Oleh: Pdt. Darwin Darmawan
Seorang teman mengirimkan film singkat tentang beberapa gereja yang meniadakan misa atau kebaktian demi memberi ruang bagi Saudara/i Muslim yang akan Salat Idul Fitri esok hari. Saya terharu. Dulu, ketika saya tinggal di Tanjung Priok, toleransi seperti itu adalah hal yang dapat dilihat dengan mudah. Ketika Idul Fitri tiba, saya bersemangat dan gembira. Apa yang menjadi kegembiraan Saudara/i Muslim, menjadi kegembiraan saya juga. Saya menunggu kawan2 salat, lalu bersama mereka mengunjungi tetangga, bermaaf-maafan, sekaligus mendapat rejeki lebaran: makanan enak dan uang kertas baru.
Toleransi seperti itu menjadi barang asing 10-15 tahun belakangan. Perbedaan agama, sesuatu yang sudah given atau terberi dari ‘sana’nya, menjadi penghalang untuk tetap dekat dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa. Larangan mengucapkan selamat Natal, adalah satu contohnya. Larangan tersebut membuat sebagian umat Kristen bingung karena teman-teman, saudara-saudara, tetangganya yang Muslim berubah sikap. Kalau dulu mau khusus bersilaturahmi ke rumahnya untuk mengucapkan selamat Natal, 10 hingga 15 tahun belakangan hal tersebut tidak lagi dilakukan. Beberapa ada yang hanya mengucapkan: ” Selamat ya…..”, tanpa mengatakan Natal-nya.
Maka, ada reaksi negatif juga yang muncul di sebagian umat Kristen. Di antara mereka ada yang berpikir begini, “Kalau kita tidak mendapat ucapan selamat Natal, kita juga bisa tidak mengucapkan selamat Idul Fitri”. Beberapa yang lain lagi di antaranya, tetap mau mengucapkan selamat Idul Fitri. Namun ragu, sebab kuatir ucapan yang diberikan tidak akan diterima. Akibatnya, relasi antar anak bangsa menjadi kurang harmonis, karena sebagian umat Kristen memberi reaksi balasan yang negatif.
Saya sering merasa sedih karena agama yang harusnya mendorong orang untuk saling menyintai, malah menjadi tembok yang menghalangi u berelasi. Saya merindukan masa puluhan tahun silam ketika masih anak-anak: kebahagiaan Lebaran dan toleransi yang menyenangkan. Ya, saya ingin kembali berbahagia bersama tetangga, kawan-kawan saat Idul Fitri serta merasakan kebahagiaan bersama mereka ketika merayakan Natal.
Kerinduan itu terjawab pagi ini. Ternyata, tidak hanya ada beberapa gereja yang meniadakan atau menggeser jadwal misa atau kebaktian, tetapi beberapa gereja yang berada di jalur mudik, menjadikan gerejanya sebagai pos untuk pemudik beristirahat, mendapat makanan ringan dan minuman hangat. Di antaranya, bahkan ada yang menyediakan hiburan musik campur sari. Menyaksikan foto2 yang dikirimkan, tanpa terasa saya menitikkan air mata bahagia.
Bahagia, sebab ada orang-orang yang walau pun berbeda agama, mau ikut berbahagia merayakan kebahagiaan saudara-saudaranya yang berhari raya. Ini wajah Indonesia sesungguhnya. Ini budaya Indonesia yang sesungguhnya. Ternyata, budaya tsb masih ada. Saya pun semakin bersemangat untuk ikut berbahagia menyambut hari raya Idul Fitri esok hari bersama saudara/i yang merayakannya.
Kawan-kawan, Bapak/Ibu, Saudara-saudaraku, selamat menyambut Idul Fitri. Dari hati yang tulus dan hangat, tangan saya terulur dan meminta maaf jika sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang beragama Kristiani, saya berbuat salah kepada Kawan2, Bapak/ Ibu, Saudara2ku semua.
Selamat menyambut hari kemenangan, kiranya kita mampu kembali kepada fitra kita sebagai mahlukNya, yang mencerminkan kebesaran, kasih dan sifat-sifat-Nya yang Mahaluhur dan Mahamulia..
*) Alumnus CRCS UGM Yogyakarta