Barangkali menjadi suatu yang langka dan aneh jika seorang dengan agama katolik berprofesi sebagai kuli di toko hijab. Lebih mengagetkan kadang, jika seorang non muslim menggunakan kalimat-kalimat dengan bahasa arab, misal. Semacam Alhamdulillah, Subhanallah, Assalamualaikum, dll.
Tindakan tersebut kadang mengundang sensitifitas spontan dengan kesimpulan negatif yang asumtif. Implikasinya tidak selesai pada mindset dan sudut pandang saja, tapi berakibat pada prilaku dalam situasi-kondisi sosial.
Mengapa itu terjadi? Sebab, agama yang seharusnya termaknai seluas mungkin, seringkali dangkal tafsir. Agama terpotret dari satu sisi dan kaku. Agama hanya dijadikan simbol-simbol, status sosial, pembanding keselamatan dan ketidakselamatan, penghakim salah-benar, bahkan penentu surga neraka.
Akibatnya, si pemeluk gampang sensitif dan marah.
Era berjalan sedemikian rupa, agama pun terus berjalan sebagaimana mestinya. Marah dan sensitif masih saja berkeliaran tak terpisahkan dari realitas.
Sulaman kebersatuan dalam rasa kemanusiaan terus diuji dengan persoalan diskriminasi dan kekerasan yang bermula dari hate speech, perang dingin berebut menang, dan lain-lain. Lagi-lagi hal tersebut berakibat pada krisisnya rasa kemanusiaan dan minimnya kontrol personal. Implikasi dasarnya manusia cepat sekali marah dan terus-terusan saling menyakiti. Kontrol tak lagi ampuh, sebab mental kepribadian perlahan kering keronta dan hilang.
Agama yang semestinya menjadi pemantap berkemanusiaan secara utuh, sering kali dijadikan sebagai kompetisi untuk saling mempromosikan kepentingan masing-masing. Kompetisi gagasan sudah tak begitu laku dan dianggap kurang efektif. Kepentingan membuat serba kontradiktif.
Nafsu kebinatangan menyerabuti akar-akar kemanusiaan.
Belum lagi era dimana realitas serba digital, memaksa setiap aktifitas seolah olah dapat terselesaikan melalui kaca android. Minim sekali perjumpaan dan tiap ekspresi tak tertangkap penuh. Perjumpaan serba datar. Semua serba terbatas, tak dialogis, dan kekeringan rasa emosional.
Secara historis, sejatinya kemarahan dan sensitifitas atas dasar faktor agama bukan hal yang baru, Sepanjang perjalanan dakwahnya, Muhammad pun mengalami dan merasakan kekerasan atas dasar agama. Namun, apakah Muhammad pernah melawan, mencaci, atau bahkan memerangi? Tidak. Sama sekali tidak.
Justru Muhammad membalas dengan kebaikan, bukan? Jelas, Muhammad telah menampakkan potret agama (islam) sebagai agama yang santun, luwes dan tak mudah reaktif kepada apapaun dan siapapun.
Lebih gawat lagi, masuknya doktrin sejarah peperangan dengan tangkapan menang-kalah yang terekam di otak terus-menerus dalam keadaan tak sadar. Pikiran terperangkap oleh mayoritas-minoritas, penindas-tertindas dan semacamnya. Lagi-lagi benih sensitifitas terus dibarkan tumbuh berkembang.
Pertanyaan menarik, mengapa tidak sejarah komedi saja yang coba diupayakan? Padahal komedi menawarkan pencerahan. Dan komedilah penawar satu-satunya sensitifitas itu. Sehingga komedi bagi Kiai Sutara adalah simbol kebesaran bangsa.
“Bangsa yang besar ialah yang bisa menghargai jasa para pelawaknya,” ujar Kiai Sutara dalam sebuh kesempatan.
Sigmund Freud melihat komedi dalam “Jokes and Their Relation on the Unconcious” mirip mimpi. Komedi membuka peluang sangat luas munculnya ide-ide terlarang sebagaimana mimpi. Seperti juga mimpi, komedi dapat membebaskan daya dan ketegangan melakukan rileksasi diri. Pun wajah tersamar dari sebentuk strategi perlawanan, resistensi pada realitas yang tak terbantah, dan pembangkangan terhadap hegemoni agama dan kekuasaan. Tapi, komedi pun kesadaran untuk mengoreksi ketidak-konsistenan dan ketaklaziman dalam logika.
“Asyiknya komedi mampu menerima kenyataan dan menertawakannya,” tutur Romo In Nugroho.
Komedi selalu memposisikan diri diluar realitas, menyajikan kontradiksi diluar sadar. Dan nyatanya ruang-ruang itulah yang semestinya menjadi satu-satunya penyurut sensitifitas dan ketegangan. Maka komedi menyelinap diluar kekakuan dan menghadirkan mata realitas yang lebih luas.
Saya jadi teringat perkataan penulis muda, Kalis Mardiasih. Katanya, sayangnya kita tak punya hati selapang dan setenang Gus Dur. Komedian dan pemaaf sudah mulai langka. Langit yang seharusnya tinggi ditindih oleh angit-langit perseorangan yang rendah. Maka ralitas pun sempit.
Kita sadari, kini era hadir tak sama dengan yang telah dilalui. Pun masa depan tak mampu diterka. Namun, apa salahnya jika terus berupaya belajar, mengkaji, menggali, kemudian menamakan nilai agama secara universal, lalu berkomedi lah!.
Perbedaan itu nyata, ada, dan kodrat. Kedangkalan soal adanya perbedaan harus segara disudahi.
Hiduplah lebih imajinatif. Adalah salah cara beragama jika tak sempat berkomedi. Sebab keluasan dan ketinggian perlu diimajinasikan. Ayat tak sekedar sebagai penyimpul benar dan salah. Pun tidak untuk alat menyalah-nyalahkan. Hakikat ayat mengajak tafakkur berkemanusiaan bukan pengkakim kebenaran, membuka pikiran seluas-luasnya, bukan sekedar sebagai dogma.
Jadilah setinggi dan seluas mungkin, biar siapapun bisa masuk, dan apapun bisa diterima. Sebab, “Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin sering pula ketawanya” Gus Dur.
Gitu aja kok repot sih…!