.

Perlawanan komunitas adat Sedulur Sikep atau yang lebih dikenal dengan petani Kendeng terhadap pendirian pabrik semen seharusnya membuka mata kita semua. Perlawanan itu antara penindas dan yang tertindas, bukan di dasarkan golongan, suku, ras, etnis apalagi agama. Perjuangan mereka hanyalah untuk mempertahankan yang selama ini memberi segalanya bagi kehidupan mereka selama di dunia ini.

Dalam setiap aksinya pun para petani Kendeng selalu melantunkan tembang Ibu Bumi. “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili,” yang artinya “Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili.Dalam nyayian inilah mereka seakan-akan mengajarkan kepada kita memperjuangkan hak sipil mereka seharusnya tulus tanpa ada embel-embel saling menguasai juga saling menghegemoni.

Mereka yang masih terjebak untuk berlaku saling menghegemoni dan menghancurkan maka saran saya berhentilah. Di sekeliling kita semakin banyak mereka yang masuk pada kategori mustadhafin (golongan yang dilemahkan), yang seharusnya menjadi fokus perjuangan kita semua.

Jauhilah saling ejek dengan istilah kecebong vs sumbu pendek, pribumi vs non-pribumu, karena semua itu malah menjebak kita pada perilaku rasis dan tidak lagi fokus memperjuangkan mereka yang layak diperjuangkan. Penindas bisa dari siapa saja, golongan mana saja, agama apa saja, dan bahkan etnis mana saja. Jika mereka sudah mulai menanamkan dominasi pada orang lain dan menindas maka kita harus melawannya. []

fatahallahu ‘alaihi futuh al-‘Arifin