Suatu ketika kampung Lik Jaswadi kedatangan penduduk baru. Sepasang suami-istri itu tinggal di kontrakan milik Pak RW yang berada di barat jembatan desa. Pada hari kedua setelah kepindahan, si suami berkeliling dari rumah ke rumah dengan memperkenalkan diri sebagai Pak Abdullah. Pak Abdullah memakai jubah panjang berwarna putih lengkap dengan peci putih di kepala. Ketika sampai di rumah ketua takmir masjid kampung kami, Pak Abdullah tiba-tiba menunjukkan kebolehannya dalam berceramah meskipun tidak ada yang meminta. Di akhir obrolan, ia minta jatah jadi imam di masjid.
Pak Abdullah mengaku keturunan Rasulullah. Ia seorang habib. Keluarganya adalah keturunan pengusaha kain yang kaya raya. Seminggu kemudian, Pak Abdullah berjualan martabak di depan rumahnya. Selama sebulan pertama, dagangan martabak itu sepi. Konon karena cita rasanya tidak seenak martabak Pak Yono yang legendaris. Lalu, Pak Abdullah meminta sedekah dari rumah ke rumah. Ia bilang, karena ia seorang habib, doanya pasti manjur. Ia akan menyelenggarakan hajatan di rumahnya dengan mengundang para santri yang entah dari mana untuk menggelar acara hajatan itu. Akan tetapi, setelah uang warga terkumpul, esok harinya, rumah Pak Abdullah telah kosong melompong.
Tak ada seorang pun yang tahu ke mana ia pergi sebab sedari awal, identitasnya, juga hanya berupa desas-desus. Usut punya usut, Pak Abdullah berpindah dari satu kota ke kota lain sebab dikejar-kejar hutang.
Islam menyebut sedekah sebagai pinjaman yang baik (qardhul hasan). Orang yang mengeluarkan sedekah, jika ia orang yang beriman, ia percaya tidak akan merugi. Sebab, tidak selayaknya peminjam biasa, Allah akan mengganti pinjaman itu dengan kebaikan yang berlipat ganda, meskipun bentuknya tidak selalu kembali dalam rupa yang sama.
Bapak saya sering mengingatkan agar saya bersedekah untuk menghindari kesulitan-kesulitan kecil. Ketika ada orang yang kehilangan dompet atau rusak laptopnya, sering orang mengikhlaskan kesialannya dengan kalimat manjur: kurang sedekah.
Memang betul. Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Rasulullah bersabda, “Segeralah bersedekah, sesungguhnya musibah tidak dapat melintasi (mendahului) sedekah.
Tetapi, ke mana sebaiknya kita menyedekahkan uang kita?
Dari cerita tentang Pak Abdullah, kita belajar bahwa ada orang-orang dengan modus simbol agama yang memanfaatkan kebaikan orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Belakangan ini, banyak organisasi atau komunitas yang meminta sedekah kita untuk Palestina atau Suriah, tetapi tidak jelas lewat jalur apa penyalurannya. Semua akses ke Suriah, misalnya, telah buntu. Bahkan Pemerintah pun kesulitan untuk menyalurkan bantuan. Jika niat kita baik, tentu saja kita akan kecewa jika ternyata uang kita justru disalurkan kepada para pemberontak negara yang justru melanggengkan peperangan dan menolak cara-cara damai.
Sepertinya tak ada pemberian yang lebih baik dibanding pemberian kepada orang-orang terdekat. Seringkali kita mendapati sebuah keluarga yang memerlukan bantuan, padahal ia memiliki sanak saudara yang mampu tetapi tidak mempedulikannya. Atau, ada banyak perusahaan-perusahaan super raksasa yang mengadakan berbagai program layanan demi menarik perhatian masyarakat, padahal karyawan perusahaan tersebut tidak digaji layak serta tidak mendapat fasilitas yang mencukupi.
Sebuah hadist berbunyi, telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Ufair, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Al Laits ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Khalid bin Musafir dari Ibnu Syihab dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah setelah kecukupan terpenuhi. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”
Setelah kepada orang terdekat, salah satu keutamaan sedekah adalah menyampaikannya dengan sembunyi-sembunyi atau secara langsung kepada yang berhak menerima. Hal tersebut karena zakat atau sedekah berfungsi sebagai perekat hubungan sosial antar sesama muslim.
Ketika menyerahkan sedekah, tanyai kabar mereka lalu minta doa-doa baik mereka secara langsung. Jika menghayati adab tersebut, secara substansi seharusnya seseorang lebih peka dengan kondisi di sekitarnya serta tahu keluarga mana saja yang masih lapar atau sakit. Menjalankan ibadah sedekah sesuai adab yang diajarkan Rasulullah memiliki pesan pemerataan ekonomi di masyarakat.
Jika masih ada rezeki lebih yang ingin disalurkan, ada ribuan pesantren di Indonesia yang mengasuh santri-santri dari orang tua yang kurang mampu. Setiap bulan, pondok pesantren itu menanggung biaya pengelolaan asrama, kebutuhan makan, serta fasilitas belajar para santri, padahal banyak dari orang tua mereka yang hanya semata menitipkan anak kepada pondok pesantren tetapi tidak mampu membayar. Para kiai pengasuh pesantren tetap menerima santri tersebut dengan ketulusan. Para kiai yang biasanya juga menolak bantuan dana politis tersebut, biasanya kurang mampu untuk mengembangkan pesantrennya.
Saya sering melihat pesantren dengan kondisi fasilitas MCK yang tidak layak. Seringpula, pengasuh pesantren bercerita keinginan untuk mengembangkan ekstrakurikuler pesantren di bidang teknologi, olahraga, kesenian dan kebudayaan, agar santri lebih terbuka dengan perkembangan zaman. Sebagian besar pesantren juga belum memiliki koleksi buku-buku populer non-pesantren yang berkualitas. Alasannya, karena memang tidak ada anggaran untuk hal tersebut. Tentu saja, pesantren yang layak menerima sedekah kita adalah pesantren yang cinta kepada Indonesia.
Masih bingung bersedekah kemana karena uang masih melimpah? Bikin laboratarium pemberdayaan ibu-ibu miskin dan anak-anak jalanan saja. Hehehe…