Keblingeran Fundamentalis

Keblingeran Fundamentalis

Masyarakat Bali mengenal Perang Puputan, dan fundamentalis mengumpulkan massa menjadi “bom massa” dengan dicekoki kefanatikan bernama jihad.

Keblingeran Fundamentalis

PRA REFORMASI

Selama enam dekade, negara ini mencoba pemaduan antara sikap agama dengan sikap seseorang. Selama itu pula negara ini mengalami kejengkelan; nampaknya orang-orang yang capek dengan kegilaan modernitas lantas membuangnya jauh-jauh sembari membenari diri secara total dalam kehidupan beragama yang dihayati sedemikian keblinger. Orang-orang ini lantas disebut kelompok fundamentalis.

Karena merasa yakin dengan keblingerannya, sudah barang tentu kelompok ini merasa benar dengan realisasi amar ma’ruf nahi munkar yang mereka terjemahkan secara bebas; menembaki jamaah yang sedang shalat di masjid, membunuh dokter sekaligus perawat klinik aborsi, bahkan membunuh presiden dan menggulingkan pemerintahan.

Abdel Naser, pada tahun 1960-an, kaget sekali dengan kelompok-kelompok muda yang mencoba merebut kekuasannya di Mesir dan ingin mengembalikan Pemerintahan Islam di negeri Firaun itu. Darul Arqam di Malaysia sampai membanting semua radio dan televisi karena berisi ‘siaran setan’ dan bertentangan dengan ajaran Islam. Gus Dur (1999) menyebut kelompok-kelompok ini sebagai ‘sempalan Islam’, menunjuk pada sebuah fenomena yang dalam bahasa Inggris disebut splinter groups.

Kelompok fundamentalis adalah minoritas. Sebagian memang ada yang ‘cinta damai’ dan patuh pada peraturan pemerintahan. Namun, terkadang sikap mereka sangat membingungkan; mereka tidak terlalu mau dipusingkan dengan rumusan demokrasi, gagasan pluralisme, gairah toleransi, apalagi kebebasan berpendapat dan berbicara.

Intinya, mereka memiliki kewajiban meluruskan ajaran agama yang bengkok, (sayangnya) berdasar pemahamannya sendiri saja, karena ia adalah pemahaman paling murni dan representasi dari ajaran agama islam yang benar dan sah, tanpa kompromi.

“Jika sejarah adalah cermin, maka cukup sah bagi orang yang bersikap skeptis terhadap masa depan fundamentalis radikal.” Demikian hipotesa Azumardi Azra (2004), karena mengaca dari sejarah bahwa tidak pernah ada keberhasilan dari kelompok fundamentalis seperti di atas.

PASCA REFORMASI

Jika tumbangnya Regim Orde Baru (1998) dianggap dianggap sebagai awal reformasi, maka akan menjadi baik jika kita jadikan entry point dalam membahas fenomena fundamentalisme agama di Indonesia, dikarenakan pada orde tersebut nyaris tidak ditemukan konflik berbau SARA, karena kepentingannya membikin keamanan negara dengan tangan dingin militernya. Setelah kran reformasi dibuka, kehidupan keagamaan di Indonesia mengalami banyak perubahan, demikian pula dalam kelompok fundamentalis. Ian Adams (2004) menemukan berbagai macam lingkungan di Indonesia menampilkan berbagai bentuk dan ragam fundamentalisme. Suatu keadaan yang sangat mengagetkan, karena mereka mampu bertahan sampai sekarang.

Kuntowijoyo (2001) boleh membuat tesis yang berkesimpulan bahwa periode ideologi sudah tertanam di liang lahat sekitar tahun 1980-an, dan masa selanjutnya memasuki garis tren yang dia sebut dengan periode ilmu. Namun mengaca pada realita yang ada, ternyata tesis Kuntowijoyo tidak sepenuhnya benar; pasalnya kaum fundamentalis ini lebih sering mengusung tema-tema ideologi daripada pencerminan periode ilmu. Kelompok fundamentalis lebih tertarik mengusung Islam sebagai ideologi alternatif ketimbang mengkajinya sebagai ajaran yang bersifat kultural dan inklusif.

Azumardi Azra boleh berhipotesa masa depan fundamentaslis tak akan pernah baik. Setidaknya ini benar: terorisme generasi pertama di Indonesia membutuhkan zat kimia, pelakunya sempalan fundamentalis radikal, sudah ditangkap dan diantaranya divonis mati; terorisme generasi kedua mengalami kegagalan, modus pelatihan yang dilakukan di tengah hutan Aceh dengan mudah dilumpuhkan. Perhitungan mereka meleset, ternyata Aceh sudah jenuh dengan konflik dan menginginkan perdamaian, sampai pelaku perampokan bersenjata di bank-bank sebagai sumber dana terorisme ini pun sudah ditangkap.

Penulis meyakini yang dimaksud Azra hanya fundamentalis yang ekstrem dan radikal, dalam artian fundamentalis yang melakukan aksinya dengan kekerasan fisik, karena tidak hanya membuat orang-orang semakin skeptis, bahkan apatis. Namun bukan berarti fundamentalis lain tidak memiliki masa depan, karena merujuk pada penelitian Adams bahwa artikulasi gerakan ini sangat beragam. Maka, gagasan Azra tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.

Jika dulu terorisme menggunakan peledak, kemungkinan terorisme generasi ketiga menggunakan massa dalam jumlah besar yang sudah dicuci otaknya dengan mantra-mantra kefanatikan pada ragam ajaran fundamentalis tertentu yang sudah disesuaikan formula perang. Kenapa harus massa? Karena mendapatkan bahan kimia dalam jumlah besar untuk dibuat bom sudah pasti kesulitan, dan mencari aliran dana yang luar biasa besar sudah pasti bukan perkara gampang, karenanya gelombang ketiga harus mengolah massa menjadi ‘bom’, bukan bom dalam arti fisik, namun merujuk pada artinya yang ‘dapat meledak’ dan berdampak besar, Asvi Warman Adam (2012) menyebutnya dengan ‘bom massa’.

Kita lihat sebentar pada penyelenggaraan Miss World di Bali; jika masyarakat Bali mengenal ‘Perang Puputan’, maka kelompok fundamentalis kemungkinan sedang mengumpulkan massa menjadi ‘bom’ dengan mencekoki mereka dengan kefanatikan ajaran paling fundamentalis bernama jihad. Bisakah Anda membayangkan, bagaimana jika ‘bom massa’ ini diledakkan di Perang Puputan?