Idul Fitri baru saja berlalu. Momentum pasca lebaran ini menjadi pengingat bahwa kita telah menang dari nafsu angkara. Selama sebulan lamanya kita menempa diri untuk membakar dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan melaksanakan puasa, shalat malam dan amalan ibadah lainnya. Selain itu, pribadi-pribadi muslim telah berhasil melebur untuk ditempa menjadi manusia yang sempurna dan bertakwa. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar menang pasca hari raya ini?
Maka setidaknya kemenangan itu dapat dilihat dari sejauh mana kita mampu melawan kebencian dan permusuhan primordial yang merupakan produk nafsu manusia yang meledak-ledak sehingga melahirkan luka batin bangsa kita. Keberhasilan kita menempa diri selama ramadhan juga dapat dilihat sejauh mana kita membangun kesadaran toleransi antar umat beragama bahwa sejatinya kita semua adalah ciptaan Tuhan yang satu.
Semua itu karena Pasca Idul Fitri merupakan momentum yang penuh dengan gairah membangun semuanya dari nol, yaitu saling memaafkan dan mengampuni atas segala salah dan khilaf selama berbulan-bulan, dan bertahun-tahun yang berlalu. Barometer keberhasilan kita melewati ramadhan tentu harus kita buktikan dengan memproduksi kekuatan untuk mempersatukan, dan bukan malah memecah belah.
Dalam kitabnya, Muqadimah Qanun Asasi NU, KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa umat yang bersatu bagaikan satu tubuh. Individu-individu umat bagaikan bagian-bagian anggota tubuh yang lain. Masing-masing anggota memiliki peran yang berbeda namun saling membutuhkan. Islam pun tak pernah mengingkari perbedaan.
Sepanjang sejarahnya, Islam sarat dengan warna-warni perbedaan dengan semua pergumulan dan implikasinya. Islam mengajarkan agar semua perbedaan yang ada disikapi secara damai, bukan konflik.
Spirit bina damai yang disuarakan KH. Hasyim Asy’ari tersebut hendaknya menjadi dasar perjuangan kita pasca menempa diri di bulan ramadhan. Semua itu meniscayakan agar seluruh warga negara Indonesia menjalin kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Karena perbedaan adalah keniscayaan sedangkan menjaga keharmonisan adalah kewajiban dan syarat bagi kemajuan suatu bangsa.
Pasca idul fitri ini juga momentum untuk mencetak manusia baru, yang kembali kepada fitrahnya, dengan menebar rahmat, keindahan serta kebahagiaan sesuai dengan nilai-nilai luhur ajaran agama. Tidak boleh ada lagi sikap saling menghujat, meskipun berbeda pandangan politik dan agama. Semua umat beragama harus berpikir dewasa dalam mengambil setiap langkah.
Meskipun negeri ini kerap mendapat ujian berupa konflik atas nama Suku, Agama, Ras, dan Antar Golognan (SARA), namun kita mesti banggsa dengan kuatnya tradisi toleransi antar umat beragama di Idndonesia. Hal ini tercermin secara eksplisit dalam hampir setiap umat beragama merayakan hari besarnya, yaitu tidak hanya saling memberi ucapan salam hangat dan simpati, tetapi juga secara tindakan membantu penyelenggaraan ritual ibadah masing-masing.
Misalnya, pengunduran jadwal ibadah umat Kristiani di tempat yang berdekatan dengan umat Islam merayakan idul fitri, sementara itu ribuan kalangan muda Nahdlatul Ulama (NU) selalu membantu pengamanan gereja setiap umat Nasrani merayakan Natal dan Paskah. Modal spiritual-toleransi tersebut harus dirawat terus menerus. Ini dimaksudkan untuk merajut jati diri bangsa yang majemuk, Bhineka Tunggal Ika yang selalu menghadapi tantangan universal berupa tekana kelompok yang ingin merongrong keutuhan dan keberagamaan masyarakat Indonesia.
Tentu saja, kita mesti meningkatakan kesadaran kolektif dalam membangun cara keberagamaan kita pasca hari raya Idul Fitri ini. Karena kemenangan sejati Idul Fitri adalah ketika kita mampu menerima perbedaan dan tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk tidak berbuat baik, adil dan perhatian terhadap nasib sesama, baik perbedaan agama maupun lainnya. Semua itu karena perbedaan merupakan realitas kehidupan, ia akan tetap ada selama kehidupan ini masih berlangsung, di manapun dan kapanpun. []
Yahya Baidlowi, Alumni Pelatihan Counter Narratative The Wahid Institut)