Salah seorang non muslim datang menemui Rasulullah Saw. Ia tertarik untuk masuk Islam. Namun ia belum mampu meninggalkan seluruh kebiasaan buruknya. Ia berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin sekali beriman kepadamu. Namun aku masih suka minum khamr, berzina, mencuri, dan berbohong. Berdasarkan informasi dari sejumlah orang, engkau mengharamkan seluruh perbuatan buruk itu. Tidak ada kemampuan bagiku jika harus meninggalkannya semua. Bila engkau bersedia menerimaku dengan meninggalkan salah satu dari beberapa perbuatan tersebut, maka aku bersedia beriman kepadamu”.
Rasulullah tidak memaksanya meninggalkan seluruh perbuatan terlarang di atas.
Rasulullah hanya menyuruh laki-laki tersebut untuk tidak berkata bohong. “Tinggalkanlah perbuatan bohong!”, demikian sabda Rasul kepadanya. Karena permintaanya dikabulkan, non muslim tersebut bersedia memeluk Islam.
Setelah sekian masa berpisah dari Rasulullah, la ditawari khamr oleh sahabat-sahabatnya, namun ia menolaknya. Dalam hatinya terbersit kata-kata, “Andai aku meminumnya lalu ditanya Rasulullah dan aku katakan kepada beliau bahwa aku tidak meminumnya, maka sungguh aku telah melanggar janji untuk tidak berbohong. Bila aku berkata jujur, maka aku sangat keberatan dengan hukuman cambuk”.
Demikian pula saat ditawari berzina dan mencuri oleh rekan-rekannya, ia selalu menolaknya karena dalam hatinya selalu terbersit kata-kata di atas
Ia kembali menemui Rasulullah Saw menyampaikan kekagumannya kepada beliau atas kearifan dakwah beliau. Semula Ia hanya dilarang berkata bohong, namun seiring berjalannya waktu dengan sendirinya ia dapat menghindari seluruh perbuatan maksiat yang menjadi kebiasaan buruknya. Di hadapan Nabi ia menyampaikan “Sungguh luar biasa caramu mendakwahiku ya Rasul. Ketika engkau hanya melarangku untuk berkata bohong maka seluruh pintu-pintu kemaksiatan menjadi tertutup untuk ku.”.
Demikianklah kearifan dakwah Rasulullah Saw. Menyejukan, mencerahkan, tidak kolot memberatkan kepada umatnya. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”.(QS.al-Taubat :128)
Dalam pandangan para ulama’, dakwah hendaknya dilakukan dengan metode yang paling efektif, yakni menggunakan cara-cara yang ramah dan dilakukan secara bertahap. Bila sasaran dakwah belum dapat menjalankan seluruh kewajiban-kewajiban syariat, mula-mula hendaknya diajak melakukan kewajiban yang paling penting sebelum kewajiban lainnya. Begitu pula apabila belum dapat meninggalkan keharaman secara keseluruhan, maka dinasehati untuk meninggalkan sebagiannya, baru beralih menuju yang lainnya, demikian seterusnya secara bertahap.
Sumber bacaan : Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz.16, hal.176 dan Habib Zain bin Smith, al-Manhaj as-Shawi, hal.315
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri